Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 34.
Rongga dada Malik terasa menyempit. Saluran napasnya seperti diblokir, membuat pasukan oksigen tidak dapat mengalir sebagaimana mestinya. Terlebih, ketika mengangkat kepala, ditemukannya wajah papa dengan ekspresi yang sulit sekali untuk dibaca.
Papa masih tidak berkomentar setelah mendengar ucapan Malik. Seperti menunggu Malik menjelaskan lebih lanjut agar ia bisa menentukan seperti apa reaksinya nanti.
Maka Malik menarik napas begitu panjang, walaupun susah payah. Kedua tangannya kembali saling meremas. Gila. Ini lebih menegangkan daripada menghadapi dosen paling killer selama masa kuliahnya.
"Kehamilan Anin ... sebenarnya palsu," kata Malik susah payah. "Nggak pernah ada bayi di perutnya, Pa."
Mendengar itu pun, Papa masih tidak juga menunjukkan reaksi. Malik sudah memperkirakan banyak kemungkinan. Jadi dia semakin bingung ketika Papa tampak tenang.
"Malik minta maaf," ucapnya. Suaranya makin lama makin melemah. "Salah Malik karena nggak berani datang langsung ke Papa buat lamar Anin, jadinya Anin harus ambil jalan nekat seperti ini cuma supaya bisa menikah sama Malik."
Bohong! Malik pembohong! Setan di telinga kiri Malik berteriak begitu. Tapi tidak Malik dengarkan. Itu alasan paling masuk akal yang bisa dia buat, agar tidak satu pun di antara Oma ataupun Anindya yang akan kena semprot oleh Papa. Biarkan saja dia yang menanggung semuanya. Biarkan saja dia yang diomeli, asal nanti bisa Malik tunjukkan bahwa dirinya layak dijadikan suami.
Namun, alih-alih mendapatkan cacian atau reaksi serupa, Malik malah mendengar papa tertawa pelan. Malik bingung. Dahinya berkerut-kerut. Apalagi waktu papa malah mendorong ponsel ke arahnya, lalu menepuk pundaknya cukup keras.
"Pa-"
"Papa tahu," kata Papa.
Papa tahu? Malik semakin bingung.
"Anin udah ngaku semuanya ke Papa dan Mama."
Mata Malik membola, setengah tak percaya. "Anin ... Anin udah ngaku?"
Papa mengangguk mantap. Pria itu tersenyum lembut. Senyum bijaksana layaknya orang tua.
"Beberapa hari sebelum pernikahan, Anin pulang dari rumah kamu dalam keadaan murung." Papa menjelaskan dengan pandangan menerawang. Mengingat-ingat lagi cerita istrinya soal anak gadis mereka yang tiba-tiba menangis dan berkali-kali minta maaf. "Papa kira kalian habis berantem hebat. Mungkin kamu nggak sengaja bentak dia waktu berdebat. Atau ada keinginan dia yang kamu tolak dan akhirnya bikin dia tantrum."
Papa terkekeh pelan. "Ternyata enggak," lanjutnya. "Malamnya, sewaktu papa baru pulang kerja, Anin minta Mama dan Papa buat kumpul di ruang keluarga. Di sana, dia jelasin semuanya. Anin ngaku terdesak karena Papa terus minta dia buat ketemu sama anak teman papa. Anin bilang, saat itu dia nggak kepikiran hal lain selain pura-pura hamil supaya Papa izinkan kalian menikah."
Apa Anin nggak cerita kalau ide itu datangnya dari Oma? Batin Malik.
Alih-alih itu, Malik menanyakan hal lain. "Papa nggak marah?"
Papa tertawa pendek. "Marah? Tentu enggak," jawabnya. Sejenak, papa kembali tampak merenungkan sesuatu. Sebelum melanjutkan, pria itu menenggak wine miliknya, seolah itu adalah asupan energi untuk membantunya bicara lebih lancar. "Papa justru lega, karena anak gadis Papa bisa menjaga diri. Lega juga karena kamu ternyata bukan laki-laki yang mau sentuh-sentuh anak gadis orang sembarangan sebelum kamu nikahi."
Malik masih mendengarkan, tidak menyela.
