"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah panggil nama.
Tama melihat ke arah meja Sora dan Giselle yang sama-sama kosong. Tadi dia mengawasi saat Sora keluar, tapi dia tidak melihat kapan Giselle menyusul. Hah, dia tidak peduli pada Giselle. Dia hanya memikirkan Sora, Sora dan Sora. Perempuan yang sudah membuatnya gila setiap hari karena memikirkan hubungan mereka yang sudah kacau balau. Tama sangat takut dia tidak akan bisa kembali kepada perempuan itu sekalipun misinya sudah selesai nanti.
Apalagi kalau mengingat kejadian tadi malam. Rasanya Tama ingin membenamkan kepala ke dalam lobang tanah. Bila perlu, mengubur dirinya sekalian. Se rindu itu dia kepada Sora sampai sempat kehilangan akal sehat. Dia sangat rindu dengan cumbuan-cumbuan panas yang membuat mereka berdua terbakar api gairah. Dan tadi malam, Tama mengakui kalau dirinya nyaris kehilangan kontrol. Untungnya Sora membuat kedua matanya terbuka dengan mengorbankan adik kecilnya.
Tama memang sempat kesal dan marah atas penolakan Sora. Rasanya seperti laki-laki terbuang dan hina. Namun, tidur membuat semuanya jauh lebih baik. Bahkan mengembalikan kesadaran Tama yang hampir saja berbuat kesalahan fatal. Pagi tadi niatnya adalah meminta maaf kepada Sora. Namun saat dia membuka unit wanita itu untuk melakukannya, kamar Sora sudah kosong. Dia sudah berangkat ke kantor.
Sora sudah pasti marah kepadanya. Lihatlah, sejak tadi perempuan itu tak sedikitpun melirik ke arah mejanya. Saat Axel bertanya sesuatu pun, dia menjawab saja tanpa melihat ke arah si penanya. Mungkin karena meja Axel dekat dengan meja Tama. Fiuhhh!
"Dari mana, Ra?"
Lamunan Tama terurai karena sosok yang sejak tadi dia pikirkan akhirnya muncul juga. Sepertinya dia baru dari pantry.
"Ambil minum, Kay. Haus." Sora menjawab pertanyaan Kayla sambil mengangkat tumbler-nya. Kemudian perempuan itu duduk di kursi yang baru saja dia tarik.
"Sora, sini sebentar." Tama tiba-tiba memanggil. Padahal dia sama sekali belum merencanakan ingin bicara apa. Tapi, mumpung Julian tidak masuk kantor, bolehlah dia curi-curi kesempatan. Dia juga tidak tau di mana Giselle berada.
Perempuan itu akhirnya menatap ke depan, mau tidak mau. Ini sudah pasti urusan pekerjaan. Mendapat tatapan tajam dari Tama, sebenarnya Sora sudah ingin berdiri menuruti perintah laki-laki itu. Tapi sebentar lagi Giselle akan masuk. Dia tidak ingin si bocah tengil itu mengira dia sengaja mendekati Tama di saat dirinya tidak ada.
"Sebentar." Sora mengulur waktu sejenak sampai Giselle masuk. Dengan begini, dia jamin Tama tidak akan berani membahas sesuatu di luar pekerjaan dengannya.
Giselle masuk. Tama mencelos. Sepertinya Sora sudah bisa membaca tujuannya. Dan karena Giselle sudah datang, dia harus memikirkan hal apa yang ingin dia bahas dengan Sora sekarang.
“Lo tadi manggil, Tam?” Sora bertanya sambil berjalan mendekati meja laki-laki itu. Sengaja berucap demikian supaya Giselle tau kalau Tama lah yang memanggilnya duluan. Huft, untuk apa sih ya, dia jadi repot ngurusin perasaan itu anak? Benar-benar nggak penting.
Tama menyodorkan satu map ke hadapan Sora. Itu adalah file lembaran-lembaran kontra bon customer yang sudah jatuh tempo bulan ini. “Gue mau update tentang ini. Jadinya pada mau bayar kapan. Lo hubungi ya, hari ini.”
“Bukannya ini udah ada PIC-nya, Tam? Ini ‘kan bukan kerjaan gue.”
“Gue suruh kerjain, kerjain.” Tama mencoba mengajak Sora beradu tatap. Namun perempuan itu tidak berkenan. Sedetik saja pandang mereka bersatu, bola mata Sora sudah berpindah lagi. Tama gemas bukan main.
Apakah ini Sora yang sama, yang kemarin menciumnya dengan penuh gairah? Mata laki-laki itu tak sengaja turun ke area dada. Kembali teringat kalau tadi malam kedua tangannya sempat masuk ke dalam piyama perempuan ini. Rasanya seperti mimpi saja.
Sora akhirnya membuka map tersebut dan melihat betapa banyak kontra bon yang harus dia periksa. Seriusan sebanyak ini?
