NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Harapan dan Langkah Baru: Bagian Kedua

Lanjutan 🍁

Damian mengangguk. Ia mengerti. "Kalau gitu," katanya sambil tersenyum tulus, "mulai sekarang, gue yang bakal ajak lo ke tempat-tempat kayak gini."

Valeria menatapnya, hatinya terasa hangat. Ia tidak pernah membayangkan akan ada orang yang peduli sampai sejauh ini. Damian bangkit dari bangku, mengulurkan tangannya.

"Ayo. Jangan cuma makan, kita coba yang lain juga."

Valeria menerima uluran tangannya, senyumnya kini benar-benar cerah. Mereka pun berjalan menyusuri keramaian.

Di rumah Fara, Makan malam yang hangat telah selesai. Fara dan Aluna meminta izin kepada orang tua mereka untuk pergi ke kamar Fara. Dina dan Bram tersenyum, mengerti bahwa kedua gadis itu butuh waktu untuk berbicara dari hati ke hati.

Kini, mereka berdua duduk di lantai, bersandar di ranjang Fara. Keheningan menyelimuti mereka, namun bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang nyaman.

...Hanya ilustrasi gambar....

Fara menatap Aluna dengan tulus. "Aluna, gue minta maaf sekali lagi sama lo," ucapnya, suaranya parau.

Aluna membalas tatapannya dengan senyum. "Gue udah maafin lo kok, Fara," katanya. "Tapi, lo harus janji sama gue, enggak berbuat hal seperti itu lagi."

"Iya, Aluna, gue janji," jawab Fara, lalu memeluk Aluna dengan erat. Aluna membalas pelukan itu.

Fara melepaskan pelukan, lalu menatap Aluna dengan penuh harap. "Aluna, lo nginep di sini, ya? Besok, kan, libur. Ya, please," bujuknya.

Aluna tersenyum melihat wajah Fara yang penuh harap. "Gue mau banget, Fa," jawabnya. "Tapi, gue harus izin dulu sama Tante Siti."

"Ya, udah, ayo kita ke bawah sekarang!" ajak Fara bersemangat.

Mereka berdua berjalan menuju ruang tamu. Di sana, Tante Siti, Bram, dan Dina sedang berbincang dengan hangat, tertawa bersama.

"Tante," panggil Aluna pelan, mendekati Tante Siti. "Aku mau nginep di sini. Fara nyuruh aku buat nginep, dan besok sekolah juga libur."

Tante Siti menoleh, menatap Aluna. Senyum terukir di wajahnya. Ia kemudian melihat ke arah Dina dan Bram.

Bram segera menyahut. "Tentu, boleh, Aluna! Kamu tidak perlu izin. Anggap rumah ini rumah kamu juga, rumah kedua kamu."

"Iya, Aluna, kamu mau tinggal seterusnya juga enggak apa-apa," timpal Dina, tertawa kecil.

Tante Siti tersenyum. "Sudah dengar, kan, Aluna? Kamu tidak perlu izin. Silakan lakukan sesukamu. Nikmati waktu malam ini."

"Iya," jawab Aluna, lega.

Dina menatap Tante Siti. "Aduh, kalau begitu Tante siti juga menginap saja di sini. Masih ada kamar kosong. Soal pakaian ganti, nanti akan saya pinjamkan."

"Aduh, enggak usah, Bu," jawab Tante Siti merasa tidak enak. "Saya pulang saja."

Aluna langsung meraih tangan Tante Siti. "Tante, di sini aja, ya," mohonnya.

Siti menatap Aluna, hatinya luluh. Ia mengangguk pasrah.

"Hore!" teriak Fara gembira. Ia memeluk Aluna sebentar lalu menarik tangannya. "Aluna, ayo kita ke kamar lagi! Kita nonton film bersama, tapi sebelum itu, kita ambil camilan dan minuman!"

"Ayo!" jawab Aluna, sama bersemangatnya.

Mereka berdua pun berlari menuju dapur. Melihat tingkah mereka, Bram hanya bisa tertawa. "Hati-hati! Jangan lari, awas jatuh!" teriaknya, mengingatkan.

...Hanya ilustrasi gambar....

