Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Maaf Kak, walaupun pernikahan ini hanya berjalan dua minggu lantas kita bercerai. Setidaknya saya sudah pernah merasakan menjadi istri pria yang dulu saya cintai. Tetapi ternyata saya bukan wanita kuat yang siap menghadapi gempuran pria egois sepertimu. Saya pernah mendengar jika cinta harus rela berkorban ternyata bohong, nyatanya saya tidak bisa melakukan semua itu" papar Dila, melepas tangan Abdullah yang memeluknya erat.
"Dila..." Abdullah menatap wajah Dila benar-benar tidak ikhlas melepaskan.
Sementara Ahmad dan Ghina tidak bisa berkata-kata lagi. Dia kecewa pada Abdullah, karena telah menyia-nyiakan kesempatan itu, padahal Dila sudah mencintai Abdullah.
Karena tidak tega kepada Dila yang masih terus menangis, Ghina minta Dila untuk istirahat menenangkan diri.
Dila mengangguk lalu berjalan ke kamar, merebahkan tubuhnya di kasur. Tubuh yang sebenarnya belum sehat itu memang seharusnya beristirahat. Tidak apa-apa hari ini gagal untuk kembali ke kost, Dila merasa tidak sopan jika pergi dari rumah ini padahal ada mertuanya. Mungkin Dila harus bersabar dulu, jika esok mertuanya masih di rumah ini, ia akan bekerja agar terhindar dari Abdullah. Tetapi jika Ahmad dan Ghina pulang ke Bogor, ia akan ikut dan menceritakan masalah ini kepada bu Aminah.
Sementara itu Ahmad dengan Ghina masih melanjutkan perdebatan masalah anak dan menantunya. Jika Ahmad masih ingin berusaha untuk menyatukan anak dan menantunya, berbeda dengan Ghina.
"Sudahlah Papa, jangan paksa Dila" kata Ghina yang berada di dalam kamar berbeda.
"Tidak ada salahnya kita mencoba lagi kan, Ma" Ahmad masih punya harapan, karena ternyata Dila mencintai Abdullah. Jika Abdullah memperbaiki sikapnya, mustahil Dila tidak akan memaafkan. "Dila itu kan mencintai Abdullah Ma" imbuhnya.
"Pa, itu kan dulu. Bukankah kita mendengar sendiri bagaimana tegasnya Dila, Dia sudah siap untuk bercerai Pa" Ghina merasakan seperti apa yang Dila rasakan. Jika Ghina di posisi Dila akan melakukan hal yang sama. Karena tidak mendukung yang namanya poligami. Terlebih, sikap Abdullah yang kekanak-kanakan itu tidak yakin bisa adil walaupun di mulut Abdullah berkata demikian.
Sementara Dila mencoba menenangkan diri di kamar, tapi justru sakit kepala. Mana bisa ia tenang, nyatanya pikirannya sedang kacau. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar itu, kemudian berjalan ke dapur hendak memasak. Ketika melewati depan kamar mertuanya, telinganya sayup-sayup mendengar perdebatan beliau yang tengah membahas dirinya. Tetapi Dila biarkan saja tidak mau mendengar lebih jelas. Ia melanjutkan perjalanan ke dapur, hendak menyiapkan makan siang untuk mertuanya.
Dia memilih menu yang cocok untuk mertuanya lalu sat set meracik bumbu. Dengan melakukan hal yang ia sukai, rasa setres justru berkuang.
"Dila, kamu kan masih sakit? Kenapa malah memasak?" Tanya Abdullah yang sudah berada di belakang Dila.
Dila terkejut, ia pikir Abdullah pergi setelah sidang pagi tadi. Namun, Dila tidak menjawab pertanyaan Abdullah yang menurutnya basa basi saja, fokus meracik bumbu hendak memasak ayam rica-rica.
"Kamu kemarin di rawat di mana?" Abdullah tidak mau menyerah, lalu berdiri di samping Dila yang sedang mengulek bumbu di atas meja kompor.
"Tidak usah basa basi Kak, mau dirawat di mana pun apa peduli kamu" ketus Dila, tanganya memutar tombol kompor hingga menyala lalu menumis bumbu.
"Dila, maaf ya, selama menjadi suami kamu aku belum pernah memberi nafkah. Sekarang terima ini" Abdul memberikan kartu atm, pria itu rupanya sadar juga.
