Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dibawah atap Rian
Setelah Rian pergi ke dapur, Sinta (Bram) menghela napas lega. Ia menyandarkan punggungnya ke bantal, mencoba mengatur napas. Rasa sakit di tubuhnya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa frustrasi yang membuncah di dalam dirinya.
"Sialan!" desis Bram dalam hati. "Gue seharusnya bisa ngalahin mereka semua! Dulu, begal lima orang doang mah lewat. Cuma badan cewek lemah ini yang bikin semuanya kacau!"
Ia mengepalkan tangan, lalu segera melonggarkannya. Bahkan mengepal pun terasa melelahkan. Kenapa semua terasa begitu sulit?
Kini ia terdampar di rumah Rian. Rian, atasannya yang sudah lama ia curigai menaruh hati padanya. Situasi ini benar-benar tidak membantu rencana Bram untuk menjauh dari kerumitan hidup 'Sinta'. Sebaliknya, ia malah semakin mempererat ikatan dengan Rian.
Gue harus segera pulih dan pergi dari sini, tekad Bram. Gue nggak bisa lama-lama di sini. Bahaya.
Tak lama kemudian, Rian kembali membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air. Ia meletakkan nampan itu di meja samping tempat tidur dan dengan hati-hati membantu Sinta duduk bersandar.
"Pelan-pelan, Sinta," ucap Rian, menyendokkan sedikit bubur dan meniupnya. "Ini bubur ayam buatan Mama. Kebetulan Mama lagi nggak di rumah, jadi aku yang panasin."
Sinta merasa canggung. Ia, Bram, disuapi oleh atasannya sendiri. Rasanya seperti sebuah adegan dari sinetron yang menggelikan.
"Terima kasih, Rian. Aku bisa makan sendiri," Sinta menolak dengan sopan, mencoba meraih sendok.
Rian tersenyum lembut, tapi pandangannya tegas. "Jangan keras kepala. Tanganmu masih gemetar. Aku suapi saja, ya? Biar kamu cepat dapat energi."
Sinta pasrah. Ia membuka mulut, menerima suapan bubur itu. Buburnya terasa hambar, tetapi hangatnya menenangkan tenggorokan.
Saat Sinta makan, Rian duduk di sampingnya, mengawasinya dengan tatapan yang penuh kepedulian. Keheningan yang tercipta terasa agak mencekik.
"Sinta," Rian memecah keheningan. "Tentang begal tadi... apa kamu yakin tidak ada yang lain yang hilang selain barang-barangmu?"
Sinta terdiam, ingatannya kembali pada kengerian perkelahian itu. Ia menggeleng. "Dompet dan ponselku diambil. Syukurlah surat-surat penting sudah aku pindahkan ke tas kecil yang kumasukkan ke dalam baju."
"Syukurlah," Rian menghela napas lega. "Besok pagi aku akan urus laporan polisi untukmu. Dan setelah kamu pulih, aku akan bantu kamu mencari kontrakan baru yang lebih aman. Kontrakan yang mau kamu tuju itu... jujur, aku nggak suka lokasinya."
"Jangan repot-repot, Rian. Aku bisa urus sendiri," Sinta mencoba menolak, meskipun di lubuk hatinya, ia tahu ia akan kesulitan mengurus semuanya sendirian dalam kondisi seperti ini.
"Ini bukan kerepotan, Sinta. Ini adalah tanggung jawabku sebagai atasan, dan... sebagai teman," Rian mengoreksi dirinya, senyumnya sedikit meredup. "Aku ingin memastikan kamu aman. Dan kalau kamu butuh ganti rugi atas barang-barangmu yang hilang, bilang saja. Aku siap bantu."
Sinta merasakan kehangatan yang tulus dari kata-kata Rian, namun juga khawatir.
Kenapa dia baik banget gini? Jangan-jangan dia beneran suka sama gue, batin Bram cemas. Gawat, ini bukan yang gue mau. Gue harus jaga jarak!
"Aku menghargai tawaranmu, Rian. Tapi aku janji, aku akan segera pulih dan langsung pindah. Aku tidak mau menyusahkanmu lebih lama lagi," ucap Sinta, nada suaranya sedikit mengandung penekanan.
"Kamu tidak menyusahkanku, Sinta," balas Rian lembut. "Justru, rumah ini terasa lebih hidup dengan kehadiranmu."
Sinta hanya bisa mengalihkan pandangannya, pipinya sedikit memanas, entah karena demam atau karena pujian Rian.
Aku nggak bisa begini terus. Aku harus segera kembali menjadi laki-laki! pikir Sinta frustrasi.