Di dapur, Aluna dan Fara mengambil banyak minuman dan camilan. Keduanya membawa minuman dan camilan di tangan mereka. Bram, Dina, dan Tante Siti melihat tingkah laku mereka dan tertawa bersama.

Aluna dan Fara berjalan bersama menuju kamar Fara, meninggalkan tawa hangat dari orang tua mereka.

Di tempat lain Damian terus menggenggam tangan Valeria dan mengajaknya berkeliling. Mereka melewati kerumunan orang, musik dari band di panggung terdengar semakin keras.

...Hanya ilustrasi gambar....

Damian berhenti di depan sebuah stan permainan

yang ramai.

"Coba, yuk?" ajak Damian. "Biar lo enggak tegang lagi."

Valeria tersenyum. Ia tidak pernah diajak bermain di tempat seperti ini. Semua terasa begitu bebas dan menyenangkan.

Damian menggandeng tangan Valeria menuju sebuah stan yang ramai. Di sana, ratusan balon air berwarna-warni berbaris rapi di dinding kayu. Berbagai boneka besar dan lucu tergantung sebagai hadiah.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Ini namanya Balon Dart," jelas Damian. "Lo cuma perlu lempar anak panah mainan itu, kalau kena dan balonya pecah, lo dapat hadiah."

"Kelihatannya seru!" kata Valeria, matanya berbinar.

"Lo mau coba?" tanya Damian.

Valeria mengangguk. Mereka berdua membayar dan menerima tiga anak panah mainan dari penjaga stan.

"Tantangannya, siapa yang paling banyak mecahin balon, dia yang menang," ucap Damian, tersenyum jahil.

Damian melempar anak panah pertamanya dengan santai, dan DUAR! Balon berwarna biru pecah. Ia menoleh ke arah Valeria, menunggu gilirannya.

Valeria mengambil napas dalam, memegang anak panah. Ia membidik, tapi lemparannya meleset. Anak panahnya menancap di dinding kayu, jauh dari sasaran. Ia mengerutkan bibir, merasa malu.

"Enggak apa-apa," bisik Damian. Ia mendekat, berdiri di belakang Valeria, dan membantunya memegang anak panah kedua. "Fokus, jangan tegang," katanya lembut.

Lemparan kedua Valeria pecah, lalu lemparan ketiga Damian juga berhasil. Mereka berhasil mendapatkan hadiah. Damian mengambil boneka beruang besar, memberikannya pada Valeria.

Valeria memeluk boneka itu, wajahnya berseri-seri. "Makasih, Damian!"

Damian tersenyum melihat Valeria memeluk boneka beruang besar yang baru ia menangkan. "Ayo, kita cari yang lain," ajaknya, menggandeng tangan Valeria lagi.

Mereka kembali menyusuri keramaian, melewati berbagai stan makanan dan permainan. Valeria berjalan di samping Damian, memeluk erat boneka beruangnya. Wajahnya berseri-seri, matanya tidak henti-hentinya mengamati setiap hal yang ia lewati.

Damian melihat sebuah stan permainan yang menarik perhatiannya. Di sana, tumpukan botol kosong berjejer, dan para pemain harus melempar cincin untuk memasukkannya ke leher botol. Hadiahnya adalah boneka-boneka yang lebih besar.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Ayo, kita coba itu!" ajak Damian, menunjuk ke stan tersebut.

Valeria mengangguk. Ia memeluk erat boneka beruangnya, lalu mengikuti Damian.

"Gimana mainnya?" tanya Valeria, matanya penasaran.

"Gampang," jawab Damian. "Lo cuma perlu lempar cincin-cincin ini biar masuk ke botol. Kalau berhasil, lo bisa dapetin hadiah yang lebih gede."

Valeria tertawa kecil. "Lo aja yang coba, gue enggak jago," katanya.

"Justru itu serunya," balas Damian. Ia membayar, lalu mengambil dua cincin, memberikannya satu kepada Valeria. "Lo coba aja. Gue yakin lo pasti bisa."

Valeria mencoba melempar cincin-cincin itu, tetapi tidak ada satu pun yang masuk ke leher botol. Ia mengerucutkan bibirnya, merasa sedikit kesal.

