Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah tersembunyi
Kabut tipis pagi itu sudah terangkat, menyisakan embun yang menempel di kaca jendela kamar Duke Orion. Udara masih dingin, menusuk, meski cahaya matahari redup perlahan menembus celah tirai berat yang tergantung di sana.
Di meja besar dekat jendela, Orion duduk tegak, mantel hitam tipis terlipat rapi di sandaran kursinya. Jemarinya memegang lembaran majalah militer terbaru—halaman-halamannya penuh artikel tentang strategi pertempuran, ulasan senjata, dan kabar politik dari wilayah tetangga. Di sampingnya, sebuah cangkir porselen berisi teh hitam pekat mengeluarkan uap tipis. Rasa pahit yang sebenarnya ia sukai, tetapi dulu ia sengaja mengatakannya pada gadis di hadapannya, jika ia tidak bisa menikmatinya, hanya untuk menjaga jarak.
Rosella bergerak pelan, menaruh nampan sarapan—roti hitam, keju keras, dan buah beri kering di meja.
“Sepertinya teh itu selalu hadir di sisimu, Tuan Duke,” katanya, nada santai tapi tajam.
Orion menutup majalahnya dan menatap lurus. “Jangan terlalu banyak menafsir, Rosella. Kau tahu bedanya aku denganmu? Aku memilih apa yang kusentuh. Sementara kau? Keberadaanmu di sini bukan karena pilihanmu sendiri. Jadi jangan samakan dirimu denganku.”
Rosella menatap balik, tidak mundur. “Oh, jadi karena aku tidak punya pilihan, aku harus diam saja? Tuan Duke, bahkan tawanan pun bisa menilai situasi. Dan aku melihat … kau selalu menganggap semua orang di sekitarmu lemah. Termasuk aku?”
Orion menyipitkan mata, sedikit tersinggung tapi tak kehilangan kendali. “Kau terlalu percaya diri. Menilai bukan berarti benar. Setiap orang yang berada di dekatku hanya bertahan sejauh kemampuannya.”
“Dan kau selalu merasa lebih tinggi dari semua orang, ya?” balas Rosella, suara dingin, tajam. “Padahal sejujurnya, orang yang merasa selalu benar justru paling mudah tersinggung.”
Orion mencondongkan tubuh, menatap dalam-dalam. “Kuperingagkan kepadamu untuk berhati-hati dalam menggunakan akal untuk menyerang, sebab hal itu bisa berbalik menusukmu sendiri.”
“Kalau begitu, Tuan Duke,” sahut Rosella, menantang. “Aku akan pastikan seranganku tepat sasaran. Karena berbeda denganmu, aku tidak bermain-main dengan orang yang menilai tanpa dasar.”
Duke Orion menarik napas dalam, menyesap teh, kemudian meletakkan cangkirnya. Bibirnya melengkung tipis, dingin tapi ada percikan kekaguman samar di matanya.
Keheningan sesaat menyelimuti kamar, lalu pintu terbuka tanpa diketuk. Di ambang pintu berdiri Grand Duchess dan di sampingnya ada Lady Evelyn Marclair tersenyum cerah, langkah ringan dan percaya diri.
Grand Duchess melangkah masuk lebih dulu, tatapannya tajam menilai setiap sudut ruangan. Aura wibawanya jelas terasa, setiap gerakannya membawa kepastian dan kendali penuh. Evelyn, di sisi lain, bergerak dengan keanggunan alami, matanya berbinar ceria, senyumnya hangat dan menenangkan, tapi tetap ada ketegasan dalam cara dia membawa diri. Setiap langkahnya seolah mengatakan bahwa ia tahu persis tempatnya di hadapan Duke, dan seakan tidak ada yang perlu ditakutinya.
“Duke Orion,” sapa Evelyn, suaranya riang namun penuh percaya diri. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu lagi.”
Grand Duchess memperhatikan interaksi itu, alisnya sedikit terangkat. Ia menatap Evelyn, lalu menoleh ke arah Orion. “Kalian sudah saling mengenal?” tanyanya, nada suaranya dingin namun penuh selidik.
Orion menatap lurus ke Evelyn, satu kata keluar dengan tegas. “Tidak.”
Evelyn menahan senyum yang tadinya hampir lepas, menyesuaikan posturnya agar tetap anggun, namun masih ada kilatan rasa ingin tahu dan tantangan samar di matanya. Grand Duchess terus mengamati, menilai ekspresi keduanya, sikap tubuh, dan aura yang terpancar, seakan mencari celah di antara mereka.
