Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
Dunia yang dipenuhi estetika keindahan, ternyata banyak menyimpan hal yang tak pernah terduga sebelumnya.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Bis berhenti. Itu artinya kami telah sampai di tempat tujuan.
Kami turun di sebuah gedung yang berhalaman luas, dimana terdapat beberapa mobil yang telah terparkir. Berduyun-duyun masuk didampingi oleh beberapa orang staf. Menuju tempat yang telah disiapkan.
Menaiki beberapa lantai menggunakan lift. Tiba dalam sekejap. Berjalan sebentar dalam lorong yang minim pencahayaan. Meski di siang hari, lorong terasa remang dan sunyi.
Staf berhenti di depan sebuah pintu, disusul oleh kami. Ketika pintu dibuka, mencuat cahaya yang sontak menerangi lorong. Suara riuh yang bersamaan datang, memecah keheningan. Seakan pintu itu adalah pintu menuju dunia lain.
Deretan monitor berbaris rapi. Tombol-tombol dan tuas-tuas aneh berkumpul di depannya. Beberapa di antaranya ada yang memancarkan sinar berwarna-warni.
Di ujung-ujung ruangan berjejer sofa-sofa panjang. Modelnya sama, namun warnanya beragam. Di ujung seberang ruangan ini, terdapat sebuah pintu lagi. Pintu yang sekali lagi memisahkan ruangan satu dengan yang lain.
Bedanya, ruangan sebelah terlihat dari tempatku berdiri sekarang. Karena sebagian besar dindingnya berasal dari kaca tembus pandang. Andaikata seseorang masuk ke dalam, orang itu akan terlihat seperti dalam layar raksasa.
Beberapa sofa terlihat dihuni oleh wajah-wajah yang familier. Sepertinya senior kami juga melakukan hal yang sama.
Kami berbaris. Dikenalkan pada seorang pria yang tak bisa dibilang muda, akan tetapi belum layak dibilang tua. Setelah itu, diminta untuk mengikuti arahannya.
Seorang wanita menyembul dari dalam. Memberitahu bahwa semuanya telah siap dan mempersilakan kami untuk masuk ke dalam. Kami masuk secara berurutan. Wanita tadi menyuruh kami untuk berdiri tepat di sebuah benda asing yang baru pertama kali kulihat. Terlihat seperti tongkat, namun di pangkalnya terdapat bulatan hitam.
"Ingat, kalian harus hati-hati selama recording berlangsung! Jangan menimbulkan suara yang bukan bagian dari lagunya! Mengerti? Oh ya, jangan lupa pakai earphone juga."
Kami mengangguk bersamaan. Yang harus kami lakukan hanyalah bernyanyi 'kan? Mudah saja.
Kami sudah berlatih dua minggu lamanya. Terlebih juga sudah dievaluasi langsung oleh guru olah vokal kami. Aku yakin akan berlangsung sekejap saja!
Aku menghirup napas panjang. Menghimpun ketenangan juga. Kalau benda yang lebarnya melebihi telapak tangan ini adalah mik, aku harus berhati-hati.
Aku khawatir, tak hanya suara napas saja yang bisa masuk, tapi sekali tubuhku mengeluarkan suara yang mungkin saja pelan, bisa saja masuk ke dalamnya. Aku memang harus ekstra hati-hati.
Belum lagi, rekaman ini menentukan, bagus atau tidaknya nyanyianku.
Duh, entah mengapa, ketenangan yang kuhimpun, berceceran entah kemana. Mendadak dadaku serasa mau meledak. Walaupun, menyanyi di tempat tertutup, tekanan yang terasa seperti disaksikan oleh banyak orang. Bukan ratusan atau ribuan. Tapi, bisa saja se-indonesia!
Mendadak bahuku dipegang. Seketika kepalaku menoleh. Viola tersenyum Sembari bergumam, "Semangat!" sangat pelan, hampir tak bersuara.
Benar. Aku harus menyingkirkan persepsi itu. Anggap saja aku sedang bernyanyi di kamar mandi seperti biasa.
"Kita mulai ya?" Tanya suara yang muncul melalui pengeras suara. "3... 2... 1!"
Mendengar hitungan mundur, ruangan yang tadinya riuh, mendadak hening. Lagu yang hendak kami nyanyikan mulai mengalun dari dalam earphone. Irama dari lagu adalah satu-satunya yang terdengar dan kami perhatikan.
Kami bernyanyi berganti-gantian. Menyesuaikan pada waktu yang tepat seperti yang terjadi selama latihan.
