NovelToon NovelToon
“Suara Hatiku Jadi Takdir Istana”

“Suara Hatiku Jadi Takdir Istana”

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Bullying dan Balas Dendam / Pembaca Pikiran
Popularitas:18.3k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.

ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Angin pagi berembus lembut di halaman keluarga An. Embun masih menggantung di dedaunan, dan burung-burung liar baru saja bangun dari sarangnya. Namun suasana rumah itu tak lagi sama. Malam tadi, api sumpah telah menyatukan mereka semua. Kini, fajar baru menjadi tanda dimulainya perjalanan besar.

An Zheng berdiri di serambi, memandangi matahari terbit. Sorot matanya tajam, seolah ingin menembus cakrawala. Ia tahu, sejak malam itu, keluarga An bukan lagi rumah biasa ini adalah pusat pergerakan, tempat di mana roda takdir akan mulai berputar.

“Lian,” panggilnya pelan.

Putrinya muncul dari ruang belakang dengan membawa tas kecil berisi gulungan catatan dan botol ramuan. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya tampak bersemangat meski ada lelah yang disembunyikan.

“Ayah,” jawab Lian sambil mendekat.

An Zheng menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kau sudah siap?”

Lian menarik napas dalam-dalam. “Sudah. Tapi… perjalanan ini bukan untukku saja. Aku tahu, setelah kita melangkah, tidak akan ada jalan kembali.”

“Tepat.” An Zheng menepuk pundaknya. “Karena itu, gunakan kepalamu, bukan hanya hatimu. Jangan biarkan rasa marah membutakan. Ingat sumpahmu.”

Lian menunduk, matanya berkilat. “Aku tidak akan lupa, Ayah.”

 

Di ruang utama, Liu Ning, Chen Yun, Yuyan, dan Jenderal Chen sudah menunggu. Peta besar terbentang di atas meja kayu. Di atasnya, tanda-tanda merah kecil menunjukkan wilayah yang dikuasai faksi pengkhianat, sementara titik-titik hitam menunjukkan tempat-tempat rahasia pasukan bayangan Jenderal Chen yang masih setia.

“Kita tidak bisa langsung menuju ibu kota,” suara Jenderal Chen berat dan tegas. “Itu sama saja bunuh diri. Musuh terlalu kuat. Kita harus mengumpulkan dukungan, sedikit demi sedikit.”

Liu Ning mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita juga tidak bisa terlalu lama bersembunyi. Pengkhianat itu akan mencari dan memburu kita.”

Chen Yun menunjuk sebuah titik di peta. “Ini, wilayah Gunung Qifeng. Dulu, pasukan bayangan ayah banyak yang ditempatkan di sekitar sana. Mereka menyamar sebagai petani, pedagang, bahkan pengrajin. Kalau kita bisa menemui mereka, setidaknya kita punya kekuatan untuk memulai.”

“Gunung Qifeng…” Yuyan menggumam. “Itu perjalanan dua minggu dari sini, bukan?”

“Ya.” Chen Yun menatapnya serius. “Tapi dengan jalur hutan, kita bisa sampai lebih cepat, walau penuh bahaya.”

Liu Ning menoleh ke An Zheng. “Apakah kau setuju, Tuan An?”

An Zheng mengangguk perlahan. “Itu langkah yang tepat. Gunung Qifeng adalah tempat yang strategis. Dari sana, kalian bisa memperluas pengaruh tanpa menarik perhatian. Aku sudah terlalu tua untuk ikut bertempur. Tapi aku akan mengirim beberapa orang kepercayaan untuk mengawasi kota dan memberimu kabar.”

“Terima kasih, Ayah,” Lian menunduk hormat.

An Zheng tersenyum tipis. “Pergilah. Jangan menoleh ke belakang. Dan ingat, keadilan tidak pernah datang dari langit kau yang harus menariknya turun dengan tanganmu.”

 

Hari itu juga, mereka berangkat. Lima orang menunggang kuda, Liu Ning di depan, Chen Yun di sampingnya, lalu Lian, Yuyan. Jalan tanah berdebu, namun hati mereka dipenuhi semangat.

Yuyan, yang belum terbiasa menunggang kuda, terus meringis sambil berpegangan erat pada pelana. “Astaga… rasanya pinggangku patah. Bagaimana bisa orang-orang melakukan ini setiap hari?”

Chen Yun tertawa kecil. “Ini baru awal. Kalau kau tidak tahan, bagaimana nanti saat kita harus naik turun gunung?”

