Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PALU YANG MENGUNCANG
Ruang sidang pagi itu dipenuhi ketegangan. Udara dingin dari AC bercampur aroma kertas tua, parfum mahal, dan keringat yang nyaris tak terlihat. Semua orang duduk dengan postur kaku—punggung lurus, tatapan terfokus. Tapi meski begitu, ketegangan merambat dari ujung ruangan hingga ke meja hakim.
Maya duduk di kursi penggugat, jas tipisnya terasa lebih berat dari biasanya. Di sebelahnya, Adrian duduk tegap, jas abu-abu gelapnya tanpa satu kerutan pun, dasi terikat sempurna. Sementara di seberang, Reza mengenakan setelan hitam elegan, tapi senyum licik yang kemarin sempat menguasai wajahnya sudah mulai memudar.
Hakim memasuki ruangan, palu diketuk tiga kali.
“Sidang dilanjutkan. Pihak penggugat, silakan melanjutkan presentasi bukti.”
Adrian berdiri perlahan. “Yang Mulia, kami telah menyerahkan bukti tertulis dan visual yang memperkuat posisi klien saya. Izinkan saya memulai dari fakta yang paling mendasar—ketidakhadiran tergugat dalam kehidupan anak ini selama hampir empat tahun penuh.”
Ruang sidang hening. Semua mata terarah padanya.
“Empat tahun, Yang Mulia. Bukan empat minggu, bukan empat bulan. Empat tahun di mana anak ini belajar berjalan, bicara, membaca—semuanya tanpa ayahnya. Kami memiliki catatan dari pihak sekolah, data absensi, dan kesaksian guru yang akan dipanggil di tahap selanjutnya.”
Ia membuka map, mengeluarkan salinan dokumen bank. “Kami juga memiliki bukti bahwa selama empat tahun ini, tidak ada satu pun transfer dari tergugat ke rekening klien saya untuk biaya hidup anak tersebut. Tidak satu rupiah pun. Ini jelas membantah klaim tergugat bahwa ia peduli dan bertanggung jawab.”
Pengacara Reza mencoba menyela. “Yang Mulia, absennya tergugat bukan berarti ia tidak memiliki niat baik. Ada alasan yang—”
Adrian menatapnya tajam, lalu berkata dengan nada berat, “Alasan apa yang bisa membenarkan meninggalkan anak kandung selama empat tahun tanpa kabar, tanpa nafkah, tanpa kunjungan?”
Hakim mengangkat tangan, memotong. “Pengacara tergugat, biarkan pihak penggugat menyelesaikan penyampaian.”
Adrian melanjutkan, nada suaranya semakin mantap. “Yang Mulia, kami juga menyerahkan foto-foto yang membuktikan bahwa hanya klien saya yang hadir di setiap momen penting anak ini—hari pertama sekolah, pentas seni, ulang tahun. Tergugat tidak pernah hadir. Ini bukan sekadar kelalaian. Ini penelantaran.”
Bisik-bisik mulai terdengar di antara hadirin. Maya menunduk sebentar, menggenggam gelang mungil Nayla yang ia simpan di saku jasnya. Ia mengingat malam-malam panjang tanpa bantuan siapa pun, hari-hari di mana ia harus memilih antara makan atau membeli buku gambar untuk Nayla.
Hakim menatap ke arah Reza. “Tergugat, apakah Anda ingin menanggapi tuduhan ini?”
Reza berdiri, mencoba tersenyum. “Yang Mulia, benar saya tidak berada di sisi anak saya selama beberapa tahun. Tapi itu bukan berarti saya tidak peduli. Ada masalah pribadi yang membuat saya…” ia berhenti, mencari kata, “…tidak bisa hadir.”
Adrian langsung memotong. “Masalah pribadi yang cukup berat sehingga Anda bahkan tidak bisa menelepon anak Anda di hari ulang tahunnya?”
Senyum Reza meredup. “Saya—”
“Bahkan di saat anak Anda sakit dan harus dibawa ke rumah sakit, Anda tidak ada di sana. Kami punya bukti rekam medis yang menunjukkan siapa yang menandatangani surat persetujuan operasi kecilnya. Dan itu adalah klien saya, sendirian.”
Ruangan kembali bergemuruh. Hakim mengetuk palu dua kali.
Adrian mencondongkan tubuh sedikit ke meja hakim. “Yang Mulia, kami meminta pengadilan untuk mempertimbangkan fakta ini sebagai bentuk penelantaran anak. Dan sesuai Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Anak, penelantaran dalam jangka panjang adalah pelanggaran serius yang memerlukan tindak lanjut lebih jauh.”
Hakim mengangguk pelan. “Kami akan mencatat permintaan itu.”
Pengacara Reza mencoba membalikkan keadaan. “Yang Mulia, kami juga memiliki bukti bahwa penggugat pernah meninggalkan rumah selama tiga hari tanpa memberi tahu siapa pun, meninggalkan anaknya pada tetangga.”
Maya mendongak, hendak membela diri, tapi Adrian mengangkat tangannya sedikit—sebuah isyarat untuk tetap diam.
“Yang Mulia,” ucap Adrian, “kami tidak menampik kejadian itu. Tapi kami juga memiliki saksi yang akan menjelaskan alasan kepergian klien saya saat itu, yang sepenuhnya demi kepentingan anak. Sementara pihak tergugat—” ia menoleh sejenak ke arah Reza, “—meninggalkan anak itu selama empat tahun tanpa satu pun alasan yang layak.”
Tatapan hakim kini penuh sorotan pada Reza. “Tergugat, empat tahun adalah waktu yang sangat lama. Apa alasan Anda?”
Reza menggenggam kursi, suaranya mulai meninggi. “Saya… tidak bisa berada di sini karena masalah pekerjaan di luar negeri. Saya ingin kembali, tapi—”
“Empat tahun, dan Anda tidak bisa pulang bahkan untuk satu minggu?” potong hakim.
“Saya… saya sibuk, Yang Mulia.”
Suasana ruangan berubah. Beberapa orang di bangku belakang menggeleng pelan. Adrian tidak menambahkan kata-kata lagi. Ia tahu diamnya sekarang lebih memojokkan Reza daripada argumen apapun.
Hakim menarik napas panjang. “Berdasarkan bukti yang telah diajukan, pengadilan memutuskan untuk menindaklanjuti perkara ini dengan pemeriksaan tambahan. Kami akan memanggil saksi-saksi dari pihak sekolah, tetangga, dan pihak medis yang pernah menangani anak ini. Penelantaran selama empat tahun bukan hal sepele. Sidang akan dilanjutkan minggu depan.”
Palu diketuk. Tok!
Begitu sidang diskors, Reza bangkit cepat, menghampiri Maya dengan wajah menegang. “Kamu pikir ini selesai? Aku belum kalah.”
Maya menatapnya tenang, meski di dalam dadanya badai masih bergolak. “Empat tahun, Reza. Itu sudah cukup bilang ke semua orang siapa kamu sebenarnya.”
Adrian melangkah ke depan, berdiri di antara mereka. “Saran saya, gunakan minggu ini untuk menyiapkan jawaban yang lebih baik. Karena minggu depan, saya akan pastikan semua orang di sini tahu kenapa Anda menghilang.”
Reza memandangnya dengan mata menyipit, lalu melangkah pergi, bahunya tegang.
Maya menunduk, merasakan napasnya baru benar-benar mengalir. Satu babak selesai, tapi perang belum usai. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat celah—celah yang bisa membuatnya menang, bukan hanya di pengadilan, tapi di hidupnya.
kamu harus jujur maya sama adrian.