Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Giliran Tasya
Sampai di rumah sakit Bandar, bahkan Rena tidak bisa langsung masuk ke unit gawat darurat.
"Kalian ini bagaimana? anakku yang datang lebih dulu! dia seharusnya ditangani lebih dulu!" kata Berta yang merasa kembali dibuat kesal.
Bagaimana tidak, mereka sudah sampai terlebih dahulu. Mark minta ibunya dan Anggun mengawasi Rena, dia akan mengutus administrasi untuk Rena supaya lebih cepat.
Ternyata saat dia kembali, malah sudah ada pasien lain di unit gawat darurat.
"Maaf nyonya tapi pasien di dalam itu akan melahirkan...."
"Kenapa dia pergi ke unit gawat darurat, bukan ke rumah sakit bersalin?" sela Berta.
Itu masuk akal sebenarnya, bahkan sangat masuk akal. Rumah sakit bersalin juga ada beberapa di kota B ini. Kenapa dia pergi ke rumah sakit umum seperti ini.
Tapi, apalagi alasannya. Kalau bukan karena memang itu semua ulah Joyce. Dia sengaja mencari orang yang sedang hamil dan akan melahirkan. Dia akan menanggung semua biaya dan membayar sejumlah uang yang sangat besar. Bagaimana tidak bisa ada dua wanita hamil yang akan melahirkan di tempat itu.
Mark mengusap keningnya. Kepalanya mulai terasa pusing. Seharusnya dia mendengar usulan Anggun, untuk investasi di bidang kesehatan juga, bukan hanya bidang pendidikan dan beberapa tambang dan pasar saham.
"Lalu? kapan adikku akan ditangani?" tanya Mark pada perawat itu.
"Sebentar lagi tuan, dokter khusus kulit akan datang. Dan dia membawa beberapa perawat pribadi. Jadi, tidak perlu menunggu perawat yang bertugas di dalam selesai" jelas perawat itu.
Mark menghela nafas panjang.
"Berapa lama lagi?" tanya Mark memastikan.
"Sudah ada di parkiran, sebentar lagi kami akan bawa pasien ke ruang penanganan!"
Dan begitu dokter dan perawat itu datang. Rena segera di bawa ke ruang penanganan. Dan disana, Rena terus berteriak kesakitan.
Di luar ruangan itu, Berta tampak sangat khawatir.
"Kenapa, kenapa adikmu terus berteriak. Mereka sedang mengobati atau menambah luka Rena?" tanya Berta.
Mark juga khawatir, masalah teriakan itu terus dah terus saja terdengar. Mark pun segera mengetuk pintu ruangan itu. Seorang perawat keluar dari sana.
"Tolong jangan mengganggu proses penanganan pasien, tuan!" katanya menegur Mark.
"Adikku terus berteriak. Memangnya apa yang kalian lakukan?" tanya Mark. Wajah pria itu benar-benar masam.
"Kami sedang menangani pasien. Ada 32 luka sabetan di tubuhnya. Beberapa sudah meradang, dan daya pasien menahan rasa sakit sangat rendah. Makanya dia berteriak seperti itu!" jelas perawat itu.
"Tapi dia terus berteriak, bisakah kalian mengobatinya dengan cara ya lebih baik?" tanya Mark lagi.
"Tentu saja tuan, kami bahkan menggunakan salep terbaik. Strip luka terbaik. Dalam tiga hari, luka itu tidak akan perih lagi. Tapi, memang daya tahan tubuh pasien terhadap luka sangat rendah!" kata perawat itu lagi, "kami berjanji, akan memastikan yang terbaik untuk pasien. Tolong jangan mengganggu proses penanganan lagi!" kata perawat itu yang langsung menutup pintu.
Sebenarnya, ada proses yang akan lebih baik dan tidak menyakitkan untuk Rena. Tentu saja dengan memberikannya obat bius. Tapi, Joyce berpesan pada semua perawat yang merupakan orang-orangnya itu, agar jangan menggunakan obat bius. Semakin Rena kesakitan, semakin bayaran mereka besar nantinya.
Dalam hal membalas perbuatan seseorang. Memang tidak ada yang lebih kejam dari Paula dan Joyce.
Lalu di kediaman Austin. Tasya yang sudah naik pitam. Menggedor pintu kamar Paula dengan sangat kencang berkali-kali.
Dugh Dugh Dugh
Paula menghubungi Riko dan bertanya, siapa lagi yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.
[Itu nona Tasya. Nona muda, aku akan pukul dia sampai pingsan...]
"Tidak Riko, aku punya cara sendiri! tapi tetap awasi penjaga yang lain. Jangan biarkan mereka membantu Tasya dengan cepat, saat penjahat kecil itu berteriak minta tolong!''
[Baik, nona muda]
Paula mengusap, dia sebenarnya sudah mengantuk. Tapi, sepertinya dia memang belum bisa tidur nyenyak kalau belum menyingkirkan semua orang sok kuasa di kediaman Austin ini.
Paula turun dari tempat tidurnya, dan meraih setrika yang ada di laci. Paula memanaskan setrika itu dengan level yang cukup tinggi.
Setelah cukup panas, Paula meletakkan satu buah kaos dia atas tempat tidur. Dia berpura-pura sedang menyetrika pakaian.
Dugh Dugh Dugh
Setelah semua dirasa cukup, Paula mendekati pintu dan membukanya.
"Dasar gembell! apa yang kamu lakukan pada Rena?" tanya Tasya dengan wajah yang begitu merah padam.
Paula dengan santai berjalan ke arah tempat tidurnya.
Karena marah, Tasya bahkan tidak menyadari apa saja yang ada di kamar Paula ini.
"Aku tidak memulainya. Rena yang datang dengan marah dan membawa cambukk..."
Tasya emosi, dia mengangkat tangannya dan ingin memukul Paula dengan begitu keras.
Tapi Paula langsung mengangkat setrika dan mengarahkan pada Tasya.
"Agkhh!" pekik Tasya.
Tasya langsung berjongkok karena sebagian telapak tangannya dan pergelangan tangannya menempel pada setrika yang sangat panas itu.
"Agkhh, sakit!" katanya sampai menangis.
"Ups, kenapa kamu malah pukul setrika ini. Ini panas loh, Tasya!" kata Paula dengan polosnya.
Padahal di dalam hatinya, Paula sedang terkekeh begitu senang.
'Rasakan itu? bagaimana merasakan luka bakar akibat setrika? enak kan?' batinnya begitu puas melihat Tasya menangis menahan sakit.
"Kenapa diam saja, bantu aku!" perintah Tasya pada Paula.
Paula yang masih memegang setrika langsung mendekati Tasya, dia ingin sekali menempelkan setrika panas itu di wajah Tasya, tapi Tasya yang melihat itu langsung menghindar.
"Agkhh, apa kamu sengaja? kamu mau mencelakai aku?" pekik Tasya.
Paula langsung mematikan setrika itu dan mencabut kabelnya.
"Aduh, aku lupa masih pegang benda ini!" kata Paula benar-benar berpura-pura.
"Panas sekali. Ambil air es!" teriak Tasya.
Paula segera mengajak Tasya keluar dari kamarnya itu dan menutup pintu.
"Ayo ke dapur, aku akan ambilkan air es!" kata Paula.
"Aduh, sakit!"
'Sudah tahu sakit kan? ini belum apa-apa Tasya!' batin Paula yang masih punya ide lain untuk membuat Tasya lebih merasa kesakitan lagi.
***
Bersambung...