Rosella berdiri tegap, menarik napas dalam, dan menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. Ia menatap Orion sekilas sebelum berbalik perlahan, melangkah ke pintu. Setiap gerakannya terkontrol, penuh kesadaran akan posisi dan batasannya, kemudian ia meninggalkan kamar dengan langkah pasti, menutup pintu di belakangnya, meninggalkan ruangan itu kepada Duke, Grand Duchess, dan Evelyn, yang kini tetap saling menilai satu sama lain dalam keheningan yang sarat arti.
Grand Duchess mengarahkan Evelyn dengan gerakan tangan lembut namun tegas. “Duduklah, Evelyn,” katanya sambil menunjuk sofa yang posisinya menghadap langsung ke meja kerja Orion. Evelyn melangkah ringan, langkahnya mantap, dan duduk dengan sikap anggun, senyum di wajahnya tetap terjaga, seolah ia sudah terbiasa menghadapi situasi formal seperti ini.
“Orion.” Suara Grand Duchess kembali terdengar, lebih resmi sekarang, namun tetap membawa nada lembut pengawas. “Perkenalkan, ini Lady Evelyn Marclair, putri dari keluarga Marclair—yang sempat kukatakan padamu, salah satu keluarga bangsawan yang telah lama menjaga pengaruhnya di wilayah barat kerajaan. Keluarganya memiliki tanah luas, hubungan diplomatik yang kuat, dan sejarah panjang yang menjadikan Evelyn calon pasangan yang cocok bagi seorang Duke sepertimu.”
Orion tetap duduk tegak, menatap Evelyn sekejap, lalu mengalihkan pandangan ke Grand Duchess. Wajahnya tetap dingin, tidak menunjukkan reaksi khusus, hanya sorot matanya yang tajam menandai bahwa ia sedang mendengarkan, namun tetap menjaga jarak.
Grand Duchess mulai menjelaskan lebih rinci. “Keluarga Marclair dikenal karena kemampuan mereka dalam strategi ekonomi dan militer. Evelyn sendiri telah dididik sejak kecil untuk menguasai etiket kerajaan, diplomasi, dan seni bernegosiasi. Ia mahir menulis surat-surat diplomatik, memahami seni perang dan tata kelola wilayah. Sangat sedikit bangsawan muda yang seimbang antara kecerdasan, ketangkasan, dan penampilan. Keberadaannya di sini bukan hanya sebagai calon pendamping, tapi juga sebagai wakil keluarga yang akan menjaga hubungan strategis kerajaan dengan wilayah barat.”
Evelyn menunduk sedikit hormat, menyesuaikan postur tubuhnya agar tetap terlihat sopan namun tidak kehilangan aura percaya diri. Tatapannya lurus ke Orion sesaat, seperti menunggu respons, namun tetap tenang.
Orion mengangkat alis tipis, suara datarnya memotong pembicaraan Grand Duchess. “Sudah selesai penjelasannya?”
Grand Duchess menoleh padanya, sedikit tersentak, namun tetap menahan ekspresi wajahnya. “Kurasa, itu sudah cukup,” jawabnya, nada sedikit menahan kesal tapi tetap sopan.
Orion menundukkan kepala sejenak, menyesap teh hitamnya, lalu menaruh cangkir dengan rapi. “Kalau begitu … keluarlah dari kamarku,” ucapnya singkat, suaranya tetap tenang tapi keras, memberi tekanan bahwa perintah itu bukan bisa ditawar.
Grand Duchess menatapnya sejenak, alisnya terangkat. Ada sedikit kerutan di wajahnya, tapi ekspresinya berubah menjadi sedikit lucu, hampir terselip senyum tipis yang tidak ia sadari sendiri. “Benarkah, Orion? Hanya begitu saja? Tidak ada sedikit pun pertimbangan untuk … menuntun Evelyn melihat taman atau berkeliling sebentar?”
Orion tetap diam, tatapannya tidak bergeser.
Grand Duchess melangkah mendekat, menuntut dengan nada yang mengandung ketegasan namun masih lembut. “Aku menuntutmu dan kau tidak bisa menolak. Kau harus mengajak Evelyn berjalan-jalan di taman. setidaknya sebentar, agar ia bisa mengenal suasana kediaman kita dan melihat bagian dari kehidupanmu di sini.”
Orion menahan napas sejenak, menahan sedikit ironi yang ingin ia ucapkan, lalu akhirnya hanya menghela napas perlahan, menundukkan kepala tanpa sepatah kata pun, sebagai tanda ia tidak akan menuruti permintaan itu, namun juga tidak ingin menciptakan konflik lebih jauh.
Grand Duchess mengangguk, seperti puas meski ia tahu Orion akan tetap kaku. “Baiklah,” katanya akhirnya, “cukup untuk hari ini.” Ia berbalik, langkahnya mantap menuju pintu. “Ingatkan Evelyn, pengalaman awal itu penting, tapi aturan di kamar Duke harus dijaga. Jangan salah tingkah.”
