Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13—PPMITMC
HAPPY READING
___________________________________
Suara bariton memberat itu membuat Caroline meringis, apakah dia gagal melarikan diri lagi?
Bahkan saat pria itu terlelap.
Caroline menoleh secara perlahan dan memastikan apakah suara itu dari suara orang terbangun atau karena dia mengigau.
Huh ...!
Caroline bernapas lega. Rupanya Calvino sedang meracau dalam alam bawah sadar, sejatinya lelaki itu sedang terlelap sampai posisi tidurnya menyamping ke kanan.
Pinggangnya melengkung nyaris menyerupai karet. Bergegas dari itu, Caroline terkekeh manis nan lembut. "Tuan Calvino sepertinya orang yang manja dan bucin banget, pasti, kalau lagi tidur, ya ..., iya dia ganteng," gumamnya.
Pelan namun tetap memperhatikan langkahnya, Caroline melangkah mendekati Calvino, berusaha membenarkan posisi tidur lelaki itu di atas sofa.
Pertama, gadis se-mungil itu menarik tubuh Calvino ke ujung sofa panjang tersebut, sebelumnya dia telah mempersiapkan sebuah bantal untuk penyanggah di bawah kepala.
Kemudian kaki yang terlepas dari meja, pelan-pelan dia naikkan ke atas sofa. "Selesai."
Selepas itu, dia melebarkan selimut, dan menjatuhkannya secara perlahan ke atas tubuh Calvino yang terlelap memanjang di atas sofa.
Dia tarik selimut dari bawah kaki ke atas dada. Menahan diri sejenak karena ketampanan lelaki ini benar-benar membuatnya terhipnotis.
Debar dada dan denyut nadi seolah berlari maraton tanpa aba-aba. "Hei, Tuan ..., saya pamit pulang," gumam Caroline tersenyum manis sambil meletakkan tangan bertumpu-an dengan lutut dimana tubuhnya sedang membungkuk ke depan Calvino.
"Saya do'akan, semoga Anda bisa menemukan istri Anda yang sesungguhnya. Saya bukan dia, kalau saya di sini terus, bagaimana dengan kehidupan kalian selanjutnya, ditambah saya punya tanggungjawab dengan kehidupan saya sendiri."
Sudah cukup. Ekspresi wajahnya bergumam demikian, gadis cantik berkulit lembut itu berbalik perlahan. Membawa tubuh yang membungkuk tadi segera dia tegakkan.
Semilir angin memeluknya, itu membuat kulitnya menggeliat, kedinginan. Lingerie dan Lace robe itu terlalu tipis, hingga tak mampu menepis dinginnya malam ini, semakin lama, malam mengirim aroma senyap itu kian menusuk ke telinga sampai ke dasar kulit tubuh.
"Kenapa malam ini dingin banget," keluhnya mengusap dan memeluk dirinya sendiri.
Angin itu hanya jeda, mengecoh perhatian Caroline. Selama dua menit gadis itu berdiam di samping Calvino, tanpa sadar pria itu telah terbangun sejak gadis itu berbicara untuk pergi.
Calvino membuka mata, memandangi istrinya dari ujung betis sampai ke pucuk kepala, lekukan tubuh tipis sang istri menggodanya.
Ditambah transparan tubuh Caroline tampak membentuk jelas di pandangannya. Lelaki itu terbangun dan menurunkan kaki sambil tertunduk dan menyulam senyum tipis di sana.
"Kalau dingin, kembali ke kamar dan istirahat. Kenapa masih di sini dan terus-menerus mencari cara untuk pergi lagi?" tegur Calvino.
Caroline terkesiap hebat mendengar suara itu. Sebelum raganya berbalik ke belakang, pergelangan tangan Caroline telah terbelenggu genggaman lelaki yang terduduk tenang di belakangnya.
Dengan sigap dia menoleh dengan tubuh mengerjap pun agak melompat ke sisi lain. "Aarght ...!" Spontan dia berteriak saat tangannya tersentuh.
Mampus! Batinnya menggerutu dengan bola mata membulat, tegang.
"Kenapa kamu bangun? Bu-bukannya tadi ka—"
Aarght ...! Lepaskan! Calvino please ...! lepaskan aku, aarght ...! Calvino!
Teriakan Caroline semakin menciut. Seperti tubuhnya yang terlepas ke sofa, terjatuh karena Calvino menariknya masuk ke sana, lalu dia menyusul di sisi luar sofa panjang.
Menumpuk tubuh Caroline dengan dirinya, kaki dan tangan jenjang lelaki itu sepakat mengunci tubuh mungil gadis itu, ditambah paras tampan dengan hidung lancip itu sengaja dibenamkan di ceruk leher sang istri di matanya.
Belum habis, Calvino bahkan mengecup leher Caroline, dia terbenam lebih jauh—menghirup aroma tubuh gadis itu, rasa manis dengan aksen hangat menggila di jiwanya, mulai merasuki diri sendiri.