"Duh, kok susah banget, sih?" keluhnya.

Damian tertawa. Ia mengambil sisa cincin yang dipegang Valeria. "Sini, giliran gue," katanya, lalu melemparnya dengan fokus.

Namun, hasilnya sama. Tidak ada satu pun cincin yang berhasil masuk.

Valeria tertawa saat melihat semua lemparan Damian meleset. "Hahaha! Lo juga enggak bisa masuk, Damian!" godanya, merasa senang.

"Eh, jangan senang dulu!" jawab Damian, tersenyum jahil. "Kita coba lagi."

Damian membayar lagi. Ia mengambil beberapa cincin, memberikan setengahnya kepada Valeria. "Kali ini kita coba bareng," katanya.

Damian berdiri di belakang Valeria, mengarahkan tangannya untuk membidik leher botol. Valeria merasa gugup, tetapi juga nyaman.

Mereka melempar cincin bersamaan, tetapi lagi-lagi, tidak ada satu pun yang berhasil masuk. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

"Gue nyerah, deh," kata Valeria. "Emang bukan rezeki kita."

Damian ikut tertawa. Ia setuju. Meskipun gagal, mereka merasa lebih gembira daripada saat mereka memenangkan boneka.

Damian mengangguk. "Oke, lah," katanya sambil tersenyum. "Mau cari permainan lain yang lebih seru?"

"Ya," jawab Valeria, matanya masih berbinar.

Mereka pun meninggalkan stan permainan yang gagal mereka taklukkan, melangkah kembali ke tengah keramaian. Suara musik dari panggung utama semakin jelas terdengar, dan aroma makanan baru tercium di udara. Valeria masih memeluk boneka beruangnya, dan Damian masih menggandeng tangannya.

Damian melihat sebuah stan permainan yang menarik perhatiannya. Stan itu diisi oleh beberapa meja, di mana orang-orang saling adu cepat mengendalikan kepingan puck. Suara puck yang bergesekan dengan meja terdengar nyaring.

"Ini namanya air hockey," jelas Damian. "Seru, loh. Lo mau coba?"

Valeria mengangguk. Ia tidak pernah melihat permainan seperti ini sebelumnya. Mereka berdua berjalan mendekat, dan Damian mengambil dua stik permainan, memberikannya satu kepada Valeria.

"Siap-siap kalah, ya," goda Damian.

Valeria tertawa. "Enggak akan! Gue pasti menang!"

"Kalau begitu, mari kita lihat," goda Damian. Ia menekan tombol "Start" dan kepingan puck meluncur cepat di atas meja.

Pertandingan dimulai.

...Hanya ilustrasi gambar....

Suara pukulan stik ke puck bergema di tengah keramaian. Damian dan Valeria sama-sama fokus, mata mereka tidak lepas dari kepingan puck yang meluncur cepat. Keduanya memiliki kecepatan dan refleks yang baik, saling mencetak angka.

"Hahaha, satu kosong!" seru Damian, saat ia berhasil memasukkan puck ke gawang Valeria.

"Curang!" balas Valeria, lalu dengan cepat ia membalasnya, mencetak angka dan membuat kedudukan imbang. "Satu-satu!"

Mereka terus bermain, tertawa, dan saling menggoda setiap kali salah satu dari mereka mencetak poin. Itu adalah pertandingan yang intens, namun dipenuhi oleh tawa dan sorakan gembira.

Mereka pun selesai bermain. Meskipun lelah, wajah mereka dipenuhi keringat dan senyum bahagia. Damian dan Valeria berjalan menjauhi area permainan.

"Kali ini apa lagi, ya?" tanya Damian, menoleh ke arah Valeria. "Gimana kalau komedi putar?"

Valeria menatapnya, matanya berbinar. Ia tidak menyangka Damian akan mengajaknya ke sana. Komedi putar adalah salah satu hal yang paling ia inginkan saat kecil.

Mata Valeria berbinar saat ia mendengar ajakan Damian. "Ayo," jawabnya, suaranya dipenuhi semangat.

Mereka berjalan menuju komidi putar, di mana kuda-kuda dan kereta-kereta kayu berjejer rapi, dihiasi lampu-lampu berkelap-kelip. Musik klasik dari komidi putar terdengar merdu, menenangkan suasana.

Valeria dan Damian memilih dua kuda kayu yang bersebelahan. Mereka duduk di sana, bersiap untuk naik. Saat komidi putar mulai berputar perlahan, wajah Valeria memancarkan kebahagiaan yang tulus.

...Hanya ilustrasi gambar....

Komidi putar berputar perlahan, membawa Valeria dan Damian ke atas dan ke bawah mengikuti alunan musik yang merdu. Lampu-lampu kecil di sekeliling mereka berkelap-kelip, memantulkan cahaya di mata Valeria. Senyum lebar tak lepas dari wajahnya.

"Lo... kelihatan bahagia banget," bisik Damian, sedikit berteriak agar suaranya terdengar melewati musik.

Valeria menoleh ke arahnya, matanya berbinar. "Gue enggak pernah naik komidi putar," jawabnya. "Makasih, Damian. Gue seneng banget."

Damian tersenyum. Ia menatap Valeria, hatinya dipenuhi perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Melihat Valeria bahagia adalah satu-satunya tujuannya malam ini. Ia merasa berhasil.

Komidi putar perlahan berhenti. Damian dan Valeria turun. Valeria masih memeluk erat boneka beruangnya, dan wajahnya masih memancarkan kebahagiaan.

"Ayok, foto," ajak Damian, mengeluarkan ponselnya. "Buat kenang-kenangan."

Valeria mengangguk. Mereka berdiri di depan komidi putar yang masih menyala, dengan lampu-lampu berkelap-kelip sebagai latar. Damian mengambil beberapa foto selfie bersama Valeria, memastikan setiap momen bahagia itu terekam.

...Hanya ilustrasi gambar....

Damian tersenyum melihat foto-foto di ponselnya. Valeria juga ikut tersenyum.

"Ayo, kita jalan lagi," ajak Damian. Ia mengantongi ponselnya dan kembali menggenggam tangan Valeria.

Mereka berjalan menyusuri area festival, menjauhi keramaian permainan dan musik. Suasana terasa lebih tenang, hanya diisi oleh percakapan bisik-bisik dan gelak tawa dari orang-orang di sekitar mereka. Valeria masih memeluk erat boneka beruangnya.

Saat berjalan, Damian melihat sebuah stan yang berbeda. Stan itu gelap, dihiasi dengan lampu-lampu remang, dan terdengar suara-suara aneh dari dalamnya. Di atasnya, ada tulisan besar: RUMAH HANTU.

...Hanya ilustrasi gambar....

Damian tersenyum jahil. Ia menoleh ke arah Valeria.

"Mau coba?" ajaknya.

Valeria menatap rumah hantu itu, lalu menatap Damian. Ia merasa sedikit takut, tetapi juga penasaran.

Damian tersenyum melihat raut wajah Valeria yang sedikit ragu. "Kenapa, lo takut?" godanya.

Valeria langsung menggeleng. "E... enggak!" jawabnya dengan cepat, berusaha terdengar berani. "Ayo kalau mau masuk."

Valeria meletakkan boneka beruangnya di tangan Damian. "Tolong pegangin, ya," bisiknya.

Mereka pun membeli tiket dan melangkah masuk ke dalam rumah hantu. Suasana di dalamnya sangat gelap, hanya diterangi lampu-lampu remang yang berkelap-kelip. Suara-suara rintihan dan tawa menyeramkan terdengar dari segala arah.

Di dalam rumah hantu, Valeria menahan rasa takutnya. Ia terus berjalan, namun tak lama kemudian, ia mendekat dan memegang tangan Damian. Damian tersenyum. Ia mengerti, dan ia menggenggam tangan Valeria dengan erat.

Mereka melanjutkan langkah mereka, berjalan di antara kegelapan. Tiba-tiba, sebuah sosok menyeramkan muncul di depan mereka. Valeria berteriak ketakutan. Tanpa sengaja, ia memeluk Damian erat-erat.

"Ah, Damian!" serunya, suaranya gemetar.

Mendengar seruan Valeria, Damian langsung memeluknya kembali dengan erat. Ia mengabaikan sosok menyeramkan di depan mereka dan menepuk punggung Valeria dengan lembut.