"Papa justru merasa bersalah sama Anin. Karena keegoisan Papa, dia jadi harus ambil langkah ekstrem." Papa menunduk sedikit, entah objek apa yang dia pandangi kali ini untuk mengalihkan perhatian. Malik hanya terus mengamati tanpa keinginan menginterupsi. "Syukur ada kamu. Kalau enggak, dia bisa aja pilih laki-laki asing secara random untuk dia nikahi. Cuma demi nggak menikah sama laki-laki pilihan papa."
Pa, saya ini juga laki-laki random yang dia pilih secara acak. Malik meringis. Anindya sepertinya tidak bercerita dengan lengkap. Masih menutup-nutupi beberapa hal, barangkali berpikir itu langkah yang bijak.
"Papa minta maaf karena kalian harus menikah terburu-buru begini."
Malik menggeleng refleks. "Papa nggak perlu minta maaf. Walaupun kesannya buru-buru, Malik dan Anin udah siap kok." Halah, tai kucing! Kebanyakan bergaul dengan Anindya, Malik jadi makin lihai saja bersilat lidah.
"Papa tahu." Papa menenggak wine sekali lagi, kemudian mengembuskan napas panjang. "Papa cuma merasa, kalau aja Papa nggak rempong minta Anin ketemu anak teman Papa, mungkin kalian bisa menikmati lebih banyak waktu untuk pacaran dan mengenal satu sama lain lebih dalam."
Malik nggak menjawab. Bingung juga dia mau jawab bagaimana.
"Tapi Anin berhasil yakinin Papa satu hal."
Malik mengangkat kepala, penasaran.
"Anin berhasil yakinin Papa kalau kamu memanglah orang yang tepat. Ya ... walaupun cara kalian untuk bisa menikah terbilang nekat." Papa mengakhiri ucapannya dengan tawa renyah. Seakan ingin mencairkan suasana supaya tidak terlalu tegang.
"Sejak pengakuan Anin malam itu, dia banyak berubah. Tadinya nggak tertarik sama sekali berkutat di dapur, tahu-tahu minta diajari masak oleh mamanya. Sebelumnya dia sama sekali nggak tertarik belajar bahasa asing selain Bahasa Inggris, tapi setelahnya dia ikut private class dan semua biayanya dia bayar sendiri." Sudut-sudut bibir Papa terangkat begitu tinggi, tampak bangga pada sang putri. "Ah, satu lagi. Dia juga sampai ikut Papa ke kantor loh, untuk belajar. Padahal sedari kecil dia sama sekali nggak tertarik dengan dunia bisnis."
Malik cukup amazed mendengar penuturan papa. Sampai-sampai dia tidak kunjung bertanya balik dan hanya terus mendengarkan.
"Kamu tahu kenapa dia lakukan itu semua, dan Papa sampai bilang bahwa kamu adalah orang yang tepat?"
Malik menggeleng, karena memang tidak tahu. Tidak berkeinginan pula untuk menebak dan jadi sok tahu.
"Anin lakuin itu semua karena kamu."
"Karena Malik?"
Papa mengiyakan dengan gerakan kepala. "Dia bilang mau jadi setara sama kamu. Kamu cerdas, dewasa, dan punya wawasan luas. Anin juga mau jadi begitu. Meskipun nanti dia jadi IRT untuk bantu urus rumah dan Oma, Anin setidaknya mau dirinya bisa bantu kamu dalam hal lain. Anin mau kalau kamu pulang kerja dan mengeluh soal pekerjaan, dia nggak cuma bisa menanggapi dengan menyuruh kamu sabar, tapi juga bisa kasih perspektif yang lain, syukur-syukur bisa muncul jadi solusi."
"Anin mau jadi partner hidup kamu, Malik. Bukan sekadar beban yang harus kamu tanggung seumur hidup."
"Papa lihat tekad dan keyakinannya kuat untuk pilih kamu, jadi papa putuskan untuk percaya sama pilihan Anin."
Malik tidak tahu harus bicara apa. Antara terharu dan tidak menyangka si bocah prik Anindya ternyata bisa berpikir sedewasa itu.
Akhirnya Malik hanya bisa banyak diam. Tapi diam-diam juga berjanji untuk tidak mengecewakan Papa karena sudah percaya dia bisa menjaga Anindya dengan baik.
Bersambung....