Geli. Caroline meringis, berusaha menciut agak jauh dari Calvino. "Aarght ...! No! Calvino! Kamu gak m*buk, minggir sekarang sebelum aku tendang kamu!" berontak Caroline berjuang untuk mendorong Calvino menjauh darinya.
Namun, gertakan itu tidak membuatnya menyerah. Justru karena penolakan itu, ditambah aroma tubuh Caroline telah merasuki jiwa Calvino, menjadikan lelaki itu semakin jauh.
Dia membawa tangannya masuk ke bawah punggung Caroline, dia penjara tubuh kecil itu dalam dekapannya, satu kaki dia tahan di tengah dua kaki gadis itu yang menjulur, kaku.
"Ssstt ..., jangan berisik. Ini udah malam, kita bicarakan besok, dan aku gak bisa menahannya lagi." Calvino mengabaikan tujuannya selama ini.
Ya! Membuat sang istri menyerah padanya, tak ingin menyentuh, apalagi mencumbu wanita itu, layaknya hubungan suami dan istri, tetapi malam ini?
Calvino malah nyaman terlelap di atas dada Caroline. Di matanya, dia hanya merasa nyaman dengan istrinya kali ini, sejatinya yang membuatnya nyaman bukanlah sang istri, melainkan wanita lain yang dia paksa untuk masuk ke sana.
Malam semakin tinggi, larut menjerat ke-duanya dalam kantuk dan kenyamanan yang tak berdasar. Caroline terbelenggu di sana, dalam pelukan Calvino, dimana lelaki itu ada di atasnya.
Menautkan senyuman di bibir seorang anak kecil yang diperkirakan baru berusia tiga tahun, dia termenung melihat kemesraan pasangan itu dari atas. "Papa senyum," gumamnya bersandar di pagar railing kaca tempered sebagai pembatas lantai.
"Mama gak ada, apa Bunda dari Bunda malaikat?" ucapnya dengan raut penuh tanya.
Sembari memeluk mainan robot berwarna merah dan hitam, langkah kecil anak itu melaju ke belakang lorong di sisi kiri, dia berkeliling di lorong itu sampai dia menembus ke kamar pribadinya.
Melompat ke atas ranjang selepas dia melempar mainan robot itu ke sembarangan tempat, ia tergeletak di bawah, tepat di atas karpet berbulu di tengah ruangan.
Sedangkan anak kecil itu melempar bantal dari atas ran jang, untuk menemukan sesuatu yang dia sembunyikan di sana, yakni sebuah bingkai foto mendiang ibunda tercinta.
"Bunda, Bunda ..., Bunda malaikat Dennis bawa kabar bahagia," katanya dengan aksen lembut layaknya anak seusianya.
Hanya saja, kelebihan putra dari Calvino ini telah lancar berbicara dengan jelas, tak sedikitpun cadel seperti anak-anak lain, pertumbuhannya cepat dan normal, cenderung cerdas.
Menyeret bokong ke dinding, dia bersandar di sana, duduk di atas kasur sambil memangku bingkai foto Karmelita yang diberikan oleh kakek Harmoine Corvin, perlahan nan lembut dia mengusap wajah Karmelita dalam bingkai foto itu.
"Bunda malaikat, Dennis suka lihat Papa senyum," ungkapnya layaknya orang dewasa.
Akan tetapi untaian senyum di bibir anak kecil laki-laki itu menunjukkan jika dia masihlah anak kecil, ingin dimanja, diperhatikan dan dipedulikan layaknya anak seusianya.
"Mama jahat, Mama gak suka sama Bunda, katanya Bunda itu penjahat, Papa marah-marah, Dennis takut, Bunda ..., tapi di bawah tadi, bukan Mama, pasti Bunda," urainya melebarkan senyum sampai ke sudut-sudut bibir.
Bingkai cantik wajah Karmelita didekap di dada. "Bunda malaikat ..., Dennis mau Bunda. Bunda yang membuat Papa senyum," tandasnya tersengih penuh bahagia.
Angin membuat anak kecil itu untuk terlelap, perlahan angin malam membuainya dan mengirimnya tenggelam ke alam bawah sadar yang terganggu.
Sejatinya anak ini telah terlelap beberapa waktu lalu. Namun, teriakan Caroline berhasil membangunkannya, dia terbangun dan berjalan-jalan di sana tanpa pantauan babysitter.
Melihat Caroline dam Calvino seolah bermadu kasih di ruang tengah. Di sanalah Dennis Orion Harmoine beranggapan jika 'Bunda' yang dia dambakan telah datang.
"Bunda ..., Bunda datang, ya, Bunda malaikat, Dennis akan bahagia, ya, Bunda. Papa senyum, Dennis suka ...,," racau Dennis terlelap di kamar pribadinya seorang diri.
To be continued .....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt