Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Emosi Yang Kuat, Dibalik Dinginnya Hujan
Di jalanan Tokyo yang basah, mobil Fonix melaju dengan hati-hati. Hujan turun dengan derasnya ketika Fonix keluar dari perusahaan Veranda, membasahi setiap sudut kota. Suara guntur bergema, membelah langit hitam tebal. Air mata langit mengalir deras, membawa serta suasana sendu yang mendalam. Tetesan hujan menghantam kaca mobil, membentuk irama yang monoton. Fonix membiarkan dirinya terhanyut dalam melodi hujan. Pikiran-pikirannya melayang, membawanya jauh dari hiruk pikuk kota.
Di tengah hujan yang semakin deras, Fonix teringat akan Freya. Ciuman pertamanya yang terjadi di dalam kelas, saat hujan. Kenangan manis itu muncul kembali dalam benak Fonix, membawa senyum lembut di wajahnya. Ciuman pertama yang tak terlupakan, di tengah kelas yang sunyi, saat hujan membasahi jendela. Freya, dengan mata indah dan senyum manis, menjadi pusat pikirannya. Tetesan hujan di kaca mobil seakan membentuk gambar Freya, membangkitkan kerinduan di hati Fonix. Dia membayangkan senyum Freya, mata yang berkilau, dan rambut yang tergerai indah. Kenangan itu begitu hidup, seakan baru terjadi kemarin. Fonix membiarkan dirinya terhanyut dalam kenangan itu, menikmati rasa nostalgia yang menyelimuti hatinya. Hujan di luar seakan menjadi bagian dari kenangan itu, membangkitkan emosi yang dalam. Dalam keheningan mobil, Fonix merasakan kehadiran Freya, seakan dia ada di sampingnya.
Karena pikirannya terlalu larut dalam membayangkan Freya, Fonix tidak menyadari bahwa mobilnya sudah sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah megah dengan dekorasi tradisional jepang. Tampak sangat indah dan sarat akan makna. Fonix memarkirkan mobilnya tidak terlalu jauh dari gerbang rumah yang besar itu. Dari sana, dia bisa melihat dengan jelas, banyak penjaga berbadan kekar, yang hilir mudik di sekitar rumah tersebut.
"Jadi ini, rumah ibu dulu?" Terka Fonix.
Fonix mengambil payung hitam yang ada di mobilnya, keluar dari mobil, kemudian berjalan dengan santai menuju rumah tersebut. Fonix melangkah dengan santai, payung hitam di tangannya melindungi dirinya dari hujan yang masih turun dengan derasnya. Dia mengamati rumah megah itu dengan seksama, merasakan aura tradisional Jepang yang kuat. Penjaga berbadan kekar yang hilir mudik di sekitar rumah tidak mengganggunya.
Saat Fonix mendekati gerbang, penjaga segera menghampirinya. "Anda siapa?" tanya salah satu penjaga dengan nada yang tegas. Fonix tersenyum miring, menunjukkan kepercayaan dirinya. "Saya putra tunggal pewaris Fenidelity Group," jawabnya dengan nada yang santai.
...***...
Kedua orang tua Shani yang tengah bersantai di dalam rumah, seketika di kejutkan, ketika salah seorang bawahan, melaporkan hal yang tidak terduga.
"Bos, di depan ada seorang pemuda yang mengaku sebagai pewaris dari Fenidelity Group.."
Ayah Shani nampak terkejut. Dia sudah mengincar perusahan Fenidelity Group sejak lama. Perusahaan itu di bangun oleh Feni secara diam-diam.
Ayah Shani langsung berdiri dari tempat duduknya, wajahnya menunjukkan kekagetan dan rasa penasaran yang besar. "Pewaris Fenidelity Group?" ulang dia, seakan tidak percaya.
Ibu Shani juga terlihat terkejut, tapi dia lebih tenang daripada suaminya. "Bagaimana mungkin?" tanya dia, mencoba memahami situasi. "Feni tidak pernah menyebutkan tentang anaknya."
Ayah Shani tidak peduli dengan pertanyaan istrinya, dia langsung memerintahkan bawahannya untuk memanggil pemuda itu ke dalam. "Panggil dia ke dalam, aku ingin tahu siapa pemuda ini dan apa yang dia inginkan," perintahnya dengan nada yang tegas.
"Tidak perlu.." Semua orang menoleh pada suara yang tiba-tiba saja terdengar dari luar, bersamaan dengan beberapa pria berbadan kekar yang terbanting ke hadapan ayah Shani.