“Siapa bilang aku tidak tahan!” Yuyan bersungut-sungut. “Aku hanya… butuh waktu. Lagipula, aku punya peran penting. Tanpa aku, siapa yang akan mencari kabar dan menyusup?”

Lian tersenyum. “Benar juga. Jadi jangan mengeluh terlalu banyak, Yuyan.”

“Baik, Nona Lian…” Yuyan cemberut, tapi ia tidak bisa menahan tawanya sendiri.

Liu Ning yang berada di depan hanya mendengarkan. Sorot matanya tetap awas, memperhatikan jalan setapak di antara pepohonan. Meski suasana tampak ringan, ia tahu bahaya bisa datang kapan saja.

 

Malam pertama mereka bermalam di hutan pinus. Api unggun kecil menyala, dan bau daging kering panggang mengisi udara. Yuyan sudah terlelap lebih dulu, kelelahan setelah seharian di atas kuda. Chen Yun, berjaga dengan pedang di pangkuannya, matanya tetap tajam meski tubuhnya renta.

Lian duduk di samping api, menggiling beberapa akar dan daun menjadi ramuan. Chen Yun menghampiri, duduk di seberangnya.

“Aku masih tidak percaya…” Chen Yun membuka percakapan. “Bahwa kita benar-benar melakukan ini. Dulu aku hanya bercanda ingin menjatuhkan pengkhianat itu. Sekarang aku malah jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.”

Lian menoleh, menatapnya serius. “Kau menyesal?”

Chen Yun menggeleng cepat. “Tidak. Justru aku merasa… ini benar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Lian tersenyum kecil. “Kalau begitu, jangan goyah.”

Mata mereka bertemu beberapa saat, hingga Liu Ning tiba-tiba muncul dari balik bayangan, membawa seikat kayu bakar. Suasana jadi canggung. Chen Yun buru-buru berpaling, sementara Lian pura-pura sibuk dengan ramuannya.

Liu Ning hanya meletakkan kayu itu ke api, lalu duduk di samping Lian. “Apa yang kau buat?”

“Obat penambah tenaga,” jawab Lian tanpa menatapnya. “Perjalanan panjang butuh tubuh kuat. Aku tidak ingin ada yang tumbang di tengah jalan.”

“Bagus.” Liu Ning mengangguk. Ia menatap api dengan wajah serius. “Aku berhutang pada kalian semua. Suatu hari nanti, aku akan membalas dengan kerajaan yang adil.”

Lian menoleh sekilas. “Jangan bicara seperti itu. Aku tidak ingin kerajaan. Aku hanya ingin kebenaran.”

Liu Ning tersenyum samar. “Dan itulah alasan aku percaya padamu.”

Lian tercekat, tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hatinya, perasaan campur aduk mulai muncul, tapi ia segera menekannya. Ini bukan saatnya memikirkan hal-hal seperti itu.

 

Tiga hari perjalanan berlangsung relatif tenang. Namun pada hari keempat, saat mereka melewati hutan bambu yang lebat, suara-suara aneh terdengar. Burung-burung berhenti berkicau, angin membawa bisikan yang membuat bulu kuduk berdiri.

Chen Yun segera mengangkat tangannya. “Berhenti.”

Mereka semua menahan kuda. Lian merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Liu Ning menghunus pedangnya, berdiri tegak di tengah jalan setapak.

“Siapa pun kau,” suaranya bergema, “keluarlah!”

Beberapa detik hening, lalu dari balik rumpun bambu, muncul belasan pria berpakaian hitam, wajah mereka tertutup kain. Mereka membawa pedang dan tombak, mengepung dari segala arah.

“Pemburu bayaran,” gumam Chen Yun dengan wajah dingin. “Seseorang sudah mengetahui pergerakan kita.”

Pemimpin para pria itu maju selangkah. Suaranya serak. “Serahkan Liu Ning. Maka kami akan membiarkan kalian hidup.”

Liu Ning menatapnya tajam. “Jika ingin nyawaku, ambillah sendiri.”

Seketika, pertarungan pecah.

Chen Yun melompat turun dari kudanya, pedang terhunus, menangkis serangan tombak pertama. Lian berlari ke samping, menarik Yuyan yang panik ke tempat aman di balik pohon.

Liu Ning bertarung di tengah, gerakannya cepat dan terlatih. Pedangnya berkilat, setiap serangan penuh kekuatan, setiap langkah penuh ketegasan. Tapi jumlah musuh terlalu banyak.

