Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Mau menginap di mana?
Baik Ana maupun Hendra yang sudah mau bergerak meninggalkan meja bundar tempat mereka menghabiskan santapan lezat tadi, menjadi terpaku mendengar perkataan Aris.
Ana bertanya dengan lembut dan hati-hati, “Kenapa Mas? Apa menurut Mas, kita akan merepotkan keluarga Hendra?”
Hendra langsung angkat suara. “Kalau soal itu, jangan kuatir. Aku sudah bilang ke Mamak dan Abahku. Mereka tidak keberatan. Sudah pernah ada beberapa teman dari hotel kita, laki-laki maupun perempuan yang menginap di rumahku sewaktu mereka tamasya ke sini. Bukan hal baru kalau ada temanku datang menginap.”
Ana tersenyum kepada Hendra. Ucapan Hendra selalu sejuk dan membuatnya yakin akan ketulusannya.
Tetapi Aris menggelengkan kepala. “Tapi besok siang atau paling lambat sore Hendra kan harus balik ke Batam. Sedangkan kami baru hari Minggu sore bertolak dari Tanjung Pinang. Rasanya canggung buat kami terus berada di rumah orang tuamu, sementara kamu sudah balik ke Batam.”
Sepi.
Semua diam selama beberapa detik.
Ana saling bertukar tatapan mata dengan Hendra.
“Betul juga,” desah Ana. “Aku tidak berpikir sampai ke sana.”
Hendra pun jadi ragu. “Aku bisa saja menjelaskan lagi kepada Emak dan Abah…”
Aris menggelengkan kepalanya.
Aris berpaling menghadap Ana. “Kita nginep di hotel aja yuk. Kita cari hotel sekitar pelabuhan saja. Selain tidak merepotkan keluarga Hendra. Setiap malam kita jadi bisa menikmati suasana malam di pinggiran pelabuhan yang memang ramai. Iya kan, Hendra?”
Hendra tergagap untuk menjawab, “Iya sih, kalau nginap di hotel sekitar sini memang jadi sangat mudah kalau mau menikmati suasana malam. Tinggal jalan kaki saja. Pusat hiburan masyarakat yang halal ya di pinggir pantai ini sambil kulineran seafood.”
Ana hanya melongo mendengar pembicaraan mereka. Wah, rencana dirubah lagi?
Aris mendekat ke arah Ana lalu tiba-tiba memeluknya dari samping. “Nanti Ana akan lebih puas menikmati Tanjung Pinang di malam hari, tanpa perlu kuatir harus cepat-cepat pulang karena angkot ada jam operasional nya, kan?”
“Ehmm.” Hendra melegakan tenggorokannya melihat keintiman Aris kepada Ana.
“Angkutan umum di sini berakhir operasional jam 17.00. Makanya ini saatnya kalau mau ke rumahku. Aku sudah minta ijin ke kakak iparku untuk antar kalian pelabuhan nanti untuk makan seafood. Dia punya mobil. Dia sudah mau kok.”
Mendengar perkataan Hendra, Ana langsung berkesimpulan bahwa perkataan Aris jika mereka akan merepotkan keluarga Hendra adalah sangat benar.
“Wah, aku sudah merepotkan keluargamu ya, Hendra,” tanya Ana dengan wajah sangat menyesal. “Kalau sampai merepotkan iparmu hanya untuk mengantar kami kuliner malam-malam. Janganlah.”
“Jadi kita putuskan untuk mencari hotel sekitar sini saja,” tanya Aris kepada Ana sambil menaik-turunkan alis berkali-kali.
Ana terpaku.
Wait a minute…
Menginap di hotel berdua? Dengan lelaki yang bukan kerabatnya? Bukan pula suaminya.
Wah!
Betul sekarang masyarakat sudah jauh lebih modern. Tentu pandangan masyarakat juga tidak se kolot jaman mamanya muda.
Tapi masalahnya hasil didikan kolot mama dan keluarganya masih membekas pada dirinya.
Mengerti keraguan Ana, Aris berkata untung menenangkan, “Kita bisa sewa 2 kamar di hotel atau penginapan, yang penting bersih saja. Ana juga tak enak kan kalau kita terlalu merepotkan orang lain.”
Ana mengangguk.
Baiklah, putus Ana. Itu adalah keputusan terbaik untuk keadaan ini.
