NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Ruangan Baru

Rafael terkesima melihat rumah megah bergaya Eropa yang berdiri kokoh di hadapannya. Arsitekturnya elegan, dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar yang memantulkan cahaya bulan.

Aku melangkah masuk. Pintu utama menjulang tinggi, dan beberapa bodyguard membungkuk hormat menyambut kedatanganku—meski jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Mereka tetap berjaga, tak tergoyahkan oleh waktu.

Dengan langkah santai dan kepala terangkat angkuh, aku menggendong Rio yang masih tak sadarkan diri. Rafael mengikuti dari belakang, matanya liar menelusuri setiap sudut rumah.

Kami melewati lorong panjang yang sunyi. Aku membuka salah satu pintu, memperlihatkan tangga menuju ruang bawah tanah. Aku turun perlahan, menyalakan lampu. Ruangan itu besar, pengap, namun mewah. Di tengahnya berdiri sebuah kursi besi, tepat di bawah lampu gantung kristal yang menjadi satu-satunya sumber cahaya.

Aku mengikat tubuh Rio yang masih pingsan di kursi itu, memastikan ia tak bisa bergerak.

"Paman, hari ini kita tidur di mana?" tanya Rafael dengan nada bingung.

"Ikuti saja aku," jawabku dingin. "Dan satu hal lagi—jangan pernah datang ke sini tanpa izinku. Aku khawatir Rio akan mengenalmu. Soal dia, biar bodyguard yang mengurus."

"Tapi Paman... kalau mereka berkhianat gimana?" tanyanya cemas.

"Tak perlu khawatir. Mereka tak akan berani. Jika ada yang berkhianat, hukumannya mati." ucapku sambil menatap Rio dengan tajam.

Aku berbalik menatap Rafael. "Dan satu lagi... jangan panggil aku 'Paman'. Panggil aku 'Lion' saat kita di luar. Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari keluarga Argandara. Ayahku sudah menyetujui, asalkan kamu tak membuat kesalahan yang bisa memancing amarahnya."

Rafael mengangguk pelan, mencoba memahami situasi.

"Baik, Pak Lion..."

"Bagus."

***

Pagi itu, aku disambut hangat oleh Bima. Ia segera memerintahkan asisten pribadinya untuk menyiapkan hidangan istimewa. Para asisten rumah tangga berdatangan, membawa makanan lezat sebagai bentuk penghormatan atas kedatanganku.

Rafael tampak melongo, tak percaya melihat para maid datang silih berganti dengan sajian yang menggugah selera. Tanpa sadar, air liurnya menetes.

Aku yang menyadari itu hanya menggeleng pelan, lalu berdehem. Rafael langsung tersadar, buru-buru mengusap bibirnya dan tersenyum canggung, memperlihatkan deretan giginya.

Setelah semua makanan tersaji, Bima memberi isyarat dengan tangannya. Para maid langsung menunduk, lalu beranjak menuju dapur. Rafael kembali terkesima, mulutnya terbuka lebar, belum terbiasa dengan suasana megah ini.

"Selamat datang, Lion... Rafael," ucap Bima sambil tersenyum, menatapku lalu mengalihkan pandangannya ke Rafael.

"Rafael," lanjutnya dengan nada dingin. "Jelaskan siapa dirimu."

Rafael terdiam sejenak, lalu tersenyum sopan. "Perkenalkan, aku Rafael. Sekarang aku kelas 10. Senang sekali Tuan Bima mau menerima aku."

Bima tertawa pelan, matanya menatap tajam. "Baik... Senang juga bertemu denganmu, anak muda."

Bima lalu melirik ke arah seorang pria yang berdiri di sampingnya dan memberi isyarat. Pria itu mengangguk.

"Perkenalkan, saya Will, asisten pribadi Tuan Bima. Saya ditugaskan untuk membimbing Anda menjadi pribadi yang kuat," jelasnya.

Rafael mengernyit bingung. Membimbing? Apa maksudnya?pikirnya.

Will menangkap ekspresi itu dan tersenyum kecil. "Begini, Tuan Rafael. Saya akan membantu Anda menjadi lebih tangguh, dewasa, dan siap menghadapi dunia. Setelah makan, saya akan menemani Anda berkeliling rumah."