Rupanya tidak semulus yang kuduga. Beberapa kali kami salah lirik, salah nada yang menyebabkan false, hingga kurang kompak. Latihan yang kami lakukan serasa sia-sia.
Ternyata rekaman lebih sulit daripada yang kukira. Di atas panggung, jika lupa lirik, kita bisa berpura-pura menyanyi. Atau paling tidak, tak terlalu terlihat. Di sini, di mana suara kami sangat diperhatikan, kesalahan kecil pun tak bisa ditolerir.
Kami mengalami beberapa pengambilan ulang. Hingga akhirnya sempurna setelah mengalami 19 kali pengulangan. Meski yang kami lakukan hanya bernyanyi, tapi rasanya sangat menguras tenaga.
Aku keluar dari ruangan itu dengan terhuyung. Kakiku lemas. Aku ingin kursi dan juga air mineral untuk mengusir dahaga yang menggerogoti tenggorokan.
Untung saja, staf dengan sigap membagikan sebotol air begitu kami keluar. Sofa yang tadinya berpenghuni, kini telah lengang. Bahkan berganti penghuni.
Di selang istirahat kami, staf menjelaskan hal-hal yang akan kami lakukan ke depannya. Sambil mengangguk-angguk, aku mendengarkan penjelasan mereka.
"Setelah ini, jadwalnya bebas. Nah, Jangan lupa, kita juga akan syuting untuk MV di tanggal 21 nanti."
Setelah rekaman, lalu syuting. Kesibukan ini mulai terasa. Kian hari kian memadat. Sudah mirip seperti idol sungguhan.
...----------------...
Tenggorokanku merasa lega setelah dihangatkan oleh permen jahe. Setelah istirahat sejenak, kami akan dikembalikan ke Bongori.
Dalam Schedule, setelah ini, tak ada kegiatan lagi. Pulang pun tak ada yang melarang. Tapi, seperti biasa, aku ingin kembali latihan. Sebelum itu, kami perlu kembali ke dalam bis. Kali ini, kami bertiga berjalan bersama. Bercengkerama tentang pengalaman pertama saat rekaman tadi.
Kami yang berjalan membentuk barisan tak teratur. Saling berbincang satu sama lain. Suara kami menggema. Lorong sepi yang kami lewati, mendadak bising.
Langkah tak habis, hingga turun dari lift. Di tempat parkir, mataku menemukan seorang pria mendekat. Ia mendapati kami dengan sumringah, seakan sudah mencari kami sejak lama. Matanya seolah sedang menatapku intens, tapi aku pura-pura tak sadar. Jujur, aku tak mengenalnya.
Dengan gesit, pria itu berdiri di depan kami bertiga. Kami yang sadar, menunda langkah. Aku baru sadar, bukan aku yang ia perhatikan, tapi gadis di sebelahku. Apa dia punya urusan dengan Anna?
Aku terkejut, staf yang tak kalah gesit telah berada di samping pria itu. Menunggu langkah apa yang hendak dilakukan olehnya. Aku dan Viola saling pandang.
"Oh bapak."
Terucap kata itu dari mulut Anna. Ia menatap pria itu tak kalah terkejutnya.
"Non, nyonya ingin bicara dengan Nona."
Ekspresi Anna berubah drastis. Matanya mendadak melebar.
"Bilang sama mama, aku lagi banyak kegiatan." sahutnya ketus.
"Tapi, Non ...."
Anna berjalan melawati pria itu tanpa menunggu sanggahan darinya. Tanpa menunggu kami juga. Masuk ke dalam bis mendahului yang lain. Kami yang terkejut dengan yang terjadi, melanjutkan langkah melewati pria yang masih termangu itu.
Raut wajah Anna berubah drastis. Memerah padam dengan sekejap. Aku tak pernah berpikir ekspresi Anna akan berubah secepat itu.
Tak lepas keheranan, aku duduk di samping Anna lagi. Ia nampak memandang ke luar jendela. Memandang jauh entah kemana sambil mendengar sesuatu dibalik earphone-nya.
Aku ingin tahu siapa orang tadi dan apa urusannya dengannya. Tapi, dilihat dari ekspresinya, kurasa ikut campur terlalu jauh urusan orang itu tidak baik. Terlebih untuk orang luar sepertiku yanga tak ada kaitannya sedikit pun.
Kugenggam tangannya. Duduk bersandar merilekskan tubuh. Benar, hanya itu yang bisa kulakukan.