Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 2: Energi Qi Abadi Pertama: Membuka Jalur Tersembunyi
Malam itu sunyi. Terlalu sunyi.
Sisa cahaya keemasan dari ledakan kuil masih menggantung di langit, seperti debu bintang yang enggan jatuh.
Di bawahnya, di antara reruntuhan hutan dan tanah gosong, berdiri seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan pakaian compang-camping dan wajah penuh abu.
Huang Zan menatap ke arah di mana kuil itu seharusnya ada.
Tidak ada apa-apa, hanya tanah hitam, hangus, dan udara yang masih berdesir oleh sisa energi spiritual.
“...Kakek Mo?”
Suara itu nyaris tak keluar. Hanya angin malam yang menjawab.
Ia menatap sekeliling, mencoba mencari tanda kehidupan. Tapi hanya ada sisa-sisa arang dan pecahan batu spiritual yang meleleh.
Semuanya telah lenyap, kuil, rumah, dan satu-satunya orang yang ia panggil keluarga.
Sakit di dadanya makin berat. Ia menggenggam kristal kecil berbentuk segel yang kini bersinar lembut di tangannya.
Cahaya itu hangat, tapi setiap kali ia menatapnya, kenangan terakhir Kakek Mo terpantul kembali, senyum samar, ledakan cahaya, lalu kehampaan.
Zan jatuh berlutut. “Aku… sendirian lagi.”
Untuk pertama kalinya, air mata menetes di pipinya tanpa ia sadari.
Namun sebelum tangis itu benar-benar pecah, suara samar terdengar di kejauhan, suara langkah kaki di atas dedaunan. Banyak. Cepat.
Ia menahan napas. Di balik pohon-pohon gelap, tampak cahaya biru kehitaman menembus kabut. Simbol ular bersayap terpahat di jubah mereka, Paviliun Langit Gelap.
“Mereka... masih mengejar,” pikirnya.
Naluri bertahan hidup menendang lebih kuat dari kesedihan. Ia memeluk kristal itu ke dada, lalu berlari menembus hutan tanpa
arah. Cabang-cabang menampar wajahnya, tanah berlumpur menahan kakinya, tapi ia terus memaksa berlari.
Suara teriakan samar terdengar dari belakang:
“Cari dia! Anak itu tidak boleh lolos!”
Zan berlari lebih cepat. Napasnya tersengal, tubuh kecilnya tak terbiasa dengan kelelahan seperti ini. Tapi entah dari mana, ada hawa hangat mengalir dari dadanya, menyebar ke seluruh tubuh.
Setiap kali ia nyaris terjatuh, hawa itu seperti mendorongnya berdiri lagi.
Hingga akhirnya, setelah entah berapa lama, ia roboh di tepi sungai kecil.
Air sungai malam itu berwarna perak di bawah cahaya bulan. Huang Zan berbaring di sana, tubuhnya gemetar.
Ia merasakan sesuatu yang aneh, seolah darahnya mengalir dua kali lebih cepat dari biasanya.
Kristal di dadanya bergetar lembut, lalu memancarkan seberkas cahaya ungu
keemasan. Cahaya itu menembus kulitnya, masuk ke dada, dan seketika dunia terasa berubah.
Udara di sekitarnya menjadi berat dan hangat. Daun-daun di dekatnya ikut bergetar.
Dan di dalam dirinya, sesuatu terbuka.
“Ikuti arus Qi, jangan melawannya…”
Suara samar bergema di pikirannya, tidak keras, tapi jelas.
Zan menutup mata. Ia tidak tahu bagaimana caranya “mengikuti arus Qi”, tapi tubuhnya
bergerak sendiri. Napasnya melambat. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot udara yang bercahaya.
Energi itu masuk ke paru-parunya, turun ke perut, lalu berputar di sekitar pusarnya, tempat di mana seharusnya Dantian berada.
Cahaya ungu samar membentuk lingkaran kecil di sana, lalu menyebar ke seluruh tubuh, menelusuri nadi-nadi yang dulu tersegel.
Rasa panas menjalar di bawah kulitnya. Ia ingin berteriak, tapi menahannya.
Perlahan, dari pori-porinya keluar kabut hitam tipis, berbau logam dan abu.
Bau itu membuatnya ingin muntah. Tapi bersamaan dengan itu, tubuhnya terasa ringan, seperti beban berat yang selama ini mengekang dirinya baru saja diangkat.
“Pemurnian Tubuh Tahap Pertama… berhasil.”
Zan membuka mata, terengah. Tubuhnya kini hangat, dan dunia di sekitarnya tampak lebih terang. Ia bisa mendengar suara serangga dari jauh, bahkan detak jantungnya sendiri.
Ia menatap telapak tangannya yang bersinar samar.
“Jadi… ini Qi?” gumamnya pelan. “Energi yang sama seperti yang menghancurkan langit waktu itu…”
Rasa takut, kagum, dan penasaran bercampur jadi satu. Tapi bersamaan dengan itu, muncul kesadaran yang menakutkan.
Kalau Paviliun Langit Gelap mengejarnya karena benda ini, maka ia tidak bisa kembali ke Desa Qingshi. Tidak boleh.
Ia menatap arah desa yang kini hanya tinggal bayangan.
“Kalau aku tinggal, mereka semua bisa ikut mati. Aku harus pergi.”
Dengan langkah gontai, ia berdiri.
Fajar mulai muncul di timur. Cahaya oranye perlahan menyingkap hutan. Dari puncak bukit kecil, Huang Zan bisa melihat
bentangan lembah yang luas. Di kejauhan, berdiri Kota Liuyang, salah satu kota fana terbesar di wilayah itu, tempat para pedagang dan pengelana berkumpul.
Asap tipis dari cerobong rumah terlihat, dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa ada sedikit harapan.
Ia menatap kristal di tangannya. “Aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya… tapi kalau benda ini bisa membuatku kuat, aku akan belajar mengendalikannya.”
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat wajah Kakek Mo.
“Aku akan hidup. Dan aku akan menemukan alasan kenapa semua ini terjadi.”
Ia menggenggam kristal itu erat, lalu memasukkannya ke dalam kantong bajunya.
Sebelum berjalan, ia menatap langit sekali lagi.
Langit pagi tampak tenang, tapi di balik ketenangan itu, Huang Zan merasa sesuatu sedang menatapnya balik—sebuah kekuatan yang jauh lebih besar dari apa pun yang bisa ia pahami.
Namun kali ini, ia tidak mundur.
Ia mengatur napas, meniru pola yang tadi muncul secara naluriah. Udara terasa bergerak mengikuti keinginannya. Qi lembut mengalir ke Dantian, menelusuri jalur yang baru terbuka.
Setiap langkah yang ia ambil meninggalkan jejak samar energi di tanah, seperti bayangan cahaya yang mengikuti iramanya.
“Kalau Qi ini bisa melindungiku, maka aku akan membuatnya menjadi milikku.”
Dengan tubuh kecil dan tekad baru, ia berjalan menuruni bukit, menuju dunia yang belum pernah ia kenal—dunia para kultivator, sekte, dan pertempuran tak berujung.
Di belakangnya, angin berhembus lembut, membawa suara samar yang hanya bisa didengar oleh mereka yang ditakdirkan:
“Langit telah retak sekali lagi…”