Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Suruhan
Di sebuah ruangan gelap dan pengap di dalam markas rahasia milik keluarga Nathanael, terdengar suara rantai berderit setiap kali pria itu bergerak. Kedua tangannya diborgol di belakang kursi baja yang tertanam ke lantai. Tubuhnya penuh luka wajah lebam, bibir pecah, darah mengering di pelipis dan leher. Nafasnya terengah, namun sorot matanya tetap tajam. Menantang.
Dante, tangan kanan Ryder, berdiri di hadapannya dengan napas memburu, menggenggam sebuah besi tumpul yang masih berlumur darah. Jaket kulitnya kusut, dan tangannya bergetar menahan emosi. Sudah berjam-jam ia menginterogasi pria itu, tapi mulutnya terkunci rapat.
“Bicara, bajingan,” geram Dante, menyikut perut pria itu lagi. Tubuh lelaki itu terhuyung ke depan, namun tetap tak bersuara.
Pria itu hanya terus tersenyum seolah mengejek Dante.
Tak lama, pintu besi di ujung ruangan terbuka dengan suara berderit panjang.
Dante menoleh cepat. Sosok Ryder masuk dengan langkah tenang dan penuh wibawa. Setelan gelapnya rapi, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. Namun aura dingin yang ia bawa cukup membuat suhu ruangan terasa lebih rendah.
Ryder berhenti di hadapan mereka, menatap pria yang terikat dengan tatapan seperti memandang bangkai.
“Bagaimana?” tanyanya pelan namun tegas. “Sudah buka mulut?”
Dante menggeleng pelan, suaranya datar. “Belum, Tuan Muda. Mulutnya terkunci rapat. Dia jelas terlatih.”
Wajah Ryder mengeras. Ia menatap dalam-dalam mata penembak itu, lalu menurunkan tubuhnya sedikit hingga sejajar.
“Kau mencoba membunuh seseorang yang sangat berarti bagiku,” ucap Ryder pelan, tapi tajam. “Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi tanpa tahu siapa yang menyuruhmu?”
Penembak itu tak menjawab. Hanya tersenyum kecil meski darah mengalir dari ujung bibirnya.
“Kau pikir kau kuat?” lanjut Ryder, suaranya mulai rendah dan mematikan. “Kita lihat seberapa kuat kau bertahan tanpa kuku.”
Penembak itu langsung berhenti tersenyum. Matanya membelalak sedikit, tapi masih berusaha tampak tenang.
Ryder berdiri dan menoleh pada Dante. “Ambil alat-alatnya.”
Dante tersenyum miring. “Dengan senang hati.”
Saat Dante pergi ke pojok ruangan mengambil kotak logam berisi alat penyiksaan, Ryder kembali menatap penembak itu.
“Terakhir kali kutanya,” ucapnya pelan. “Siapa yang menyuruhmu menembak Zoe?”
Penembak itu menahan napas. Ia menggertakkan gigi. Tapi saat Ryder mengangkat sebelah alisnya, tekanan di ruangan seolah menindih dadanya.
“Kalau kau pikir ini neraka,” bisik Ryder. “Aku bisa menunjukkan versi yang lebih buruk.”
Tangan Dante sudah kembali dengan sepasang tang kecil yang tajam. Ia menatap Ryder menunggu perintah.
“Cabut kukunya!” perintah Ryder dingin.
Tanpa bertanya dua kali, Dante melaksanakan perintah sang tuan.
Crash!
“Aarrgghh!” teriakan kesakitan menggema, sang penembak jitu itu menatap penuh benci ke arah Ryder.
Cairan merah kini tercecer dilantai disertai aroma anyir dari cairan merah kental itu. Dante dengan santai melempar kuku pria itu tanpa merasa bersalah sama sekali.
Ryder terlihat dingin. “Masih tak mau mengaku?” tanyanya dingin, tapi pria itu tetap tidak menjawab.
“Cabut lagi!” perintah Ryder.
Crash!
“Aarrgghh! Am—ampun! Aku ngaku!” teriakan kesakitan kembali menggema.
Penembak itu akhirnya goyah. Ia menunduk, terengah, lalu pelan-pelan membuka mulut.
“Aku … aku cuma dikontak lewat pesan terenkripsi,” desisnya lemah. “Bayaran tinggi … suruh targetkan gadis bernama Zoe. Tidak tahu siapa pemesannya … aku hanya jalankan perintah .…”
Ryder menyipitkan mata. “Kau pikir aku bodoh?”
