Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sinar matahari pagi menembus tirai jendela rumah sakit, menyinari wajah Nayla yang pucat namun tenang.
Di samping ranjangnya, Rangga masih duduk setia seperti biasa dan tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi tempat tidur istrinya.
Tak jauh dari sana, Bi Ina sedang melipat selimut sambil sesekali melirik ke arah Nayla.
Tiba-tiba, Bi Ina melihat jari tangan Nayla yang sejak dua minggu lalu tak bergerak dan kini perlahan meliuk pelan.
Beberapa detik kemudian, kelopak matanya yang berat mulai bergetar, lalu terbuka perlahan.
Cahaya yang masuk membuatnya menyipit dengan pandangannya buram.
“Nona… Nona Nayla?!” seru Bi Ina pelan tapi panik.
Rangga langsung terbangun, matanya menatap istrinya dengan terkejut dan tidak percaya.
“Nayla? Sayang, kamu sadar?”
Nayla menoleh pelan ke arah suara dan matanya menatap Rangga dengan pandangan lemah, tapi jelas menunjukkan pengenalan.
Mulutnya terbuka sedikit, berusaha mengeluarkan suara, namun hanya udara yang keluar.
“Tenang… tenang… kamu nggak perlu ngomong dulu. Kamu sudah bangun. Syukur ya Allah…” Rangga segera menekan bel panggilan untuk memanggil dokter.
Bi Ina menahan tangis di sudut ruangan, menggenggam kedua tangannya.
“Alhamdulillah… Nom Nayla sadar…”
Tak lama kemudian tim medis datang memeriksa keadaan Nayla yang baru saja sadar.
“Dia sudah lewat fase kritis dan ini perkembangan luar biasa. Tapi pemulihannya akan bertahap dan jangan terlalu membebani dengan banyak percakapan atau emosi berat untuk sementara waktu.”
"Tentu, dok. Saya akan jaga istri saya, "
Setelah tim medis pergi, Rangga kembali duduk di sisi Nayla dan menggenggam tangan istrinya erat.
“Nay… kamu nggak perlu khawatir. Kamu aman sekarang. Aku di sini bersama Bi Ina.. Kamu cuma perlu fokus sembuh."
Nayla menatapnya lemah dan matanya seperti mencari sesuatu.
Seperti ada kekosongan yang belum bisa ia pahami tapi ia lelah, dan perlahan-lahan, matanya kembali terpejam bukan koma, tapi tertidur dalam sadar.
Nayla mulai membuka matanya lagi dan kali ini lebih jelas, lebih tenang, walau tubuhnya masih lemah.
Di samping tempat tidur, Rangga kembali duduk menatap wajah istrinya yang kini mulai bisa menggerakkan kepalanya sedikit.
“Kamu haus? Mau aku panggil perawat?”
Nayla menggelengkan kepalanya dan ia masih mencari keberadaan seseorang yang menemani waktu itu.
“M-mas Jati."
Rangga terdiam dan tubuhnya menegang serta senyumnya perlahan pudar.
Matanya mencari arah lain dan menyembunyikan kegelisahan.
Nayla memaksakan diri membuka mata lebih lebar, menatap Rangga penuh harap.
“Mas Jati di mana?” tanyanya lirih.
Rangga menunduk sejenak, berusaha menyusun kata.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, Bi Ina yang berdiri di belakang cepat-cepat menyela.
“Mas Jati ya, Non. Mungkin masih di luar, tadi Den Rangga nggak sempat cerita semuanya, ya?”
Rangga menoleh cepat ke arah Bi Ina dan perempuan itu mengangguk pelan sambil memberi isyarat bahwa ia masih memegang janjinya.
Rangga kemudian mengelus tangan Nayla dengan hati-hati.
“Kamu baru sadar, Nay. Jangan mikirin apa-apa dulu. Yang penting sekarang, kamu istirahat. Nanti kita cerita semua, ya?”
Nayla menatapnya lama dan nafasnya masih berat. Ia merasakan ada rasa bingung yang belum terjawab, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menuntut lebih.
“M-mas Jati baik-baik aja, kan?” tanyanya lagi dengan suara lirih.
“Iya, Nay. Dia baik. Kamu tenang saja…”
Di balik senyum itu, ada luka yang dalam dan kebohongan kecil yang ia ucapkan demi menjaga Nayla tetap bertahan.
