1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Perjalanan ke Kadipaten
Daging itu dia coba dengan garpu, alat makan yang tak pernah dia pakai. Dagingnya empuk, bumbu asing tapi nikmat di lidah. Kentangnya lembut, sayurannya renyah meski agak hambar.
Sup krem itu yang paling asing. Kental, gurih, hangat menenangkan perut yang kosong setelah menyusui Willem tadi.
Dia menghabiskan semua dengan lahap, tidak menyisakan sepotong pun.
Setelah kenyang, Pariyem memutuskan untuk mandi. Dia membuka keran dengan hati-hati, takut salah. Air jernih mengalir deras ke bak. Dia menutup lubang pembuangan dengan sumbat berhias rantai kuningan, membiarkan bak terisi.
Saat bak sudah setengah penuh, dia menutup keran, menanggalkan kebaya lusuh dan kain jarik kampungannya, melangkah masuk ke air hangat yang nyaman.
Sabun lavender itu dia gosokkan ke seluruh tubuh. Aromanya wangi, berbusa banyak, membersihkan debu dan keringat seharian. Rambutnya dia cuci dengan sabun yang sama, membilas berkali-kali hingga bersih.
Setelah selesai, dia menggunakan handuk tebal yang lembut sekali di kulit, mengeringkan tubuh dan rambut dengan telaten, menikmati setiap kemewahan Eropa yang tak bisa didapatnya di Dalem Prawirataman.
Tapi dia hanya punya satu stel pakaian—kebaya dan kain jarik lusuh tadi. Dengan sedikit malu, dia mengenakannya lagi. Setidaknya tubuhnya bersih dan wangi sekarang.
Dia duduk di tepi tempat tidur, menyisir rambut basahnya dengan sisir mewah khas perempuan Eropa. Membiarkan rambut tergerai mengering secara alami.
Peta denah kadipaten dia buka lagi, mempelajari setiap garis, setiap tanda, menghafalkan jalur yang harus ditempuh. Paviliun barat. Atap joglo. Jendela ketiga dari kiri.
Cahaya sore perlahan memudar. Langit berubah jingga, lalu ungu, lalu biru gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu.
Di taman, lampu-lampu taman mulai dinyalakan. Cahaya kuning keemasan menerangi jalan setapak.
Pariyem berbaring di tempat tidur empuk itu, memejamkan mata sebentar. Hanya istirahat, pikirnya. Tidak tidur. Harus tetap siaga.
Tapi kelelahan sehari penuh akhirnya mengalahkannya. Tanpa sadar, dia tertidur.
Ketukan pintu membangunkannya. Pariyem terbangun dengan terkejut, duduk tegak dengan jantung berdebar.
"Nyonya Pariyem?" Suara Marius dari balik pintu. "Sudah waktunya."
"Ya, Tuan! Sebentar!" Pariyem melompat dari tempat tidur, tergesa menggelung rambut yang masih sedikit lembap. Dia menarik selendang tipis, menutup sebagian rambut.
Membuka pintu, Pariyem terpaku.
Marius Vecht berdiri di sana dengan pakaian resmi lengkap. Seragam putih dengan medali-medali berjejer di dada. Sabuk kulit cokelat mengkilap. Celana panjang dengan garis merah di sisi. Sepatu bot hitam yang bersih sempurna.
Rambutnya disisir rapi ke belakang dengan brillantine hingga berkilau. Jenggot dan kumisnya yang lebat sudah dipangkas lebih rapi, tidak acak-acakan seperti tadi sore.
Wajahnya tampak lebih segar, lebih tenang. Semerbak cologne mewah menyempurnakan penampilannya.
Di tangannya, sebuah topi dengan lencana emas. Tampan. Sangat tampan untuk pria berusia awal empat puluhan.
"Sudah siap?" tanyanya.
Pariyem mengangguk. "Siap, Tuan."
Marius menatapnya sekilas—kemben lusuh, kain jarik kampungan, tapi tidak berkomentar. "Ikut saya. Kereta sudah menunggu."
Mereka berjalan menyusuri lorong, menuruni tangga. Di ruang depan, Sutini menunggu dengan bayi dalam gendongan, dibungkus selimut putih tebal. Dua anak Marius yang lain berdiri di sampingnya dengan pakaian tidur.
"Papa, jangan pulang terlalu malam," pinta putrinya dengan suara kecil.
Marius berjongkok, memeluk anak perempuannya, mengecup dengan gemas. "Papa akan pulang sebelum tengah malam. Tidur yang nyenyak, liefje." (sayang)
Dia juga mengusap kepala putranya, mengecupnya lembut. "Jaga adikmu?"