“Beneran … aku gak tahu siapa. Mereka … mereka kirim koordinat, uang muka. Sisanya setelah tugas selesai .…”
Ryder berdiri tegak, menatap Dante. “Bongkar semua data komunikasinya. Pakai siapa pun yang kau perlu. Aku ingin tahu siapa yang memerintahkannya.”
“Siap, Tuan Muda.”
Ryder menatap penembak itu sekali lagi. “Dan kau,” katanya datar. “Berdoalah informasi itu berguna. Kalau tidak, kau tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup.”
Lalu, tanpa berkata lagi, Ryder berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan suara pintu besi yang kembali tertutup.
***
Zoe berdiri mematung begitu memasuki kamar barunya. Matanya membelalak pelan, terpaku pada setiap sudut ruangan mewah berdesain elegan. Dominasi warna biru pastel dan putih membuat atmosfer kamar itu terasa tenang dan hangat.
Tempat tidurnya besar, dengan kanopi lembut menjuntai seperti tirai tipis. Rak buku, meja rias, lemari pakaian, bahkan karpet bulu pun semuanya tampak mewah jauh di atas standar kamar mana pun yang pernah Zoe tinggali.
Kamar ini dua kali lipat lebih besar dari kamar lamanya yang dulu ia tempati di rumah keluarga Wiratmaja kamar yang sekarang sudah direbut Alicia.
“Wah .…” bisik Zoe lirih, hampir tak percaya.
Tante Nayla tersenyum lembut melihat ekspresi Zoe. “Kamu suka, sayang?”
Zoe menoleh cepat. “Tante, ini terlalu mewah. Aku … aku nggak enak,”
“Jangan bilang begitu,” kata Tante Nayla sambil masuk dan merapikan beberapa lipatan baju di atas tempat tidur. “Kamu keluarga kami sekarang. Wajar kalau kami ingin kamu nyaman.”
Zoe menggeleng pelan. “Tapi baju-baju ini .…” Ia menyentuh salah satu dress berwarna krem lembut. “Ini semua, bermerek. Bahkan sepatunya, tasnya juga.”
“Tante yang pilih langsung. Tentu saja ukurannya pas, kan?” Nayla terkekeh kecil. “Akhirnya aku bisa belanja untuk seorang anak perempuan! Sudah sangat lama Tante menyiapkan hal ini.”
Zoe tertawa kecil, tapi masih ada raut canggung di wajahnya. “Makasih banyak, Tante. Aku nggak tahu harus bilang apa.”
“Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Zoe.” Nayla menepuk tangan gadis cantik itu pelan. “Yang penting sekarang, kamu istirahat dulu, ya? Kalau butuh apa-apa, tinggal tekan bel di dekat ranjang.”
Zoe mengangguk. “Iya, Tante. Makasih.”
Tante Nayla tersenyum, lalu berjalan keluar dan menutup pintu dengan lembut.
Sendirian di kamar, Zoe menarik napas dalam. Ia kembali memandang sekeliling, masih belum sepenuhnya percaya dengan semua ini. Kemudian langkahnya membawanya ke arah balkon. Tirai putih melambai pelan diterpa angin sore.
Zoe mendorong pintu kaca dan keluar ke balkon yang luas, dengan pemandangan taman belakang yang hijau dan asri.
Angin menyentuh pipinya. Rasanya seperti mimpi. Tiba-tiba, suara getar pelan terdengar dari atas meja.
Zoe menoleh. Ponselnya bergetar pelan ponsel tua yang nyaris hangus saat kebakaran, satu-satunya benda yang berhasil ia selamatkan.
Ia berjalan kembali ke dalam, mengambil ponsel itu dan membuka notifikasi yang masuk.
Satu email.
Dari sebuah brand perhiasan yang pernah Zoe kirimi desain cincin beberapa minggu lalu.
Matanya membesar saat membaca.
"Selamat! Desain cincin Anda telah kami pilih untuk koleksi musim depan kami. Kami sangat menghargai ide kreatif Anda. Bayaran akan ditransfer ke rekening Anda hari ini. Terima kasih telah bekerja sama dengan kami."
Zoe menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya bibirnya melengkung dalam senyuman kecil.
“Syukurlah .…” bisiknya pelan.
Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi haru. Dulu cita-citanya ada desain, tapi dia harus menguburnya dalam-dalam karena orang tuanya tidak setuju.
Sekarang, Zoe untuk pertama kalinya melakukan sesuatu tanpa paksaan seperti orang tuanya dulu.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk, Zoe langsung membukanya dan terkejut melihat jumlah dari bayarannya cukup fantastis. Saat Zoe masih terpaku, tiba-tiba sesosok muncul di samping Zoe.
"Zoe!"
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