Lian meraih botol ramuan dari tasnya, memecahkannya di tanah hingga asap pekat menyebar. Para pembunuh batuk dan kehilangan keseimbangan, memberi celah bagi Liu Ning dan Chen Yun untuk menyerang balik.

“Ayo kabur!” teriak Lian.

Mereka melompat ke atas kuda lagi, lalu berlari menembus hutan, meninggalkan para penyerang yang masih terbatuk-batuk.

Setelah cukup jauh, mereka berhenti di tepi sungai kecil. Nafas mereka terengah-engah, kuda-kuda nyaris kelelahan.

“Ini… baru permulaan,” ujar Chen Yun berat. “Musuh sudah tahu kau masih hidup, Liu Ning. Mereka tidak akan berhenti.”

Liu Ning mengepalkan tinjunya. “Kalau begitu, kita harus lebih cepat. Kita harus sampai ke Gunung Qifeng sebelum mereka menutup semua jalan.”

Lian menatapnya, wajahnya pucat namun penuh tekad. “Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh berhenti.”

 

Malam itu, mereka bermalam di tepi sungai. Suasana lebih tegang daripada sebelumnya. Semua berjaga bergantian, tak seorang pun benar-benar tidur.

Yuyan duduk di samping Lian, memeluk lututnya. “Aku takut, Nona Lian…”

Lian menepuk tangannya lembut. “Aku juga. Tapi kita tidak boleh mundur. Kau ingat sumpahmu, kan?”

Yuyan mengangguk pelan. “Iya…”

Chen Yun yang sedang berjaga menoleh, mendengar percakapan mereka. Ia mendekat, lalu berkata dengan nada mantap, “Jangan takut. Selama aku ada, tidak akan ada yang bisa menyentuh kalian.”

Lian menatapnya, lalu tersenyum samar. “terima kasih gege.”

Chen Yun terdiam sebentar, lalu ikut tersenyum. “Mungkin karena aku akhirnya punya tujuan.”

Liu Ning yang duduk tak jauh dari sana hanya menatap mereka tanpa berkata apa-apa. Namun dalam hatinya, ada bara yang semakin membara. Ia tahu, perjalanan ini tidak hanya soal merebut takhta, tapi juga soal siapa yang benar-benar akan bertahan di sisinya hingga akhir.

 

Fajar kembali menyingsing. Mereka bersiap melanjutkan perjalanan. Kabut tipis menutupi sungai, dan udara dingin menusuk tulang. Tapi semangat mereka tidak padam.

Gunung Qifeng masih jauh, namun setiap langkah kuda membawa mereka semakin dekat pada takdir.

Dan di kejauhan, di balik kabut, mata-mata musuh sudah menunggu, mengamati setiap gerakan mereka.

Bersambung

1
Cindy
lanjut kak
Srimulyani
wah cinta segiempat Cen Yun banyak saingan
hani chaq
orang licik ga akan bertahan lama karna bakal termakan balik dengan kelicikannya
hani chaq
jodohnya kian dekat.....ayo semangat berjuang setiap keburukan pastilah akan kalah
hani chaq
emang seorang yg kuat harus berjodoh ma yg lebih hebat
hani chaq
masih menjadi teka teki siapa jodoh pedang langit
hani chaq
ini baru tambah asik.mantap polllll..... pokoknya
hani chaq
jgn biarkan ke4 org itu ada yg hilang.ayo.....kalian bisa
hani chaq
ayolah chen....ajari lian bela diri.seenggaknya bisa buat lebih bermanfaat
nara 🇮🇩 🇹🇼
bearti lian tak berjodoh denga kaisar liu ning,,kalau lian ketemu dengan pemilik pedang langit feng xuan,,
hani chaq
sayang sekali yg cewek2 pd ga bisa bertarung
hani chaq
benar2 jodohnya lian
kaylla salsabella
wah kasihan nanti Liu ning klu kian nikah sma pewaris satu nya
Tiara Bella
makasih Thor up nya....sangat menghibur berasa nnton dracin.... semangat ya
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
berada selalu disisi nya untuk menuju kebahagiaan
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
wahhh, seperti harapan ku dong /Applaud/
seorang kaisar yang sangat berwibawa yang akan menjadi jodoh nya Lian
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
Lian bobo' cantik, sementara keluarga nya kelimpungan nyariin /Facepalm/
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
penyesalan mu telat raja, Lian udah menutup hati nya untuk istana xu
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
kabulin dong yang mulai, biar Lian bisa buat gebrakan baru
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
pintar, Lian sang jenius baru muncul 🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!