"Tenang, tenang," bisiknya, suaranya pelan dan menenangkan. "Ada gue di sini. Enggak apa-apa."

Valeria membenamkan wajahnya di dada Damian, tangisnya mereda. Ia memejamkan mata, merasa aman. Damian terus memeluknya sampai Valeria merasa lebih baik.

"Udah, kan?" tanya Damian lembut. "Kita keluar, ya?"

Valeria mengangguk. Damian terus menggenggam tangan Valeria dan berjalan, memimpin jalan keluar dari rumah hantu.

Saat mereka keluar dari rumah hantu, wajah Valeria masih terlihat pucat. Melihat itu, Damian tertawa terbahak-bahak.

"Hahahaha! Tadi bilangnya enggak takut, Valeria," godanya.

Valeria memukul pelan lengan Damian. "Apaan sih lo? Malah ketawain gue," gerutunya.

"Emang kenapa?" tanya Damian, menahan tawanya.

"Gue enggak takut ya." jawab Valeria cepat. "Gue cuma kaget."

"Masa?" Damian menaikkan alisnya, senyum jahil masih terukir di wajahnya.

"Iya!" tegas Valeria.

Damian berhenti menggoda. Ia melihat ke atas, menatap sebuah bianglala besar yang berputar perlahan, dihiasi lampu warna-warni yang berkilau di langit malam.

"Eh, Valeria," ajak Damian. "Naik itu yuk."

Valeria melihat ke arah yang ditunjuk Damian. Ia tertegun.

Valeria mengangguk. Matanya tak lepas dari bianglala yang berputar. Damian menggandeng tangannya dan mereka berjalan menuju antrean. Setelah menunggu sebentar, mereka pun masuk ke salah satu kabin.

Perlahan, kabin itu terangkat, membawa mereka menjauh dari keramaian di bawah. Suara musik dan tawa semakin mengecil, digantikan oleh keheningan. Lampu-lampu kota terlihat seperti permadani bintang yang terhampar luas di bawah mereka.

Kabin berhenti tepat di puncaknya. Dari atas sini, seluruh kota terlihat begitu indah. Valeria menatap pemandangan itu, takjub.

"Cantik, ya," bisik Damian.

"Iya," jawab Valeria, suaranya pelan. Ia menoleh ke arah Damian, lalu tersenyum. "Ini ... malam terindah yang pernah gue alami."

...Hanya ilustrasi gambar....

Damian membalas senyumnya. Ia mengulurkan tangannya, dan perlahan mengusap pipi Valeria.

Damian mengusap pipi Valeria dengan lembut. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, mengarahkan kameranya, dan mengambil beberapa gambar Valeria yang masih terpana menatap pemandangan kota. Ia ingin mengabadikan momen itu, wajah Valeria yang berseri-seri dan tulus.

Valeria tidak menyadarinya. Ia terlalu asyik menikmati pemandangan dan momen itu, hingga ia tidak menyadari Damian mengambil fotonya.

Sementara itu, di rumah, Tante Kiara sedang menikmati waktu santainya. Ia duduk di ruang keluarga, menonton film komedi di televisi. Tawa kecilnya terdengar memecah keheningan rumah yang sepi.

Tiba-tiba, ia mendengar suara mobil yang familier. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera berjalan ke depan pintu dan mengintip dari balik tirai. Matanya membulat saat melihat mobil Diandra sudah memasuki pekarangan.

"Gawat!" bisiknya panik.

Dengan cepat, ia mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi Valeria, tetapi tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi, tetapi tetap sama.

Tanpa membuang waktu, Tante Kiara menghubungi Damian. Jantungnya berdebar kencang, berharap Damian akan segera mengangkat teleponnya.

Damian mendengar ponselnya berdering. Ia melihat layar ponselnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di sana. "Nomor siapa, ya?" gumamnya.

Ia memutuskan untuk mengangkatnya. "Halo?"

Terdengar suara Tante Kiara dari seberang telepon, suaranya terdengar panik dan tergesa-gesa. "Damian! Kamu di mana? Cepat bawa Valeria pulang sekarang! Mamanya sudah di rumah!"

