Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 Sentuhan kecil
Mobil hitam mewah itu melaju tenang di jalanan malam, meninggalkan gedung acara yang masih ramai dengan cahaya lampu dan denting gelas. Adrian duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi seperti biasa: dingin, serius, matanya lurus menatap jalanan tanpa sedikit pun berpaling.
Di sebelahnya, Alira menopang dagu sambil mencuri pandang ke arah profil wajah suaminya. Hidungnya yang mancung, rahang tegas, dan bibir tipis yang tak pernah tersenyum itu entah kenapa selalu sukses membuat jantung Alira berdetak lebih kencang. Tapi tentu saja, Alira tak akan mengakuinya dengan mudah.
“Aduh, Mas…” gumamnya tiba-tiba dengan nada centil, sengaja memecah keheningan yang terasa kaku.
Alis Adrian terangkat tipis. “Apa lagi?” tanyanya datar, tanpa menoleh.
Alira tersenyum nakal, menggoyang-goyangkan kakinya. “Mas itu… kalau lagi marah, tambah ganteng, lho.”
Adrian melirik sekilas. “Saya tidak sedang marah.”
“Hmm, wajah Mas kelihatan kayak patung es. Itu kan biasanya tanda lagi marah,” balas Alira cepat, lalu terkikik kecil.
Adrian mendesah, kembali fokus ke jalan. “Kau terlalu banyak bicara.”
Alira menoleh penuh ke arahnya, dagu diangkat sedikit. “Ya kan aku istri Mas. Kalau aku diam, nanti Mas kesepian. Nggak kasihan apa sama suamiku yang dingin ini?”
Sekilas, bibir Adrian menegang. Kalimat sederhana itu—“suamiku”—terdengar entah bagaimana menimbulkan rasa hangat yang asing di dadanya. Tapi tentu saja, ia tidak akan membiarkan Alira tahu.
“Kesepian lebih baik daripada bising,” sahutnya singkat.
“Heh!” Alira manyun, lalu melipat tangan di dada. Tapi detik berikutnya, ia menyeringai lagi. “Ya udah, kalau Mas nggak mau ngobrol, aku nyanyi aja deh. Suaraku kan bagus.”
Tanpa menunggu izin, Alira mulai bersenandung pelan, sengaja memilih lagu cinta yang manis. Adrian mengetukkan jarinya di setir, seakan menahan diri agar tidak menegurnya. Suara Alira memang tidak buruk, tapi nyaringnya cukup membuat fokusnya terusik.
Sampai akhirnya, saat mobil berhenti di lampu merah, Adrian menoleh dengan tatapan menusuk. “Kau bisa diam sebentar?”
Alira menatap balik, lalu tersenyum penuh kemenangan. “Berarti Mas perhatiin aku, ya?”
Adrian tidak menjawab. Lampu hijau menyala, ia kembali menekan gas. Tapi telinga Alira tidak salah menangkap rona tipis kemerahan di sisi wajah Adrian. Itu membuatnya makin bersemangat.
Sesampainya di rumah, Alira langsung melepaskan high heels-nya sambil meringis. “Astaga, rasanya kakiku mau putus. Mas, kenapa sih cewek harus pakai sepatu kayak gini kalau ke pesta?”
Adrian yang sedang melepas jas hanya melirik sekilas. “Tidak ada yang menyuruhmu.”
“Ya jelas, Mas!” seru Alira sambil mengibas-ngibaskan kaki. “Kalau aku datang pakai sandal jepit, nanti Mas malu. Aku kan harus bikin Mas bangga punya istri cantik.”
Adrian berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Bangga tidak selalu diukur dari apa yang kau kenakan.”
Alira terdiam sepersekian detik, menatapnya dengan mata berbinar. Ia tidak menyangka Adrian bisa mengucapkan kalimat semacam itu. “Mas… barusan itu romantis banget, lho.”
“Itu fakta, bukan romantis,” potong Adrian cepat, seakan menyesal sudah bicara terlalu jauh.
Alira langsung cekikikan, menutupi wajahnya dengan bantal sofa. “Hahaha, Mas malu ya? suamiku ternyata bisa romantis juga!”
Adrian menatapnya lama, lalu duduk di sofa berseberangan. “Kau menyebalkan.”
