Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Suatu malam, saat bulan menggantung penuh di langit, Alda terbangun karena suara langkah lembut. Ia melihat Arsen berdiri di dekat buaian, menatap bayi mereka dengan senyum samar.
“Kamu belum tidur?” tanya Alda pelan.
Arsen menoleh, lalu berjalan ke sisi tempat tidur. “Gak bisa tidur. Aku cuma... masih gak percaya semua ini nyata.”
Alda menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Sini.”
Arsen duduk, membiarkan Alda bersandar di bahunya. “Kadang aku takut,” bisik Arsen.
"Takut apa " tanya Alda
“Takut kalau kebahagiaan ini cuma sementara. Kalau semua ini bisa hilang secepat dulu semuanya hancur.” jawab Arsen sembari memandang jauh disana
Alda menggenggam tangannya. “Kita dulu sama-sama hidup di masa lalu, Mas. Tapi sekarang, lihat… kita punya masa depan yang nyata. Jadi, berhenti takut.”
Arsen menatap wajahnya lama, lalu mengangguk pelan. “Kamu benar. Aku cuma perlu terus percaya. Aku hanya takut kehilangan lagi”
Alda tersenyum lembut. “kita akan selalu bersama dan terus saling mencintai.”
Arsen menunduk, mencium keningnya. “Itu janji yang paling mudah untuk kutepati.”
Beberapa bulan kemudian, rumah besar itu terdengar ramai oleh tawa dan suara keluarga kecil mereka yang tengah mengadakan acara kecil ulang tahun pertama Arsenio.
Para pegawai sibuk kesana kemari mengurus semuanya, para pelayan juga sibuk menghidangkan makanan dan kue serta minuman untuk para tamu yang akan datang.
Balon warna pastel menggantung di langit-langit ruang tengah, dan meja penuh makanan ringan hasil buatan Alda sendiri.
“Ini benar-benar gak perlu semewah ini, sayang,” kata Arsen sambil mengamati kue besar berbentuk boneka beruang.
Alda berkacak pinggang. “Anak kita satu tahun cuma sekali, Mas. Jangan pelit ekspresi bahagia.”
Arsen tertawa. “Baik, baik. Aku menyerah.”
Saat tamu-tamu teman dekat mereka dan beberapa rekan kerja lama mulai berdatangan, suasana rumah dipenuhi tawa.
Di tengah keramaian, Alda sempat melihat satu sosok berdiri di luar jendela, sahabat lama yang dulu mengkhianatinya. Wajah wanita itu tampak ragu, seperti tak yakin apakah pantas datang.
Alda berjalan keluar, meninggalkan Arsen yang sedang menenangkan Arsenio yang berusaha mencicipi balon.
Di teras, angin sore berhembus lembut. Alda menghampiri Ellen dengan langkah tenang.
“Kamu datang juga,” ucapnya pelan.
Wanita itu menunduk. “Aku gak tahu aku boleh…”
Alda tersenyum tipis. “Dulu, mungkin aku bakal marah. Tapi sekarang, aku udah gak mau bawa luka itu lagi. Aku cuma mau hidup tenang.”
Air mata menetes di mata Ellen. “Kamu tetap sama… baik, bahkan setelah semua yang aku lakukan.”
“Bukan baik,” jawab Alda, menatap langit yang mulai jingga. “Cuma belajar kalau dendam gak bisa bikin hati tenang.”
Ellen menatapnya lama, lalu berbisik, “Kamu beruntung, Aur… Alda. Kamu dapat kesempatan kedua.”
Alda menatap bayi yang tertawa di dalam rumah. “Aku gak cuma dapat kesempatan. Aku dapat keluarga.”
Ellen tersenyum, menatapnya dengan rasa hormat yang baru, lalu berbalik pergi tanpa kata.
Alda menghela napas panjang, seolah beban terakhir di dadanya akhirnya benar-benar hilang.
Malam itu, setelah tamu pulang dan rumah kembali tenang, Arsen memeluknya dari belakang saat mereka berdiri di balkon.
“Terima kasih, ya,” katanya pelan.
Alda menoleh, bingung. “Untuk apa?”
“Untuk tetap di sini. Untuk gak pernah nyerah. Untuk bikin rumah ini punya arti.” jawab Arsen
Alda menatapnya lama, lalu tersenyum. “Rumah ini bukan bangunan, Mas. Rumah ini kamu dan Arsenio.”
Arsen menunduk, mencium lembut bibirnya. “Dan kamu… pusat dari semuanya.”
Mereka berdiri lama di sana, memandangi langit penuh bintang. Di bawah sinar lembut bulan, waktu seolah berhenti lagi, memberi ruang bagi kedamaian yang tak bisa diganggu siapa pun.
Beberapa bulan kemudian, Arsenio mulai belajar berjalan. Hari itu, rumah mereka dipenuhi suara tawa.
“Lihat! Lihat! Dia berdiri!” seru Arsen sambil jongkok di depan anaknya.