Aris bertanya, ”Hendra, kau ada saran hotel yang bersih dan ekonomis di sekitar sini? Agar kami bisa taruh bawaan kami dulu, sebelum lanjut lagi.”
Hendra menggaruk kepalanya sambil tertawa kecil. “Tolong dikasih tahu, kira-kira berapa budgetnya? Biar aku tahu, harus ku sarankan ke mana.”
Aris menatap Ana. Dari wajahnya, Ana bisa menebak kalau soal penginapan juga menjadi tanggung jawabnya.
Yah, tentu saja. Yang ingin ke Tanjung Pinang kan dia. Dan Aris itu baru sekedar teman baik yang mau meluangkan waktu menemani dan membantunya.
Ana mulai menyesali dirinya sendiri, kenapa saat itu ia berkoar-koar ingin traveling menjelajah keindahan Batam dan pulau sekitarnya.
Dasar sok hebat, maki Ana dalam hati. Keuangan tipis, press habis-habisan. Bisa-bisanya pingin traveling. Ngaca, ngaca, woy!
Sambil berhitung dalam hati, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menginap dua malam untuk 2 kamar, akhirnya Ana bisa menjawab kepada 2 laki-laki yang sedang menunggunya.
“Maaf, kelamaan mikirnya,” senyum Ana sambil sedikit menundukkan kepalanya. “Saat ini keuanganku tidak longgar. Ada keluarga yang harus kutanggung. Jadi bisakah carikan yang 100 ribuan per kamar? Budget maksimal ku buat hotel, semua 500 ribu lah.”
Ana berhenti bicara untuk mengamati reaksi di wajah Hendra dan Aris. “Aku sungguh mohon maaf, tidak bisa membuat Mas Aris dan Hendra lebih nyaman. Jadi bisakah Hendra carikan penginapan seharga segitu untuk kami. Asal bersih saja cukup untukku. Ga apa-apa kan Mas Aris?”
Aris langsung menarik bahuku ke arahnya. “Jangan kuatirkan aku.” Aris sambil meremas pundakku yang dalam keadaan dirangkulnya. “Aku bahkan sudah terbiasa tidur di bangunan setengah jadi yang tanpa atap. Aku ini kan orang proyek. Kamar hotel, losmen, guest house dalam keadaan apa pun, sudah pasti lebih nyaman daripada tidur di lantai proyek belum jadi beratap langit. Ya kan?’
Kata-kata Aris menimbulkan kelegaan di hati Ana. Ternyata walau ia adalah seorang teman yang banyak permintaan, tanpa sanggup memberi timbal balik yang sepadan, tidak menjadi halangan buat Aris untuk terus berbuat baik kepadanya.
Hendra mulai menelpon ke beberapa orang untuk bertanya tentang hotel yang sesuai dengan budget ku. Terdengar juga ia menelpon kakak iparnya untuk menjemputnya jam 10 malam, di tempat makan seafood di pinggir laut.
Selesai menelepon, Hendra melanjutkan perbincangan dengan Aris. Mereka berunding hotel mana yang terbaik untuk Ana sesuai dengan budget Ana tadi.
Ana tidak ikut campur dalam pembicaraan mereka. Ia mempercayakan keputusan terbaik kepada mereka, karena ia pun tidak mengenal baik kota Tanjung Pinang.
Sesaat kemudian mereka berhenti berdiskusi, Hendra kini mengarahkan badannya ke arah Ana.
“Ada 3 hotel kecil di sekitar pelabuhan yang masuk ke dalam budget mu,” jelas Hendra.
“Ayo kita berangkat,” ajak Aris sambil berdiri dan menyandangkan ranselnya ke punggung. “Hen, naik taksi ya? Atau bisa hanya jalan kaki?”
“Hotel pertama masih bisa lah kita jalan kaki,” jawab Hendra setelah berpikir sejenak. “Namun jika ternyata tidak cocok, kita harus pakai taksi untuk ke hotel ke 2 dan ke 3. Terlalu capek jika memaksakan diri berjalan kaki dengan bawaan seperti ini.”
“Oke. Yuk bergerak.”
Aris mengambil tas duffle Ana lalu mulai melangkah meninggalkan kedai makan itu. Ana bergegas menyusul. Hendra juga buru-buru berjalan mendahului mereka semua karena ia adalah penunjuk jalan.