Rafael mengangguk sambil tersenyum. "Baik, aku mengerti."

Will kemudian memberi isyarat kepada seorang maid berusia sekitar 55 tahun yang telah lama bekerja di rumah itu. Maid itu maju satu langkah.

"Tuan Rafael, perkenalkan saya Bi Rupi. Saya sudah bekerja dengan Tuan Bima selama 30 tahun, sejak saya masih muda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, panggil saja saya." ucapnya ramah, lalu mundur dengan sopan.

Rafael mengangguk, dan aku memberi isyarat kepada keduanya untuk pergi. Mereka membungkuk hormat, lalu meninggalkan ruangan.

"Ayah senang kamu sudah kembali," ucap Bima sambil menyatukan kedua tangannya. "Minggu depan, Ayah akan mengadakan acara penyambutan untukmu, Lion. Dan kamu harus siap dengan tanggung jawab selanjutnya."

Aku mengangguk paham, lalu memimpin doa dan mulai makan. Suasana begitu hening, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar.

Setelah selesai makan, aku bertepuk tangan tiga kali. Will segera datang, sedikit menunduk.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" Tanyanya sopan.

"Ajak Rafael berkeliling. Aku ada urusan penting." jawabku dingin.

"Baik, Tuan." Will menunduk, lalu beralih ke Rafael. "Mari, Tuan Rafael."

Rafael dengan girang tersenyum lebar lalu berjalan penuh semangat meningalkan Will yang masih dibelakangnya. Matanya begitu liar menatap sekeliling tanpa absen.

"Kamu mau ke mana, Lion?" tanya Bima saat aku baru saja berdiri.

Aku menghela napas panjang, memutar bola mata malas. "Ke basecamp... tempat Penghakiman. Ayah mau ikut atau...?" ucapku, mencoba memancing.

Bima tertawa kecil, lalu berdiri. "Sudah lama tangan Ayah belum kotor," ucapnya tajam. "Jadi Ayah ingin bersenang-senang dulu dengan mangsamu, Lion."

Refleks, aku mundur selangkah, menghindari tatapan lelaki tua yang penuh dosa itu.

"Tapi jangan rusak semuanya," ucapku memperingatkan, lalu segera pergi.

Kini aku mengenakan hoodie hitam, berdiri di hadapan Rio yang sudah sadar. Bau alkohol menyengat dari muntahannya. Tapi yang paling mencolok adalah Bima—ia mengenakan jubah putih dan topeng menyeramkan, seperti pemuja setan.

Pikiranku berkecamuk, kembali ke masa saat aku berumur sepuluh tahun.

Aku ingat saat sedang asyik bermain sendirian, tiba-tiba melihat seseorang berjalan di lorong dan masuk ke kamar ibu. Penasaran, aku mengikuti dan mengintip dari celah pintu.

Sosok itu membuka topengnya, terlihat kepanasan. Saat aku mengintip lebih dekat, ternyata itu adalah ibuku, namanya Sari.

Aku sempat bingung melihat ibu mengenakan pakaian aneh seperti itu. Tapi saat itu, aku masih kecil. Aku kembali bermain, tak peduli dengan apa yang baru saja kulihat.

Aku tersadar dan mendapati Bima menepuk pipi Rio dengan keras, nyaris seperti tamparan. Rio menatap tajam, lalu mulai memberontak.

"Siapa kalian?! Lepaskan aku! Kalian nggak tahu siapa aku, ha?" teriaknya lantang. "Ayahku ketua polisi! Kalian cuma sampah yang ngincar uang, kan?"

Aku hanya tertawa kecil. Sementara Bima tertawa terbahak, lalu kembali menepuk pipi Rio. Aku memilih diam, ingin melihat seberapa jauh Bima akan bertindak. Apakah dia benar-benar seperti yang pernah ia katakan—bahwa aku adalah cerminan dirinya di masa muda?

"Anak muda... Kepala polisi, ya?" ucap Bima dengan nada sengit. "Ayahmu itu... Pak J. Seno?"

Rio mengangguk sambil tersenyum sinis. "Kalian bakal ketangkap. Aku jamin kalian bakal bayar dua kali lipat!" ancamnya sambil mencoba maju.