"Ja, Papa."
Marius mengecup dahi bayinya yang tertidur pulas, perut kenyang setelah disusui Pariyem tadi. Lalu dia bangkit, menatap Sutini. "Bawa mereka masuk."
"Baik, Tuan." Sutini mengangguk mantap.
Marius berbalik pada Pariyem. "Mari."
Sutini menatap tak senang. Mereka keluar dari pintu depan. Di halaman, sebuah landau hitam mewah menunggu dengan dua ekor kuda putih.
Kusir pribumi dengan seragam cokelat lengkap sudah duduk di tempat duduk depan, cambuk di tangan.
Seorang pelayan membukakan pintu kereta. Marius naik lebih dulu, lalu mengulurkan tangan membantu Pariyem naik.
Interior kereta itu sungguh mewah, masih lagi manjakan dengan wangi parfum mewah Eropa.
Kursi berlapis beludru merah. Lantai dilapisi karpet tebal. Jendela-jendela dengan tirai sutera. Bahkan ada lampu minyak kecil di sudut yang menerangi dengan cahaya lembut.
"Nanti kalau sudah mendekati kadipaten, Nyonya bersembunyilah di bawah kursi. Ada selimut di sana. Tutupi tubuh Nyonya. Saat kereta masuk gerbang kadipaten, jangan bergerak sama sekali. Mengerti?"
"Mengerti, Tuan."
Perjalanan berlalu dengan Marius yang kembali menerangkan denah dan rencana mereka, Pariyem mendengarkan dengan penuh semangat.
Tak lama, jalanan terdengar semakin ramai. Kereta-kereta kuda di kejauhan seperti kunang-kunang besar dengan cahaya keemasan.
Arus kendaraan bertambah ramai seiring jarak yang bertambah dekat. Pariyem merangkak ke bawah kursi belakang.
Cukup untuk tubuhnya yang kini semakin ideal. Selimut wol tebal berwarna cokelat tua dia tarik menutupi seluruh tubuh.
Dari celah-celah kain, dia melihat Marius duduk dengan tegak, menatap ke depan dengan wajah tanpa ekspresi. Seperti pejabat Belanda pada umumnya—dingin, angkuh, berkuasa.
Tapi Pariyem tahu sekarang. Di balik wajah itu, ada seorang ayah yang kesepian. Seorang suami yang kehilangan belahan jiwa.
Dan seorang pria yang masih punya hati nurani untuk membantu perempuan jelata seperti dirinya.
Kereta mulai bergerak. Derak roda di jalan berbatu. Ringkikan kuda. Suara malam yang ramai—orang-orang masih berdatangan ke kadipaten untuk menonton pesta dari luar pagar.
Jantung Pariyem berdebar kencang. Tangannya meraba peta denah di dalam lipatan kendit.
Malam ini dia akan melihat Pramudya. Putranya. Darah dagingnya. Apapun risikonya.
Kereta melaju menembus malam. Dari balik selimut wol yang menutupi tubuhnya, Pariyem mendengar suara-suara yang semakin ramai.
Derap kaki kuda yang bertambah banyak. Derak roda kereta yang bersahutan. Suara manusia yang bergumam; kusir yang saling menyapa, pengawal yang memberi komando.
Laju kereta melambat. Berhenti. Bergerak lagi. Berhenti lebih lama.
"Antrian panjang sekali," gumam Marius pelan, mungkin untuk dirinya sendiri.
Pariyem menahan napas. Jantungnya berdetak begitu kencang. Tangannya yang memegang peta denah di dalam lipatan kemben berkeringat dingin.
Kereta bergerak lagi, sangat lambat kali ini. Seperti ular yang merayap pelan. Di luar, aroma wangi-wangian mewah mulai tercium; minyak wangi impor, bunga melati segar, dupa cendana yang dibakar di berbagai sudut.
Suara-suara asing menyusup masuk. Bunyi logam beradu, mungkin pedang pengawal yang bergesekan. Terompet panjang yang ditiup, tanda kereta pejabat tinggi tiba.
Teriakan abdi dalem yang memberi hormat dengan suara kompak, "Sugeng rawuh, Ndoro!" (Selamat datang, Tuan!)
Dari celah-celah selimut, Pariyem tidak melihat apa-apa. Tapi inderanya yang lain bekerja dengan tajam.
Hidungnya mencium aroma mewah yang tidak pernah dia hirup sekaligus; parfum mawar Eropa, bunga kenanga dan melati yang ditaburkan di karpet merah, asap rokok cerutu impor, aroma kemenyan yang dibakar untuk upacara adat.