Mata Damian membulat. Ia langsung mengerti. "Baik, Tante. Kami pulang sekarang juga!"

Ia mengakhiri panggilan. Wajahnya berubah serius, membuat Valeria yang berada di sampingnya merasa bingung.

"Ada apa, Damian?" tanya Valeria.

"Val, kita harus pulang sekarang juga," jawab Damian, suaranya tegas. "Mama kamu sudah di rumah."

Valeria terkejut, panik kembali menyelimuti dirinya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Damian menggenggam tangan Valeria erat-erat. Ia menariknya dan mulai berlari menembus kerumunan orang yang ramai. Wajah Valeria yang tadinya ceria kini diselimuti kepanikan. Ia memeluk boneka beruangnya dan mencoba mengimbangi langkah cepat Damian.

Mereka berlari sekuat tenaga, melewati stan-stan yang tadinya mereka nikmati, seolah-olah semua itu tidak pernah terjadi.

...Hanya ilustrasi gambar....

Valeria dan Damian terus berlari, menembus kerumunan orang. Pandangan Valeria hanya tertuju pada Damian yang menarik tangannya.

Tiba-tiba, seorang pria yang juga sedang berlari di arah berlawanan, tidak sengaja menabrak Valeria dengan keras. Valeria terhuyung, cengkeramannya pada boneka beruangnya terlepas, dan ia hampir jatuh.

Seorang pria yang tidak sengaja menabrak Valeria bergegas meminta maaf dan kembali berlari. Damian memegang bahu Valeria, memastikan ia tidak jatuh.

"Val! Lo enggak apa-apa?" tanya Damian panik.

Valeria tidak menjawab. Matanya mencari-cari ke bawah, dan ia melihat boneka beruangnya yang jatuh. "Bonekanya," bisiknya, suaranya terdengar sedih.

Mendengar bisikan Valeria, Damian langsung mengerti. Ia melihat boneka beruang itu tergeletak di tanah, di tengah keramaian orang yang lalu-lalang. Tanpa berpikir panjang, ia dengan cepat berjongkok, mengulurkan tangannya, dan mengambil boneka itu.

"Ini," katanya, menyerahkan boneka itu kembali ke pelukan Valeria.

Valeria memeluknya erat-erat, seolah-olah takut kehilangannya lagi. Air mata sedikit menetes di pipinya.

"Kita harus cepat," kata Damian, suaranya serius. Ia kembali menggenggam tangan Valeria dan menariknya, berlari lebih cepat lagi.

Di dalam rumah, Tante Kiara panik. Ia segera berjalan ke kamar Valeria, membuka pintu, dan masuk. Ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Di dalam kamar, ia mondar-mandir, napasnya tidak beraturan.

Ia mengambil ponselnya, dan kembali menghubungi Damian.

Di sisi lain, Damian masih berlari bersama Valeria. Ia terengah-engah, tetapi melihat ponselnya berdering lagi. Ia berniat mengangkat telepon sambil terus berlari.

Tante Kiara menekan nomor Damian lagi. Tangannya gemetar.

Di saat yang sama, Damian masih berlari, berniat mengangkat telepon. Nafasnya terengah-engah, tetapi ia berhasil menekan tombol hijau.

"Halo?" ucap Damian, suaranya putus-putus.

"Damian! Kamu di mana?!" suara Tante Kiara terdengar sangat panik.

"Kami sedang dalam perjalanan, Tante! Kenapa?"

"Cepat! Mama Valeria sudah di depan pintu! Aku sudah masuk ke kamar Valeria dan menguncinya dari dalam!"

Damian dan Valeria sama-sama terkejut. Mereka berdua menoleh ke arah satu sama lain. "Baik, Tante. Kami akan cepat sampai!"

Damian mengakhiri panggilan. Wajahnya serius. Ia mempercepat langkahnya, menarik Valeria menuju tempat parkir.

Damian dan Valeria berlari sekuat tenaga, menembus keramaian festival. Di depan mata mereka, pintu keluar sudah terlihat. Mereka hampir sampai.

Namun, tepat di saat mereka tiba di tempat parkir, suara ledakan keras terdengar dari langit. Serpihan cahaya berwarna-warni meledak di udara, membentuk pola-pola indah yang jatuh perlahan. Puncak dari festival itu, pertunjukan kembang api, telah dimulai.

