Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 8.
Keesokan harinya, Ardan sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian rapi. Namun wajahnya tidak tenang. Sejak pagi ia berulang kali menekan tombol panggilan di ponselnya, mencoba menghubungi Nadira. Hampir satu jam berlalu, panggilannya tetap tak terjawab.
“Kemana dia? Tidak mungkin aku mendatangi kamarnya... keadaan masih belum tepat,” gumamnya, gelisah.
Ia akhirnya menekan nomor resepsionis hotel, meminta staf mengecek kondisi Nadira. Tak lama, kabar itu datang membuat jantungnya mencelos. “Nona Nadira tidak membuka pintu kamar.“
“Sial!” Ardan menghantam meja dengan kepalan tangan. Kecemasan mengalahkan gengsi yang selama ini ia jaga. Ia bergegas menuju kamar Nadira, ditemani supervisor hotel.
Di depan pintu, ketukan tangannya tak mendapat balasan. Lima menit terasa begitu panjang, hingga ia tak lagi sanggup menunggu.
“Berikan Master Key padaku! Aku yang akan bertanggung jawab,” tegasnya.
Supervisor ragu sejenak, namun akhirnya menyerahkan kunci cadangan. Suara klik terdengar, pintu pun terbuka. Ardan segera menyerbu masuk.
Pemandangan yang ia temukan membuat darahnya berdesir. Nadira tergeletak di ranjang, tubuhnya meringkuk dengan rintihan lirih.
“Dira!” Ardan berlutut, menepuk pipinya cemas.
Mata Nadira terbuka samar. “Tu... Tuan...”
“Kamu kenapa?”
“Sa-sakit...”
“Dimana sakitnya?”
“Perut...”
Ardan tak menunggu lagi. “Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang."
Ia sempat menoleh ke supervisor, “Panggil staf pria untuk membantu__” namun kalimatnya terputus oleh pikirannya sendiri. Ia menggeleng keras. “Tidak! Biar aku saja. Persetan dengan berita!”
Dengan satu gerakan mantap, ia mengangkat tubuh Nadira ke pelukannya. “Siapkan mobil saya!”
Supervisor itu menelepon melalui talkie walkie hotel, saat Ardan sampai di bawah mobil serta supir sudah menunggu.
Mobil melaju kencang. Sepanjang perjalanan, Nadira hanya menggertakkan gigi menahan sakit. Wajahnya pucat, matanya sayu. Ardan memandanginya dengan hati yang terus bergemuruh, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar sakit biasa.
Setibanya di rumah sakit, Nadira langsung ditangani tim medis. Waktu seolah berjalan lambat bagi Ardan. Ia mondar-mandir dengan wajah menegang, hingga satu jam kemudian dokter keluar dengan raut serius.
“Tuan, hasil pemeriksaan menunjukkan pasien menderita kanker lambung stadium awal.”
Ardan tercekat. Dunia seakan runtuh seketika. “Kenapa bisa...?”
“Ada beberapa kemungkinan penyebabnya,” jelas dokter dengan tenang. “Bisa karena faktor genetik, misalnya ada riwayat penyakit lambung di keluarga. Bisa juga karena riwayat sakit maag atau GERD yang sudah lama. Selain itu, pola makan yang kurang sehat juga memberi pengaruh besar. Misalnya terlalu sering mengonsumsi makanan asin, pedas, makanan olahan, dan jarang makan buah serta sayuran. Yang membuat sulit dideteksi sejak awal adalah karena gejalanya mirip gangguan pencernaan biasa, seperti nyeri di ulu hati, perut terasa kembung, cepat kenyang, mual, dan nafsu makan menurun.”
Dokter menjelaskan panjang lebar tentang faktor risiko, pola makan, hingga gejala yang samar.
“Apa yang harus dilakukan?” tanya Ardan, suaranya bergetar meski ia berusaha tegar.
“Operasi menjadi pilihan terbaik, karena sel kanker masih kecil dan belum menyebar. Jika ditunda, risikonya akan jauh lebih besar.”
Ardan mengangguk cepat. “Kalau begitu, lakukan segera! Jangan buang waktu!”
Beberapa saat setelah dokter pergi, Nadira siuman. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergerak pelan. “Tuan... saya di mana?”
“Di rumah sakit,” jawab Ardan dingin, meski hatinya kalut. “Kamu akan segera dioperasi. Aku tidak ingin keluargamu menyalahkanku seolah aku menindasmu sampai sakit begini. Apa aku terlalu kejam sebagai atasanmu, sampai tubuhmu jatuh selemah ini?”
Nadira menelan ludah. “Penyakit saya... apa?”