Bima tertawa lagi. Aku hanya menyilangkan tangan di dada, menyaksikan aksinya dengan tenang.

"CK, sudah seperti ini dia masih mau sombong." Guamamku tak habis fikir.

"Kamu serius, anak muda?" ucap Bima, lalu menatapku. "Sepertinya kamu harus membunuhnya, Lion." bisiknya sebelum beranjak pergi, menepuk pundakku dan meninggalkan ruangan.

Aku menghela napas panjang, binggung sama maksud bima. "Cuman seperti ini... main-mainnya? Dasar tua bangka."

lalu aku melangkah mendekati Rio yang kini mulai ketakutan. Aku berjongkok di hadapannya, menatap matanya tajam.

"Tunjukkan keberanianmu, Rio." ucapku dingin.

"SIAPA KAMU?! LEPASIN, DASAR BRENGSEK!" teriaknya.

"Kamu yakin nggak kenal aku?" tantangku.

"Lepasin Rafael! Rafael!" bentaknya kasar.

Aku tertawa keras. Dia pikir aku Rafael? Bodoh. Tubuh kami jelas berbeda.

Aku melepas topeng dan melemparkannya ke samping. Rio terbelalak, tak percaya melihat wajahku.

"Kamu... Kamu paman Rafael, kan? Kita nggak ada urusan! Lepasin! Bangsat!" teriaknya sambil memberontak.

Aku mengusap wajah, menarik rambutku frustasi. Sikap Rio yang sombong dan angkuh membuatku muak, bahkan dalam keadaan terikat seperti ini.

"Kau benar-benar bikin muak!" teriakku.

Aku mencengkeram pipinya dengan kasar. "Nggak ada urusan, katanya? Kamu lupa dosa-dosamu ke aku dan Rafael?"

Rio meringis kesakitan. "Aku salah... Tapi bukan cuma aku! Erlan yang jadi ketuanya!"

"Aku tahu itu. Tapi kamu lupa dengan..."

"SAMPAH MASYARAKAT YANG HARUS DISINGKIRKAN! MEREKA PANTAS MENDAPATKAN ITU! BIAR BELAJAR JADI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA!" teriakku, suara naik satu oktaf.

Dengan emosi yang meledak, aku menendang wajahnya. Kursi tempat Rio terikat nyaris terjungkal. Hidungnya mimisan, wajahnya lebam.

"Aku... Aku nggak pernah bilang begitu..." sangkalnya memelas. "Tolong... Lepasin aku..."

Aku semakin emosi. Aku mencengkeram bajunya, menarik tubuhnya mendekat. Dari saku hoodie, aku mengeluarkan pisau lipat dan memperlihatkan ujungnya.

Rio menggeleng ketakutan, air matanya bercucuran. "Akui dosamu... atau..." ancamku.

Rio tetap diam. Ketakutan membungkamnya. Ia tahu, kejujuran bisa jadi akhir hidupnya.

"JAWAB ATAU..."

Srekk...

"ARGGGGGG!!!"

"ARGGGGGG!!!"

Rio menjerit histeris saat pisau itu menggores bibirnya. Darah mengalir deras di pipinya, bercampur air mata. Seperti pewarna merah yang tumpah ke air bening.

"JUJUR, RIO!" bentakku. "KAMU JUGA YANG BAKAR WARUNG MIE AYAM DAN SEBAR VIDEO ITU, KAN?! APA KAMU NGGAK PUAS MENGHANCURKAN SEMUANYA?!"

Rio hanya menangis, menggeleng. Seolah tak merasa bersalah.

Aku menekan pipinya yang terluka. Rio kembali menjerit.

"ARGGGGG!!!"

Aku menekan lebih kuat. Rio tak berhenti bersuara, memilih menahan sakitnya.

Akhirnya, aku melepaskannya. Aku tertawa seperti orang kerasukan.

"Jujur... atau kau akan dapat lebih dari ini," bisikku pelan di telinganya.

Rio menahan sakit, mengangguk pelan. Aku mundur, berdiri menatapnya tajam.

"Aku... Aku salah... Tapi... Kumohon... Le... Lepasin aku..." ucapnya terbata, lalu pingsan.

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!