...Hanya ilustrasi gambar....

Valeria yang terengah-engah, secara spontan menghentikan langkahnya. Ia mendongak, terpukau melihat keindahan di langit. Kembang api itu begitu memukau, membuat ia sejenak lupa akan semua bahaya yang mengancam.

Damian menyadarinya. Ia dengan cepat menoleh ke arah Valeria. "Val, kita harus cepat pulang!" ucapnya, berusaha menyadarkan Valeria dari keterpukauan nya.

Valeria menatap Damian, matanya kembali ke realitas. Ia mengangguk. Damian segera mengambil helm dari motornya dan memakaikannya di kepala Valeria.

Di dalam kamar Valeria, Tante Kiara berpikir cepat. Ia melihat pakaian Valeria masih tergeletak di atas tempat tidur. Ia mulai melipatnya dengan tergesa-gesa dan memasukkannya ke dalam lemari. Setelah selesai, ia mengambil guling dan meletakkannya di samping bantal, lalu menutupinya dengan selimut, membuat seolah-olah Valeria sedang tertidur lelap di bawah selimut.

"Oke, selesai," bisiknya pada dirinya sendiri. "Waktunya keluar."

Ia membuka pintu dan keluar. Tepat saat itu, Diandra baru sampai di atas tangga dan melihat Kiara keluar dari kamar Valeria.

"Kiara," panggil Diandra, suaranya terdengar lelah. "Kamu sedang apa?"

Kiara melihat Diandra, berusaha menyembunyikan kepanikannya. "Mbak... Mbak sudah pulang?" tanyanya.

"Iya," jawab Diandra. "Kamu belum jawab pertanyaan Mbak."

"Oh, ini," Kiara tersenyum tipis, mencoba terlihat santai. "Habis lihat Valeria sudah tidur apa belum. Tadinya mau Kiara ajak nonton film horor, eh dianya sudah tidur," jawabnya.

Diandra mengangguk, tampak percaya. Ia pun melangkah ke kamar Valeria dan membuka pintu. Ia melihat guling di bawah selimut, dan mengira itu adalah putrinya.

"Ya sudah, biarin dia tidur," kata Diandra, lalu menutup pintunya. "Ya udah kalau begitu, Mbak juga mau ke kamar, mau istirahat. Mbak sudah ngantuk."

"Iya, Mbak," jawab Kiara, lega.

Diandra pun berjalan menuju kamarnya. Tante Kiara menunggu hingga Diandra masuk, lalu ia menghela napas panjang. Ia berhasil. Untuk saat ini.

Damian mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan malam yang lengang. Angin kencang menerpa wajah Valeria yang duduk di belakangnya. Ia memeluk erat boneka beruang besar, tetapi ia tahu ia harus memindahkannya.

"Val," teriak Damian, "bonekanya pindahin ke depan! Pegangan yang erat, gue bakal ngebut!"

Valeria mengangguk. Ia memindahkan boneka beruangnya ke depan, diapit antara tubuhnya dan punggung Damian. Ia kemudian memeluk pinggang Damian dengan erat, menempelkan wajahnya di punggung pria itu.

Motor melaju kencang, membelah malam. Tujuan mereka hanya satu: sampai di rumah sebelum Diandra menyadari sesuatu.

Tante Kiara berdiri di depan pintu, menunggu dengan cemas. Matanya terus melirik ke lantai atas, berharap Diandra tidak keluar dari kamar. Jantungnya berdebar kencang.

Tak lama kemudian, sebuah suara motor terdengar. Damian dan Valeria akhirnya tiba. Damian mematikan mesin motornya dengan cepat, lalu menurunkannya. Valeria melompat turun, memegang erat boneka beruangnya.

"Sstt! Cepat masuk," bisik Kiara, matanya masih melirik ke atas.

Damian dan Valeria mengangguk. Mereka berlari ke dalam rumah, kelegaan terpancar di wajah mereka, namun ketegangan masih terasa.

Setelah memastikan Valeria dan Tante Kiara sudah aman di dalam rumah, Damian mengambil langkah mundur. Ia menatap Valeria, senyum tulus terukir di wajahnya.