Dengan gerakan halus, ia menutup pintu, menyisakan Orion dan Evelyn di dalam satu ruang. Udara terasa berbeda—tenang, tapi sarat ketegangan dan pengukuran posisi masing-masing. Evelyn tetap duduk tegap di sofa, tangan diletakkan rapi di pangkuan, wajahnya menunjukkan ketenangan dan kewaspadaan. Orion kembali menyesap teh hitamnya, menatap uap tipis yang naik dari cangkir, seolah ia sedang mempertimbangkan setiap gerakan dan kata-kata yang mungkin akan keluar berikutnya.
Keduanya diam beberapa saat, saling mengamati, bukan dengan cemburu atau rasa sakit hati, tetapi lebih pada saling menilai—seorang Duke yang menilai calon bangsawan yang akan ditempatkan di sisi politik dan seorang bangsawan muda yang menilai kekuatan dan ketegasan Duke. Ruangan itu seolah menjadi medan pertarungan tanpa suara, di mana setiap gerak tubuh, setiap tatapan, dan setiap detik diam penuh arti.
~oo0oo~
Cahaya matahari menyinari taman bunga mawar di kediaman Dreadholt, menerangi tanah dan batang-batang yang mengilap oleh cahaya-cahaya kecil yang masuk melalui rongga-rongga. Orion berjalan di samping Evelyn, sesekali membungkuk untuk menunjukkan kelopak bunga yang mekar sempurna. Udara sedikit dingin menyentuh kulit, meskipun ada cahaya yang mulai menembus kelembaban. Evelyn menatap sekeliling dengan senyum lembut, tangannya sesekali menyentuh bunga yang menawan hati.
Beberapa pelayan yang sedang merapikan taman berhenti sebentar, menyelinap di balik pot bunga untuk memandang keduanya. Mata mereka membesar, berbisik-bisik satu sama lain.
“Lady Evelyn… sungguh anggun hari ini,” bisik seorang pelayan, hampir tak percaya.
“Siapa sangka tuan Duke membawa seorang wanita berjalan-jalan di taman bunga…?” timbal yang lain, suaranya penuh kekaguman dan sedikit heran.
Mereka tidak bisa menahan rasa penasaran, menatap pasangan itu dari kejauhan sambil menekan senyum malu-malu.
Di balik semak mawar, Feya menahan tawa, menepuk lengan Lyrra.
“Kau lihat itu, Lyrra? Lihat daun-daun yang bergoyang itu. Aku yakin mereka ikut menonton kencan ini.”
“Menurutmu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?” lanjut Feya.
Lyrra mengangkat bahu, tetap tenang.
“Kalau aku menebak … mungkin hanya berjalan seperti biasa, menikmati taman.”
Feya terkekeh, menutup mulutnya dengan tangan.
“Aku rasa mereka akan saling memadu kasih … seperti pasangan bangsawan yang lainnya! Bayangkan kalau Duke tiba-tiba menawarkan bunga kepada Lady Evelyn sambil menunduk dramatis—aku yakin kupu-kupu di sekeliling akan ikut penasaran, bahkan lebahpun mungkin berhenti terbang sebentar hanya untuk menonton pertunjukan ini!”
Lyrra mencondongkan kepala sedikit, tetap datar.
“Benarkah?”
Feya menepuk lengan Lyrra sekali lagi, sambil terkekeh.
“Benar! Dan kalau mereka mulai berbisik manja, aku yakin bunga-bunga di sekitar akan ikut bergoyang, seperti mereka ikut bertepuk tangan diam-diam! Itu akan menjadi tontonan paling lucu, aku tidak sabar melihatnya.”
Lyrra mengangkat alis tipis, nada suaranya tetap dingin tapi lembut.
“Kalau tidak begitu?”
Feya tergelak pelan, menepuk bahu Rosella, yang berdiri di samping mereka dengan ekspresi datar.
“Kalau tidak begitu ... mungkin saja Duke tiba-tiba menghitung kelopak bunga dan Evelyn ikut menghitung juga, bisa-bisa kita semua ikut menghitung diam-diam! Aku penasaran apa mereka akan saling menoleh saat jumlahnya tidak sama.”
Rosella menatap mereka sebentar, tetap diam, hanya mengalihkan pandangannya ke Orion dan Evelyn. Matanya tenang tapi waspada, seolah menilai setiap gerak-gerik pasangan bangsawan itu. Feya dan Lyrra hanya bisa menahan tawa, tapi matanya terus mengikuti langkah-langkah Duke dan Evelyn di antara kelopak bunga mawar yang basah oleh embun.
Rosella bergumam pelan dalam hati.
‘Sepertinya aku bisa memanfaatkan situasi ini untuk menyusun rencanaku yang sempat tertunda.’
.
.
.
Bersambung ....