“Ini banyak banget. Nggak akan mungkin kelar hari ini, Tam. Tapi ya udah, gue akan hubungin satu-satu.” Sora memutuskan untuk menyanggupi saja, meski dalam hati tidak setuju. Malas juga berdebat dengan Tama. Dia tau laki-laki ini hanya ingin mencari kesempatan untuk lebih lama lagi berinteraksi dengannya.
“Mas, itu ‘kan kerjaan aku?” Tiba-tiba Giselle sudah ada di antara mereka. Again, datang seperti hantu. Pergerakannya sungguh tidak terbaca.
“Biar aku aja, Mba.” Giselle meminta map itu dengan sopan. Dan dia menerimanya tanpa ada penolakan. Sora dengan senang hati memberikannya. Kali ini kecemburuan Giselle menyelamatkan dirinya dari pekerjaan tambahan yang tidak penting.
“Dikerjain sama Giselle ya, Tam. Makasih, Giselle cantik.” Dia menepuk pundak Giselle sebagai ucapan terima kasih, kemudian berbalik menuju kursinya. Berada di antara kedua orang itu membuat dirinya ingin cepat-cepat kabur saja.
“Mas tadi minta apa? Mau dikerjain apa?” Terdengar Giselle bertanya ulang kepada sang kekasih. Padahal instruksi Tama cukup singkat dan sejelas itu. Giselle tidak mungkin tidak mendengarnya tadi. Hanya saja dia memang mau pamer kemesraan di depan orang-orang. Karena sekarang, dia sudah berdiri di sebelah Tama dengan posisi yang cukup dekat.
Dia pikir ada yang peduli? Cuih!
“Ra, Julian ada balas chat lo nggak? Chat gue kenapa nggak dibalas-balas ya? Padahal mau nanya kerjaan.”
Sambil menjelaskan ulang kepada Giselle, telinga Tama menangkap suara Kayla yang bertanya kepada Sora dengan nada normal. Ya gimana aja kalau kita nanya ke seseorang yang duduk di meja dengan jarak satu meter dari kita. Tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan juga. Standar. Dan yang lain juga sudah pasti bisa mendengarnya.
“Ada. Tadi lagi chat kok. Mau ditelfonin?” Sora meraih ponselnya dan sudah menelepon Julian saja. Tidak perlu waktu lama, panggilannya langsung dijawab oleh yang bersangkutan.
“Jul, sori ganggu… lagi istirahat ya lo?… Enggaaak, ini… si Kayla nanyain… ha-ha-ha, ge-er. Udah, balesin tuh chat si Kayla, sebelum dia ngambek. Hm. Dah.” Klik.
“Ya elah, giliran ibu negara yang nelpon, jawabnya cepet banget. Ya ya ya, gue ini apalah.” Kayla pura-pura ngambek. Dilihatnya nama Julian kini memanggil di layar ponselnya. “Loh, kok malah nelpon sih, Ra?” tanyanya heran.
“Ya mana gue tau. Angkat aja,” balas Sora sambil kembali menatap layar komputernya. Didengarnya Kayla mengobrol tentang pekerjaan dengan Julian. Namun ujung-ujungnya sudah pasti menyerempet ke dia.
“Iyaaaa, pacar lo ada yang jagain kok, Jul. Tenang. Duilehhh, baru jadian sehari aja udah posesif minta ampun. Awas aja ya kalau gue nggak kebagian pajak jadiannya. Ntar gue pindah haluan, mending nerima tawaran Fabian untuk jadi mak comblang dia ke Sora.”
Sora langsung menoleh dan melotot kepada perempuan itu. Kenapa singgung-singgung Fabian segala? Alamak!
“Heh? Fabian juga lagi ngecengin lo, Ra?” Axel langsung menangkap berita itu dengan semangat.
“Ohh pantesan kemarin lo pada main badminton kagak ngajak-ngajak kita. Ternyata ada yang lagi pedekate?” Si Jo juga nggak mau ketinggalan.
Kemudian Kayla sengaja menekan tombol speaker di ponselnya. “Udah speaker, Jul. Lo mau ngomong apa?”
“Sye, beneran Fabian lagi deketin lo?” tanya Julian dengan volume yang cukup kencang.
“Ck. Nggak penting. Udah, lo istirahat aja yang bener. Biar besok bisa masuk kerja.” Sora sungguh malas membahas ini. Ingat omongan Giselle yang bilang kalau dia selalu jadi pusat perhatian semua orang. Lah, dia nggak minta kok. Orang-orang inilah yang selalu membuat demikian. Dia bisa apa?
“Ra, jangan macam-macam loh ya pas gue nggak ada. Ingat lo pacar gue.” Suara Julian terdengar begitu khawatir.
Terus terang, awalnya Sora tidak tau harus bersikap bagaimana. Dia sangat tau tujuan Kayla melakukan ini. Ini jelas membuatnya bingung. Pengen sih menyambut sikap Julian dengan ikut-ikutan menggoda. Sayangnya, itu bukan dia banget. Tapi, kalau Sora bersikap sebaliknya, alias cuek dan dingin, nanti ada yang merasa kalau dia sedang menjaga hati seseorang. Huh! Jelas nggak!
