Lihat, dia kayak hantu!"
"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widya saputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya di Ujung Jalan
Waktu telah menghapus sebagian luka, tapi meninggalkan bekas yang menguatkan. Lima tahun setelah panti Darmawangsa ditutup dan persidangan berakhir, kehidupan Ayla, Nina, dan Rani berubah drastis. Mereka bukan lagi anak-anak korban, tapi perempuan dewasa yang berdiri tegak dengan keberhasilan masing-masing.
Di sebuah gedung modern bercorak kaca biru di pusat kota, Ayla duduk di balik meja kerjanya. Di atas meja, berserakan dokumen proyek pendidikan yang sedang ia jalankan. Kini, ia adalah pemilik perusahaan penerbitan dan program beasiswa untuk anak-anak dari desa terpencil. Namanya dikenal luas karena kisah hidupnya yang menginspirasi, bahkan beberapa kali diundang menjadi pembicara di luar negeri.
Dengan ketekunannya dan berkat keluarga Rani bahkan Nina,dia mendapat modal membangun sebuah perusahaan.
"Dulu aku hanya ingin bertahan hidup sekarang aku ingin membuat orang lain bertahan." Kata Rani mengingat kehidupannya dulu
Di dinding kantornya, ada foto dia bersama Rani dan Nina tga sahabat yang dulu mengandalkan satu sama lain di masa-masa paling kelam.
Bu Mirna juga sekarang sudah tidak perlu lagi bekerja,dia sekarang sudah mempunyai rumah yang besar bersama Ayla. Rumah yang sebelumnya mereka tempati,pemberian dari orang tua Rani,kini dia berikan pada Bu Asih.
Suatu malam Ayla pulang kerja dengan wajah sangat lelah
"Kamu sepertinya sangat capek." Kata Bu Mirna
"Iya Bu,hari ini banyak sekali pekerjaan."
"kalau begitu kamu,mandi,makan lalu istirahat."
"Iya Bu." Ayla yang memang sangat lelah lalu ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya dikasur.
Di sisi lain kota, Nina berdiri di ruang sidang, mengenakan jas hitam rapi. Kini ia menjadi pengacara yang fokus menangani kasus kekerasan anak. Di hadapannya duduk seorang pria berjas lusuh,pelaku penelantaran anak. Suaranya tegas, matanya tajam, tapi penuh empati kepada korban.
Ternyata masih saja ada anak yang sering di aniaya dan di terlantarkan oleh orang tuanya.
Setiap kali membela kasus, ia selalu teringat masa lalunya di panti. Baginya, ini bukan sekadar profesi, tapi misi hidup. Setelah sidang berakhir, ia keluar dan menerima telepon dari Rani.
"Nin, jangan lupa malam ini acara amal. Ayla juga datang. Kini dia sudah dalam perjalanan." Kata Rani
"Aku nggak akan absen. Ini tentang anak-anak kita. Aku juga baru selesai menangani satu kasus." Jawab Nina
"Baiklah ibu pengacara." Kata Rani mengejek sahabatnya
Rani dan Ayla kini berbeda kota,tetapi jaraknya tidak lah jauh. Jadi mereka bisa setiap saat bertemu. Rani dan Nina berada di kota yang sama.
Rani kini menjadi sosok publik yang dikenal bukan karena kekayaannya, tapi karena kepeduliannya. Ia sering mengadakan acara amal, konser, dan pameran seni untuk menggalang dana bagi rumah singgah. Di panggung, ia berbicara lantang, tapi di balik layar ia bekerja keras mengurus detail acara, memastikan bantuan benar-benar sampai pada anak-anak yang membutuhkan.
Banyak media memujinya, tapi ia selalu menolak gelar pahlawan.
"Kami hanya orang-orang yang pernah merasakan sakit dan nggak mau anak lain merasakannya lagi."
***
Malam harinya mereka bertiga bertemu di sebuah restoran dengan pemandangan kota dari atas. Ayla menceritakan proyek sekolah baru di desa terpencil, Nina berbagi cerita kasus yang baru saja dimenangkannya, dan Rani membicarakan acara amal yang akan datang.