Karena Rangga tahu kalau belum saatnya Nayla tahu kenyataan pahit itu.
Suasana ruangan lebih hangat dibanding hari-hari sebelumnya.
Di luar kamar, terdiam suara perawat dan langkah kaki sayup-sayup terdengar, namun di dalam kamar suasana terasa tenang.
Nayla masih terbaring di tempat tidur, tapi wajahnya mulai menunjukkan sedikit warna.
Nafasnya lebih teratur, dan matanya terbuka penuh, menatap langit-langit.
“Selamat pagi, Bu Nayla,” ucap seorang perawat muda sambil mendorong meja dorong kecil yang membawa nampan makanan.
Di atasnya ada semangkuk bubur ayam hangat, teh manis, dan satu potong roti panggang.
“Pagi…” ucapnya lemah, tapi jauh lebih jelas daripada kemarin.
“Ini sarapannya, ya. Saya bantu atur dulu, Bu,” kata perawat sambil menaikkan sandaran ranjang agar Nayla bisa duduk setengah tegak. Lalu ia meletakkan nampan di atas meja lipat.
Nayla menatap bubur itu lama dan ada aroma yang tiba-tiba memunculkan sesuatu di benaknya sebuah memori samar dimana dapur yang hangat dan tangan yang menyuapinya.
“Mas Jati…” gumamnya, nyaris tanpa suara.
"Ada yang ingin anda katakan?" tanya perawat itu
Nayla menggelengkan kepalanya dan tersenyum kepada perawat.
"Kalau Ibu butuh bantuan, panggil saya, ya. Nanti saya cek lagi sebentar.”
Setelah perawat pergi, Nayla menatap mangkuk bubur itu lama.
Jemarinya perlahan bergerak, mencoba menyentuh sendok.
Di sudut ruangan, Rangga memperhatikannya dengan mata tajam namun wajah tenang.
Ia segera mendekat dan mengambil alih sendok makan.
“Biar aku yang suapin, ya?” tawarnya lembut.
Nayla menatapnya lama dan ada kilasan ragu di matanya, lalu ia mengangguk pelan.
Bubur itu lembut dan hangat seperti pagi di dapur yang samar dalam ingatannya.
Tapi kini, ada yang berbeda wajah yang menatapnya bukan wajah yang biasa ia lihat saat bubur itu disajikan.
Nayla mengunyah perlahan, lalu menelan dengan susah payah.
“Mas…” ucapnya pelan, menatap Rangga. “Aku ngerasa… ada yang kalian sembunyikan dari aku.”
Rangga terdiam dan sendok yang baru saja ia angkat berhenti di udara.
Untuk pertama kalinya sejak Nayla sadar dan tatapan mereka saling mengunci, lebih tajam, lebih jujur.
Rangga tersenyum tipis, lalu kembali menyuapkan bubur ke mulut Nayla.
Ia berusaha tampak tenang, meskipun di dalam dadanya ada gejolak yang sulit diredam.
“Hanya perasaan kamu saja, Nay,” ucap Rangga lembut.
“Mungkin karena kamu baru sadar, semuanya masih terasa campur aduk. Tapi yang penting sekarang kamu istirahat dan sembuh dulu.”
Nayla menatap wajah suaminya lama, seolah ingin menembus lapisan ketenangan yang sedang ditunjukkan Rangga.
“Beneran, ya?” bisiknya lirih.
Rangga mengangguk sambil tersenyum, tapi matanya menghindar sepersekian detik.
“Iya, sayang. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan sekarang,” lanjutnya sambil mengusap tangan Nayla yang masih lemah.
Hati Nayla masih gelisah dan tubuhnya belum cukup kuat untuk terus bertanya.
Ia memejamkan mata pelan, membiarkan kehangatan bubur mengalir ke tubuhnya.
Tapi jauh di dalam benaknya, suara itu tak mau diam untuk mencari keberadaan Jati.
“Mas Jati, aku tahu kamu ada. Tapi kenapa aku nggak bisa merasakan kehadiranmu?”
Di kursi sebelah tempat tidur, Rangga hanya bisa menggenggam tangan Nayla lebih erat karena ia tahu dimana waktu akan datang saat Nayla menemukan kebenaran yang sedang ia sembunyikan.