“Kanker lambung! Masih awal, tapi harus segera ditangani.”
Air mata tipis menggenang di pelupuknya. “Saya... tidak ingin operasi. Biayanya pasti sangat mahal. Saya tidak punya uang, saya masih harus melunasi hutang-hutang orang tua. Saya bisa menunda pengobatan ini.”
Ardan terdiam sejenak, lalu mendengus kasar. “Kau benar-benar bodoh, Nadira. Untuk menyelamatkan hidupmu sendiri, kau masih menimbang biaya? Dimana kesombonganmu saat dulu aku dituduh mencuri dan ditangkap... kau malah menyodorkan surat cerai, lalu pergi meninggalkanku?!”
Suara Ardan meninggi, amarah lama yang ia kubur pecah bersama kekhawatirannya.
Tubuh Nadira bergetar. “Masa lalu sudah lewat, Tuan. Sekarang saya hanyalah pegawai Anda. Kesehatan saya... urusan saya. Anda tidak perlu peduli!”
Ardan menatap mantan istrinya itu dengan tajam. “Aku tidak peduli dengan penyakitmu! Aku hanya tidak ingin disalahkan! Uang operasi ini akan aku tanggung, jika perlu... aku potong dari gajimu!”
Nadira menutup mata, menahan pedih bukan hanya di perut tapi juga di hati. “Uang sekecil apapun sangat berarti untuk saya, mungkin Tuan sudah lupa rasanya hidup tanpa uang__”
Ardan terkekeh pahit, memotong ucapan Nadira. “Lupa? Bahkan saat aku ditangkap, aku tak mampu membayar jaminan! Kau yang lari meninggalkanku! Dan sekarang, lihatlah! Kau yang membutuhkan uang, sementara aku... berbaik hati akan menolongmu. Tapi kebaikanku punya harganya! Aku akan menanggung semua ini, asal kau rela menjadi wanita simpananku! Karena seperti kau tau, aku sudah memiliki calon istri!”
Kata-kata itu menghantam Nadira lebih keras daripada penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Air matanya jatuh, tubuhnya gemetar. Ia ingin bicara, namun suaranya terkunci.
Dan saat itulah suara lembut namun menusuk terdengar dari ambang pintu.
“Ardan...” Claudia berdiri di sana, melangkah masuk dengan senyum manis. Ia langsung merangkul lengan Ardan tanpa canggung.
“Aku kangen jadi nyusul kesini, staf hotel bilang kamu membawa sekretarismu ke rumah sakit. Aku nggak ganggu, kan?”
Ardan menarik nafas dalam, lalu menoleh. “Tidak! Ayo, kita pergi. Biarkan dia beristirahat.”
Claudia tersenyum riang. “Oke. Tapi... siapa yang akan menemani sekretaris-mu?”
“Supir akan menemaninya, itu cukup. Dia hanya sekedar bawahanku!” Ardan menarik tangan Claudia, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.
Di ranjangnya, Nadira hanya mampu tersenyum getir. Kata-kata Ardan terus bergema di kepalanya.
Wanita simpanan.
Senyum itu berubah jadi tawa lirih, namun lebih mirip tangis yang tertahan.
Sementara itu, kabar tentang Nadira yang dilarikan ke rumah sakit sudah sampai ke telinga ibu kandung Ardan — Nyonya Rarasati. Kecemasan segera menyelusup ke hatinya, ia pun diam-diam mengutus seseorang untuk mencari tahu kondisi Nadira sekaligus memastikan apa yang sebenarnya dilakukan putranya di sana.
Utusan yang dikirim Nyonya Rarasati tiba di rumah sakit, kebetulan disaat Claudia juga datang. Ia adalah pria paruh baya bernama Wirya, orang kepercayaan keluarga sejak lama. Dengan langkah tenang namun penuh kewaspadaan, ia menyusuri lorong rumah sakit mencari tahu di ruangan mana Nadira dirawat.
Tak sulit baginya menemukan jawabannya, Nama Nadira tercatat jelas di meja perawat. Wirya pun berdiri di kejauhan, memperhatikan dengan saksama.
Saat itu, pintu kamar Nadira terbuka. Ia melihat Ardan berjalan keluar dengan Claudia yang merangkul lengannya. Tatapan Ardan datar dan dingin, seakan tak peduli pada wanita yang terbaring lemah di balik pintu. Claudia tersenyum manja, begitu kontras dengan suasana rumah sakit yang sunyi.
Wirya menghela napas panjang. Benar apa yang dikhawatirkan sang Nyonya... Ardan sedang tersesat oleh balas budi dan ego-nya.
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