Dila melirik atm di tangan Abdullah lalu mendorongnya. Ia merasa pria itu hanya pura-pura baik karena takut dimarahi orang tuanya. "Simpan Kak, karena yang kamu lakukan itu sudah benar, bukankah kamu pernah bilang kalau aku ini hanya istri di atas kertas? Makanya saya tidak ada hak menerima nafkah dari kamu," Dila sakit hati ketika mengingat kata-kata Abdullah.
"La, aku mohon jangan diungkit-ungkit lagi, bukankah saya sudah minta maaf. Aku tahu kamu masih mencintai aku La, jika sikap kamu sekarang berubah begini karena dipengaruhi pria itu bukan?" Abdullah tidak percaya jika Tristan memang benar-benar ingin menolong Dila, ia pikir Tristan membiayai rumah sakit karena ada maunya.
"Jangan bawa-bawa Tristan" Dila mendelik ke arah Abdullah. Ia marah karena Abdullah masih juga tidak sadar bahwa selama dua minggu ini hampir setiap hari membubuhkan luka di dadanya.
"Dengar Kak, jika bukan karena Tristan, saat ini saya sudah di kubur karena mati di pinggir jalan. Untung saja saya masih hidup, jika mati dalam keadaan marah, arwah saya pasti akan gentayangan belum puas jika belum mencekik pria sepertimu!" Dila melotot tajam.
Abdullah pun akhirnya mundur menjauhi dapur, rupanya Dila belum bisa ia ajak bicara.
Sementara Ghina rupanya mendengar semuanya, dengan rasa kecewa ia berjalan ke dapur. Ternyata Abdullah selama ini belum pernah memberi nafkah. "Jangan-jangan Dila juga belum diberi nafkah batin? Keterlaluan sekali anak itu" Ghina menggerutu.
"Kamu masak apa sayang... aromanya itu loh, wangi sekali" Ghina melongok ke dalam panci seolah tidak mendengar kemarahan Dila kepada Abdullah. Ia paham jika sikap Dila seperti itu, karena Abdullah rupanya menyiksa Dila lahir batin.
"Saya masak ayam rica-rica kesukaan Papa, Ma" Dila melirik Ghina sekilas, berusaha untuk tersenyum walaupun hatinya gondok kepada Abdullah.
"Kamu kok tahu masakan kesukaan papa?" Ghina memandangi rica-rica yang sudah hampir matang.
"Saya pernah mendengar cerita Munah, Ma" Dila mematikan kompor lalu memasukkan ayam ke dalam wadah. Selesai masak, Ghina mengajak ngobrol Dila di teras rumah.
"Dila, selama dua minggu ini ternyata Abdullah tidak pernah memberi kamu nafkah. Nanti Mama marahi anak itu" Ghina kesal sekali.
Dila kaget, rupanya mertuanya mendengar kemarahannya di dapur tadi. "Sudahlah Ma, saya tidak mempersoalkan itu kok" jujur Dila, selama ini ia memang tidak pernah berharap dari orang lain. Selagi masih punya kaki dan tangan, tentu saja bisa mencari uang sendiri.
"Bukan itu masalahnya Dila, Mama kecewa saja. Kenapa anak itu tidak bertanggung jawab," Ghina geleng-geleng kepala, tidak menyangka jika Abdullah tidak tahu aturan. "Kenapa kamu tidak cerita sama Mama Dila, lalu dari mana kamu mencukupi kebutuhanmu sehari-hari?" Ghina membayangkan jika Dila tetap saja banting tulang, padahal sudah punya suami.
"Saya bekerja kok, Ma."
"Bekerja di mana?" Ghina memotong, ia sebenarnya tidak rela jika Dila bekerja lagi.
"Di catering Ma, tapi lumayan kok" Dila menceritakan tanpa ada beban, ia senang dengan pekerjaan itu.
"Ya Allah... Maafkan Mama sayang..." Ghina merangkul pundak Dila.
Ghina melepas pelukan ketika mendengar seseorang yang mendorong pagar. Dila menoleh sosok tersebut ternyata seorang wanita.
...~Bersambung~...
mengapa dulu tidak jujur sama orang tua jika sudah menikah agar tidak menghancurkan perasaan orang lain
jangan sampai balikan lagi ke Abdul apalagi kalau masih mempertahankan silfia.
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author