Alda menutup mulut, menahan napas. “Ayo, Nak… satu langkah lagi…”
Arsenio menatap mereka dengan mata besar penuh semangat, lalu dengan langkah goyah tapi berani ia melangkah satu kali, dua kali… hingga jatuh tepat ke pelukan Arsen.
Arsen tertawa keras, mengangkat putranya tinggi-tinggi. “Anak hebat!”
Alda menatap mereka sambil tertawa dan menangis bersamaan. “Aku gak kuat lihat dua bocah di rumah ini.”
Arsen menatapnya pura-pura tersinggung. “Hei! Aku kepala keluarga.”
“Kepala keluarga yang paling heboh,” balas Alda sambil tersenyum.
Mereka bertiga tertawa lagi. Suara itu memenuhi seluruh rumah, menembus dinding, bahkan sampai ke taman kecil di belakang tempat bunga melati mekar, simbol kenangan masa lalu yang kini berubah jadi kehidupan baru.
...****************...
Pagi itu udara begitu cerah.
Burung-burung berkicau di taman depan rumah, dan aroma kopi baru diseduh memenuhi ruang makan. Arsen tengah memakaikan sepatu sambil menggendong Arsenio yang sibuk memainkan dasinya, sementara Alda sibuk memastikan tas kerja dan perlengkapan bayi lengkap.
“Mas, tolong ambil botol susunya ya,” kata Alda sambil memeriksa daftar kecil di ponselnya.
“Udah, Nih,” jawab Arsen cepat, lalu menatap putranya dengan wajah pura-pura serius. “Nah, siap, calon direktur kecil?”
Arsenio terkikik, tangannya menarik hidung ayahnya. “Pa… lucu!”
Alda tertawa. “Hati-hati, nanti dia benar-benar jadi bos kecil dan nyuruh kamu tanda tangan tiap pagi.”
Arsen pura-pura menghela napas. “Ya, kalau bosnya secantik ibunya sih aku rela.”
Alda melirik, tersipu tapi mencoba tetap tegas. “Udah, jangan manis-manis, nanti terlambat ke kantor.”
Arsen tertawa dan membuka pintu.
Namun begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti.
Alda yang berdiri di belakangnya hampir menabrak punggung suaminya.
“Mas? Kenapa berhenti?” tanya Alda heran
Arsen tidak menjawab.
Matanya terarah pada sosok pria paruh baya yang berdiri di depan pagar—dengan koper kecil di tangan, rambut mulai memutih, dan senyum yang begitu lembut… tapi menyimpan rasa rindu yang dalam.
“...Ayah?” suara Arsen nyaris bergetar.
Pria itu tersenyum lebih lebar, matanya berkaca-kaca. “Akhirnya… aku bisa lihat kamu lagi, Nak.”
Alda spontan menutup mulutnya, terkejut. Ia tahu cerita tentang ayah Arsen pria yang dulu menjodohkan mereka sebelum memilih pergi dari kota setelah kematian istrinya.
Sosok yang menjadi bagian penting dari masa lalu, tapi tak pernah mereka lihat lagi selama bertahun-tahun.
Arsen melangkah perlahan mendekat, seolah takut bayangan di depannya akan menghilang.
“Benar Ayah…? Aku pikir—”
Ayahnya mengangguk pelan. “Iya, Nak. Ini benar-benar Ayah.”
Untuk sesaat, tak ada kata lain.
Hanya pelukan panjang antara ayah dan anak pelukan yang menahan semua rindu, kesalahpahaman, dan penyesalan bertahun-tahun.
Alda berdiri di samping, matanya ikut berkaca. Ia menunduk pelan, memberi waktu bagi keduanya.
Namun tangisan kecil dari gendongan Arsen memecah keheningan.
Ayah Arsen menatap bayi itu dengan mata membulat, lalu tersenyum haru.
“Dan ini pasti… cucuku?”
Arsen mengangguk, menatap ayahnya dengan senyum yang mulai mengembang. “Iya, Yah. Namanya Arsenio.”
“Arsenio Lin Varmond,” tambah Alda dengan lembut sambil mendekat. “Ayah, terima kasih dulu sudah mempercayakan Ares padaku.”
Ayah Arsen menatap menantunya lama, lalu menghela napas berat seolah menahan rasa bersalah. “Justru aku yang harus berterima kasih, Nak… karena kamu membuat anakku tersenyum lagi.”
Alda menunduk sopan, dan Arsenio yang tampaknya menangkap suasana hangat itu tertawa kecil sambil mengulurkan tangan mungilnya ke arah kakeknya.
Ayah Arsen tertegun, lalu meraih tangan kecil itu dan menciumnya perlahan. “Cucuku... mirip kamu dulu waktu bayi.”
Suasana tiba-tiba hening. Arsen menunduk pelan, menatap wajah ayahnya dengan mata sendu.
Ia tahu, sampai hari ini ayahnya belum benar-benar bisa berdamai dengan kepergian ibu.
bersambung