“Iya, sayang. Udah, lanjut japri aja ya, Jul. Nanti si Kayla jealous sama gue. Ntar dia rebut lo dari gue gimana? Mau dijodohin sama Fabian, anaknya nggak mau.” Akhirnya Sora memutuskan untuk menjadi kekasih yang normal. Ya sudahlah, jawab begitu saja. Nggak masalah ‘kan? Toh dia memang pacar Julian sekarang. Nggak perlulah jaga-jaga hati seseorang. Tai kucing!
“Iya, lo sama Fabian aja, Kay! Gue yakin dia hanya modus tuh nanya-nanya Sora. Aslinya pengen dekatin lo,” usul Axel yang masih tetap memasang telinga walau sedang bekerja.
“Nah, gue bilang juga apa! Tapi dia nggak percaya sama gue, Xel!” Sora seperti punya teman.
“Emang dia nanyain elu, Nyet! Mau gue sebar chat-nya di grup?”
“Eh!” Sora melotot lagi sambil menggeleng. Melarang dengan serius dia menyebarkan isi pesan Fabian kepada siapapun. Karena itu bukanlah sesuatu hal yang patut dipamerkan. Lagian… buat apa sih? Dia nggak mau dikira sok kecantikan lagi. Tolonglah.
“He-he-he. Canda, Sayangssss.” Kayla menjulurkan lidah. Dia senang menggoda Sora.
“Ya udah. Gue matiin ya teleponnya. Sora sayang, nanti jangan telat makan siang ya. Bye.” Di seberang sana Julian sudah berniat ingin melanjutkan istirahat. Sebelum menutup telepon, dia berpesan supaya Sora tidak telat makan siang. Setelah mendapat jawaban dari yang dipesankan, akhirnya panggilan itu pun berakhir.
“Lo bener-bener ya, Ra. Setelah bertahun-tahun dikurung di kandang singa, sekalinya dilepas langsung diincar banyak buaya.” Axel berseloroh tanpa peduli Tama akan mengerti maksudnya. Dia memang sengaja ingin membuat laki-laki itu sadar kalau Sora terlalu sayang untuk dilepas hanya demi seorang bocil seperti Giselle.
“Julian nggak buaya ya. Enak aja lo.” Sora membela kekasihnya. Sudah tentu harus.
“Dari mana lo tau dia nggak buaya?” Jo ikut bertanya.
“Karna dia nggak kayak elo… dan elo.” Sora menunjuk Jo dan Axel secara bergantian, dengan dramatis. “Yang matanya langsung jelalatan kalau ngeliat cewek cantik.” Sambungnya.
“Cuma kita berdua? Nggak ada yang lain?” Jo menggoda dengan iseng dan cuek. Entah kenapa dia dan Axel seakan kompak ingin memanas-manasi Tama.
“Udah udah, bubar! Kerjaan masih banyak, pada ribut aja lo.” Sora paling malas kalau sudah menyerempet ke Tama. Langsung saja dia menghentikan pembicaraan tersebut. Bisakah mereka berhenti menghubung-hubungkan dia dengan pria itu? Dia tidak ingin Giselle salah paham terus.
Sejak tadi Tama tidak tau apa saja yang dia jelaskan kepada Giselle. Bagaimana tidak, telinganya sibuk mendengar obrolan anak buahnya. Sial… sial. Selain Julian, ternyata si Fabian juga lagi ngejar si Sora. Posisinya semakin tidak aman. Dia harus segera bertindak.
Sekarang Axel dan Jo juga sudah berani menyindirnya secara terang-terangan. ‘Setelah bertahun-tahun dikurung di kandang singa, sekalinya dilepas langsung diincar banyak buaya’. Perumpamaan itu jelas sekali ditujukan kepadanya.
Sejak awal, Sora memang selalu menempel pada Dirga. Ke mana-mana keduanya selalu bareng seperti amplop dan prangko. Tidak ada yang berani mendekati Sora, karena yang mereka tau, dia adalah 'teman dekat' Tama.
Apalagi setelah dia mencicipi nikmatnya wanita itu. Ugghhhhh, bukan hanya Sora yang tidak bisa lepas darinya. Sebaliknya, Tama juga tidak bisa jauh dari perempuan ini. Dia sudah kecanduan akan Sora.
Semua orang juga tau kalau akhir-akhir ini mereka semakin dekat. Itulah alasan, ketika kabar hubungan Tama dan Giselle berhembus ke seantero kantor, banyak yang tidak percaya. Banyak yang iba kepada Sora juga. Yang mereka tau, Sora adalah satu-satunya teman wanita Tama. Siapa sangka pria itu akan berpacaran dengan perempuan lain?
“Mas?”
…
“Mas Tama!?”
“I—ya, Sora? E—eh?”
***