“Ah, Mas dinginku, jangan gitu dong. Nanti aku beneran jatuh cinta.”
Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Alira, ringan dan bercanda. Tapi entah kenapa, suasana tiba-tiba berubah. Adrian menatapnya lebih lama dari biasanya, tatapan dalam yang membuat Alira tiba-tiba merasa salah tingkah.
### Sentuhan yang Membuat Salting
Alira bangkit dari sofa, berniat kabur ke kamar dengan alasan mengambil baju tidur. Tapi begitu ia berdiri, Adrian juga ikut berdiri, dan jarak mereka mendadak begitu dekat.
“Mas… kenapa ikut berdiri juga?” tanyanya gugup, senyum centilnya melemah.
Adrian menunduk sedikit, tatapannya menusuk. “Kau tadi bilang jatuh cinta.”
“Itu… itu cuma bercanda,” balas Alira cepat, wajahnya memanas.
Adrian tidak langsung menjawab. Tangannya terulur, sekilas menyentuh lengan Alira. Hanya sebentar, tapi cukup membuat tubuh gadis itu menegang. “Kau terlalu sering bercanda dengan kata-kata yang tidak kau pahami,” ucapnya rendah.
Jantung Alira berdetak liar. “M-mas…” suaranya bergetar.
Saat hendak mundur, Adrian justru bergeser lebih dekat, tangannya kini menyentuh pinggangnya. Alira menahan napas, wajahnya memerah sampai telinga.
“A-apa yang Mas lakukan?”
“Menegurmu,” jawab Adrian singkat. Tapi kemudian, jari-jarinya bergerak turun, tanpa sengaja menyentuh sisi pahanya.
Alira sontak gemetar, lututnya lemas. “Mas! J-jangan… aku” suaranya patah-patah, pipinya panas membara.
Adrian sempat menatapnya seakan menilai reaksi itu. Biasanya, Alira selalu berani dan bar-bar, tapi kali ini wajahnya begitu gugup, matanya menghindar, bibirnya bergetar.
Seketika, senyum tipis nyaris tak terlihat muncul di bibir Adrian. “Kau baru saja membuktikan sesuatu.”
“Apa?” bisik Alira, masih salah tingkah.
“Bahwa semua centilmu hanya di permukaan. Kau sebenarnya hanya gadis polos.”
Alira menggigit bibir, menutup wajah dengan tangan. “M-mas jangan bilang gitu… aku jadi malu.”
Adrian melepas sentuhannya perlahan, lalu melangkah mundur. “Bagus. Minimal kau tahu malu.”
Alira segera kabur ke kamar, wajahnya masih merah padam. Ia menutup pintu, lalu berguling di kasur sambil menjerit pelan ke bantal. “Astaga! Kenapa aku jadi kayak gini kalau Mas nyentuh? Kenapa jantungku kayak mau copot?!”
Sementara di ruang tamu, Adrian duduk kembali, menatap kosong ke arah pintu kamar. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya sesuatu yang ia coba sembunyikan di balik dinginnya ekspresi.
Di satu sisi, ia menikmati melihat Alira gugup. Di sisi lain, ia merasa aneh… ada rasa ingin melihat reaksi itu lagi, lagi, dan lagi.
Tapi sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak asing. Dari Mr. Seto.
“Besok saya ingin bertemu membicarakan proyek baru. Boleh saya sekaligus mengajak istrimu hadir? Saya rasa ide-idenya menarik.”*
Adrian memandang layar ponselnya lama, rahangnya mengeras.
Di dalam kamar, Alira masih menekan bantal ke wajahnya, pipinya tetap merah. “Suamiku… kenapa sih bikin aku deg-degan terus?” gumamnya pelan.
Ia tidak tahu, di luar sana, Adrian sedang menatap layar ponsel dengan ekspresi dingin bercampur amarah. Undangan Mr. Seto bukan sekadar bisnis, itu adalah bentuk tantangan.
Adrian mengepalkan tangan. “Kau berani, Seto.”
Lampu kamar mati, suasana rumah sunyi, tapi tensi di antara mereka baru saja memanas.
Dan besok, akan ada pertemuan baru—dengan taruhannya bukan hanya bisnis, tapi juga hati.