NovelToon NovelToon
Lahir Kembali Di Medan Perang

Lahir Kembali Di Medan Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Penyelamat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

  Surya tahu, jika ia ingin meredakan amarah para pejuang dan merebut kembali kepercayaan mereka, ia tidak boleh berbohong. Menutupi keadaan hanya akan memperbesar api keraguan. Para pejuang bukan orang bodoh. Jika mereka merasa dibohongi, semangat juang akan padam total.

  “Bagaimana kau tahu semua ini, Surya?” tanya seorang pemuda dengan nada curiga.

  “Karena aku sendiri mendengar pengakuan tawanan Belanda!” jawab Surya tegas. “Waktu itu aku hampir dituduh pengkhianat, dan saat itulah aku dengar sendiri dari mulut mereka.”

  Banyak orang tahu tentang kejadian itu. Maka, pernyataan Surya membuat sebagian besar pasukan percaya.

  “Tapi kenapa kau tidak memberi tahu kami lebih awal?” sahut seorang pejuang lain, suaranya tajam. “Apa jangan-jangan kau sebenarnya orang mereka?”

  Sebelum Surya sempat menjawab, seorang kawannya, Okta, langsung membela:

  “Gunakan otakmu, kawan! Surya pasti diperintahkan untuk diam! Itu bukan kemauannya sendiri.”

  Beberapa pejuang mengangguk setuju. Mereka semua pernah mengalami tekanan serupa dari atasan, jadi mereka memahami posisi Surya.

  “Aku tidak ingin membenarkan diri,” lanjut Surya. “Tapi coba kalian pikir… bagaimana kalau dari awal aku mengatakan bahwa tidak ada bala bantuan, dan bahwa Belanda sudah mengepung Yogya? Apa yang akan terjadi? Semangat kita hancur, semua orang kehilangan harapan. Dan sekarang, buktinya ada di depan mata kalian: begitu mendengar kabar itu, kalian sendiri mulai goyah, ingin menyerah atau lari. Itulah kenapa Mayor tidak bisa mengatakan hal ini.”

  Semua pejuang terdiam.

  “Lihatlah!” Surya merentangkan tangannya. “Inilah akibatnya kalau aku katakan dari awal. Kalian ingin berhenti berjuang, lalu membiarkan Belanda masuk, menancapkan bayonet di dada kita satu per satu. Atau…” ia berhenti sejenak, “…kalian bisa memilih jalan lain, seperti yang Belanda janjikan, menyerah dan jadi tawanan. Mereka bilang akan memperlakukan tawanan dengan baik. Tapi kalian tahu sendiri bagaimana nasib tawanan kerja paksa, kelaparan, dan mati perlahan!”

  Wajah-wajah para pejuang menegang, beberapa menunjukkan ekspresi jijik. Mereka memang kesal dengan pemimpin yang suka menekan, tapi mereka juga membenci sesama kawan yang hanya ingin hidup nyaman dengan cara menyerah.

  “Artinya jelas,” Surya melanjutkan, suaranya mengeras. “Di depan kita ada dua pilihan: mati di sini… atau menyerah. Apa kalian mau mati sia-sia?!”

  Tak ada yang menjawab. Semua menunduk.

  “Lalu apa kalian mau jadi tawanan Belanda?” Surya kembali bertanya.

  Kali ini banyak yang menggeleng. Beberapa bahkan langsung menjawab lirih, “Tidak!”

  “Kalau begitu, hanya ada satu jalan tersisa!” suara Surya menggema di parit. “Seperti kata Mayor Wiratmaja: malam ini, jam tujuh, kita keluar serentak ke utara. Itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup!”

  “Mereka pembohong!” seru seorang pejuang yang masih keras kepala. “Mengapa kita harus terus menuruti mereka, berperang demi mereka?!”

  “Tidak, kawan!” bantah Surya cepat. “Kita tidak berjuang untuk perwira, tidak untuk siapa pun! Kita berjuang untuk diri kita sendiri untuk hidup kita sendiri! Apa ada yang lebih penting daripada hidup?”

  Beberapa orang mulai mengangguk. “Benar kata Surya,” bisik salah satu dari mereka. “Kita berjuang agar tetap hidup.”

  “Ya, kalau mau hidup, kita harus bersatu! Kita harus terorganisir saat menerobos keluar!” sahut yang lain dengan suara lantang.

  Namun masih ada kegelisahan. Banyak yang cemas kalau nanti, setelah berhasil lolos, para perwira atau instruktur akan menuntut balas atas pemberontakan kata-kata mereka malam ini.

  Surya menyadari hal itu. Ia pun menoleh pada Mayor Wiratmaja.

  Sang Mayor mengerti maksud tatapan itu. Ia melangkah maju, suaranya berat namun mantap:

  “Saya berjanji, saya tidak akan menuntut pertanggungjawaban atas insiden ini. Anggap saja kejadian malam ini tidak pernah ada.”

  Mayor Wiratmaja bahkan menoleh ke instrukturnya yang masih gelisah, memberi isyarat tegas.

  Dengan wajah masam, sang instruktur akhirnya berkata, “Baiklah… saya juga berjanji, saya tidak akan menuntut apa pun. Anggap saja tidak pernah terjadi.”

  Kegaduhan mereda. Para pejuang mulai tenang. Mereka tahu, saat fajar belum tentu masih hidup. Entah siapa yang berhasil menerobos, entah siapa yang gugur. Justru karena itulah, semua janji dendam malam ini tidak ada artinya.