"Akhirnya ibu bos ini ada waktu ya." Goda Nina pada Ayla yang memang akhir-akhir ini sangat sibuk
"Ah biasa aja. Sekarang banyak yang aku urus,aku juga sedang proses membangun sekolah di daerah terpencil."
"Ibu bos kita memang hebat ya." sambung Rani
Semua tertawa bahagia.
"Kalau dipikir-pikir, kita dulu nggak pernah bayangin bisa duduk di sini." Kata Rani
"Iya, dari nasi garam ke steak mahal. Masih ingat nggak dulu Ayla kamu pernah marah karena ayam bagianmu di ambil oleh Bayu." Kata Nina mengingat dulu bagaimana makan mereka di panti.
"iya aku ingat dan saat itu juga aku mulai bisa melawan."
"Tapi sekarang apapun yang kita mau,bisa kita wujudkan."
"Yang penting, kita nggak lupa darimana kita berasal." kata Rani lagi
"Benar." Jawab Ayla dan Nina
Mereka tertawa, tapi di hati masing-masing, ada rasa haru yang sulit dijelaskan.
Tidak pernah terbayangkan oleh mereka kalau hidup yang dulu sangat menderita sekarang malah terbalik. Hidup mereka sekarang sangat bahagia.
***
Sementara itu, jauh dari gemerlap kota, Darmawangsa terbaring di ranjang besi sebuah sel sempit. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kekuningan, batuknya tak henti-henti. Dokter penjara menyebut ia menderita komplikasi paru-paru akibat stres dan kondisi buruk di dalam.
Tidak ada yang menjenguk. Anak buahnya dulu sudah kabur entah kemana. Surat yang ia kirim pada keluarganya tak pernah dibalas. Setiap malam ia bermimpi buruk,wajah-wajah anak panti yang pernah ia siksa muncul dalam tidurnya, menatapnya tanpa kata. Suara tangisan anak-anak yang dia kirim paksa ke luar negeri terus terdengar.
Di sudut sel, ia berbisik sendiri.
"Andai waktu bisa diulang… andai…” Hanya kata andai yang bisa dia katakan sekarang,semua sudah terlanjur terjadi. Dulu dia bergelimpangan harta,semua keluarga sangat perduli bahkan keluarga jauh pun datang menyembah nya tapi sekarang jangankan keluarga jauh,anaknya saja tidak pernah datang. Mungkin karena malu atau entah apa alasannya.
Diatas ranjang besi itu dia terus saja menyesali semua perbuatannya dan bermonolog sendiri,tapi tak ada yang menjawab, selain suara rantai pintu sel yang berderit.
Disebuah Aula besar sedang di adakan acara amal besar oleh Ketiga sahabat itu. Ketiga sahabat itu kini berdiri di panggung acara amal, berpegangan tangan, menerima tepuk tangan dari ratusan orang. Mereka adalah bukti hidup bahwa masa lalu kelam tak selalu berarti masa depan gelap.
Acara mereka malam ini sangat sukses,malam ini juga Ayla banyak memberikan beasiswa di berbagai sekolah.
Di saat yang sama, Darmawangsa hanya menatap dinding sel yang lembab, menghitung hari dengan goresan kuku di tembok. Dunia di luar tak lagi mengingatnya, kecuali tiga perempuan yang kini bersinar jauh di luar jangkauannya bukan karena benci, tapi karena mereka sudah memilih untuk hidup.
"Kita menang, bukan karena mereka kalah. Kita menang, karena kita nggak menyerah." Kata Ayla tersenyum
"Betul sekali dan semua itu butuh banyak pengorbanan." lanjut Rani
Angin malam di luar restoran membawa aroma kebebasan. Mereka tahu, meski luka lama tak akan pernah hilang sepenuhnya, mereka telah belajar mengubahnya menjadi cahaya yang akan terus menerangi orang lain.
Bersambung....