"Ini pertama kalinya kita bertemu, Kakek." Ucap Fonix tersenyum miring. Matanya menatap tajam pada orang-orang yang ada di hadapannya.
Fonix melangkah masuk ke dalam rumah. Aura kepercayaan diri terpancar dari setiap langkahnya, sementara hujan di luar seakan menjadi latar belakang yang dramatis. Penjaga yang terbanting di lantai, masih berusaha untuk berdiri, tapi Fonix tidak peduli. Ayah Shani terkejut, dia tidak menyangka bahwa pemuda itu bisa mengalahkan beberapa penjaga yang dia latih sendiri. "Siapa kau?" tanya dia, mencoba untuk menutupi kekagetannya.
Fonix tersenyum, matanya masih menatap tajam pada ayah Shani. "Namaku Fonix Alvero Tantra, putra tunggal pewaris Fenidelity Group," jawabnya dengan nada yang santai.
Ibu Shani terlihat takut, dia mundur beberapa langkah ke belakang, seakan ingin menjauhkan diri dari Fonix. Ayah Shani, sebaliknya, terlihat semakin penasaran. "Kau anak dari Feni?" tanya dia.
Fonix melangkah lebih dekat, payung hitam masih tergenggam di tangannya. "Berani sekali mulut kotormu itu, mengucapkan nama ibuku, setelah kalian mengusirnya dari sini," jawabnya dengan nada yang dingin. "Keluarga yang telah menghancurkan hidup ibuku, tidak pantas untuk menyebut namanya."
Ayah Shani terkejut, dia tidak menyangka bahwa Fonix memiliki dendam yang begitu besar terhadap keluarganya. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan?" kata dia, mencoba untuk mengancam Fonix.
Fonix tersenyum, matanya masih menatap tajam pada ayah Shani. "Aku tahu persis apa yang kulakukan," jawabnya dengan nada yang yakin. "Dan aku akan melakukannya, tidak peduli apa yang terjadi."
Ayah Shani mendengus, beberapa penjaga berbadan kekar, sudah siap untuk mengajar Fonix. Mereka menunggu aba-aba dari bos mereka.
"Apa tujuanmu kesini?"
"Aku hanya ingin menjemput bibiku.." Ucap Fonix santai.
...***...
Shani yang baru saja selesai mandi di kamarnya, samar-samar mendengar keributan di lantai bawah. Dia segera berganti baju, lalu keluar kamar menuju lantai bawah. Shani melangkah keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah setelah mandi. Dia berjalan menuju lantai bawah, penasaran tentang keributan yang terjadi. Saat dia tiba di lantai bawah, dia melihat beberapa penjaga berbadan kekar yang berdiri di sekitar ruang tamu. Ayah Shani berdiri di tengah-tengah ruang tamu, dengan wajah yang terlihat marah. Dan di hadapannya, berdiri seorang pemuda yang tidak asing baginya.
"Fonix.." ucap Shani.
Semua orang menoleh ke arah Shani, yang baru saja muncul. "Aku datang menjemputmu, Bibi. Aku tidak bisa membiarkan adik kesayangan ibuku, hidup di rumah menyebalkan ini." Ucap Fonix.
"Jaga ucapanmu, anak muda! Kau tidak tau sedang berada di mana." Ucap ayah Shani geram.
Fonix mendengus sembari tersenyum miring. "Dan, aku tidak perduli aku ada di mana sekarang. Cepat atau lambat, Kalian akan ku hancurkan. Agar mendiang ibuku bisa tenang di atas sana."
Semua orang nampak terkejut. Nafas mereka tertahan barang sejenak. Semua orang di ruang tamu terkejut dengan pernyataan Fonix. Kedua orang tua Shani nampak terkejut. Begitu juga Shani yang tidak kalah terkejut.
"Mendiang ibumu? Jadi Kak Feni sudah.." air mata Shani tiba-tiba saja keluar dari kelopak matanya. Gadis itu menutup mulutnya, tidak bisa menahan tangis.
Fonix menatap tajam kedua orang tua Shani. Aura dinginnya membuat bulu kuduk siapapun berdiri. "Ya, ibuku meninggal ketika aku berumur satu tahun. Dia mempertaruhkan hidupnya untuk keluarga kecil yang dia cintai. Tapi kalian para bajingan, malah sibuk mencari celah untuk mendapatkan perusahaan yang sudah ibuku bangun dengan susah payah." Tangan Fonix terkepal erat. Dia sudah siap melepaskan emosinya.