  Jaminan dari Mayor Wiratmaja dan sang instruktur setidaknya memberi sedikit rasa tenang. Para pejuang mulai berpencar kembali ke pos-pos mereka, biasanya berdua atau bertiga saling menenangkan diri. Untunglah, pasukan Belanda tidak melancarkan serangan saat itu. Kalau saja mereka menyerang di tengah kekacauan tadi, pilihan pun tak perlu dibuat semuanya akan hancur begitu saja.

  Mayor Wiratmaja tak mengatakan apa pun, hanya menepuk bahu Surya pelan sebelum berlalu.

  Surya memahami maksudnya. Sang Mayor cukup cerdas untuk tahu bahwa terlalu dekat dengannya saat ini bisa menimbulkan kecurigaan di antara para pejuang. Surya harus tetap terlihat “satu di antara mereka,” bukan orang dekat komandan.

  “Wah, Surya!” bisik Okta, rekannya. “Aku baru tahu kalau kau bisa bicara sehebat itu…”

  Surya menghela napas. “Itu terpaksa, Ta.”

  “Terpaksa?”

  “Ya. Aku juga ingin hidup.”

  Raka terdiam, lalu mengangguk paham.

  Memang, jika ingin bertahan hidup, semua orang harus melakukan sesuatu, entah itu bicara, berjuang, atau sekadar menekan rasa takut mereka. Tapi tidak semua orang punya pikiran setajam Surya.

  Siang itu pertempuran berlangsung sengit. Belanda melancarkan beberapa serangan tambahan dengan artileri ringan dan tembakan mortir. Namun setelah kubu republik menerima tambahan logistik dan belasan mortir hasil rampasan, pertahanan mereka meningkat pesat.

  Serangan demi serangan Belanda akhirnya terpukul mundur. Garis pertahanan republik tetap kokoh, meski korban berjatuhan di kedua pihak. Semakin lama, yang berubah hanyalah bertambahnya jasad tentara Belanda di tanah berlumpur, bercampur dengan tubuh pejuang yang gugur.

  Jika keadaan ini berlanjut, kemungkinan rencana Surya akan terwujud: tepat pukul tujuh malam, markas pusat dan pasukan cadangan akan keluar serentak ke arah utara, mengejutkan Belanda dengan serangan mendadak.

  Tentu saja, tidak semua akan berhasil lolos. Pasukan yang dari markas pusat harus menyeberangi tepi sungai yang dijaga ketat oleh Belanda untuk bisa mencapai garis pertahanan Mayor Wiratmaja, sebelum kemudian menerobos ke arah utara.

  Namun di satu sisi, Belanda masih belum menyangka republik akan berani keluar. Di sisi lain, hanya dua mil dari utara terdapat hutan lebat. Dan memasuki hutan berarti keselamatan, setidaknya untuk sementara.

  Jika tidak ada halangan besar, cukup banyak yang bisa selamat.

  Pukul lima sore, para pejuang mengadakan semacam “perjamuan terakhir” di bawah langit senja.

  Tidak ada yang menahan diri. Semua jatah makanan dimakan habis, sebab tak ada yang tahu apakah masih bisa hidup untuk menikmati makanan esok hari.

  Selesai makan, mereka diam-diam menyiapkan barang bawaan. Melarikan diri berbeda dengan bertahan di pos. Mereka harus memikirkan kehidupan setelah berhasil lolos ke hutan: apa yang perlu dibawa, apa yang harus ditinggalkan.

  Banyak yang memilih membawa lebih banyak amunisi ketimbang makanan.

  “Daripada bawa singkong rebus, lebih baik aku bawa peluru lagi,” kata Malik, sambil menimbang peluru di tangannya, lalu memasukkannya ke dalam tas.

  Dan memang benar, ini musim penghujan yang baru saja reda, hutan di utara Yogya penuh dengan buah liar, umbi, dan binatang buruan. Makanan bisa dicari, tapi peluru tak bisa ditemukan di hutan.

  Surya hendak menyampaikan hal yang sama pada kawan-kawannya, agar lebih banyak membawa amunisi, ketika tiba-tiba…

  Bratatatat!

  Suara rentetan senapan dan ledakan mortir terdengar dari sisi lain parit.

  Semua orang langsung terdiam, tubuh mereka menegang. Suara senjata itu jelas bukan latihan Belanda melancarkan serangan besar!

1
Nani Kurniasih
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻lanjut Thor yg banyak
Nani Kurniasih
berasa ikutan perang
RUD
terima kasih kak sudah membaca, Jiwanya Bima raganya surya...
Bagaskara Manjer Kawuryan
jadi bingung karena kadang bima kadang surya
Nani Kurniasih
ngopi dulu Thor biar crazy up.
Nani Kurniasih
mudah mudahan crazy up ya
Nani Kurniasih
ya iya atuh, Surya adalah bima dari masa depan gitu loh
Nani Kurniasih
bacanya sampe deg degan
ITADORI YUJI
oii thor up nya jgm.cumam.1 doang ya thor 3 bab kekkk biar bacamya tmbah seru gt thor ok gasssss
RUD: terima kasih kak sudah membaca....kontrak belum turun /Sob/
total 1 replies
Cha Sumuk
bagus ceritanya...
ADYER 07
uppppp thorr 🔥☕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!