"Gue pulang dulu, ya," bisiknya.

Valeria mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia ingin berterima kasih, tetapi kata-kata tidak bisa keluar dari bibirnya.

Damian kemudian melihat kearah tante kiara dan berkata, " Tante, kalau begitu saya pamit pulang."

"Hati-hati, Nak," bisik Tante Kiara, suaranya dipenuhi rasa terima kasih.

Damian mengangguk. Ia berbalik, lalu dengan cepat berjalan ke motornya dan pergi, meninggalkan rumah itu.

Setelah Damian pergi, Tante Kiara menutup pintu dan menguncinya dengan cepat. Ia menoleh ke arah Valeria, yang masih mematung di dekat pintu.

"Cepat masuk ke kamar kamu," bisik Kiara, suaranya dipenuhi ketegangan. "Ayo, tapi jalannya pelan-pelan. Jangan sampai kedengaran."

Valeria mengangguk. Ia berjalan berjinjit, mengikuti langkah Tante Kiara yang juga berhati-hati. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah bisa membangunkan Diandra yang sudah tertidur.

Valeria dan Tante Kiara akhirnya sampai di kamar. Tante Kiara menutup pintu dengan hati-hati dan menghela napas panjang. Keduanya bisa bernapas lega.

"Syukurlah," bisik Tante Kiara. "Kamu cepat bersih-bersih dan langsung tidur, ya. Jangan sampai ketahuan."

Valeria mengangguk. Tante Kiara tersenyum, menepuk bahu Valeria, lalu berbalik dan pamit menuju kamarnya sendiri. Valeria ditinggalkan sendirian di kamarnya, dengan boneka beruang besar yang masih ia peluk erat.

Damian mengendarai motornya menembus jalanan malam yang mulai sepi. Adrenalin dari pelarian tadi perlahan-lahan surut, digantikan oleh perasaan lega dan damai. Di kepalanya, ia terus memutar kembali momen-momen bersama Valeria malam itu: tawa lepasnya di permainan, wajahnya yang penuh ketakutan di rumah hantu, hingga tatapan takjubnya di atas bianglala.

Meskipun harus mengakhiri malam dengan panik, Damian tidak menyesal. Melihat senyum tulus di wajah Valeria adalah segalanya. Ia tahu, malam ini ia telah memberikan sesuatu yang berharga untuk gadis itu: kebahagiaan yang tulus, meski hanya sebentar.

Damian akhirnya sampai di rumah. Ia mematikan motornya dan mendorongnya masuk ke dalam garasi. Saat ia membuka pintu, suara langkahnya terdengar jelas di keheningan malam.

"Habis dari mana kamu, Damian?"

Suara berat itu mengejutkan Damian. Ia mendongak, dan melihat ayahnya, Danu, berdiri di lantai atas. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya menatap tajam ke arah Damian.

Damian melihat ayahnya, Danu, dan menjawab dengan santai, "Habis jalan-jalan, menikmati pemandangan, makan, dan angin malam, Papa."

Danu mengangguk. Ia tahu putranya suka menghabiskan waktu sendirian. Ia tidak bertanya lebih lanjut, hanya menatap Damian sejenak dengan tatapan mengerti.

"Baiklah kalau begitu," kata Danu. "Sudah malam. Besok, kan, libur. Langsung tidur, ya."

Danu pun berbalik dan kembali ke kamarnya. Damian menunggu sejenak, lalu berjalan pelan ke kamarnya. Ia menghela napas, lega karena bisa masuk tanpa masalah.

Damian berjalan ke kamarnya. Ia membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Tak berapa lama, ia pun selesai. Ia berjalan ke kasurnya, merebahkan diri, dan mengambil ponselnya.

Ia membuka aplikasi perpesanan, mencari nama Valeria. Ia tersenyum kecil, lalu mulai mengetik.

"Good night, tidur yang nyenyak," ketiknya, lalu menekan tombol kirim.

Setelah pesannya terkirim, ia meletakkan ponselnya, memejamkan mata, dan tertidur dengan senyum di bibirnya.

Di kamarnya, Valeria sudah membersihkan diri dan merebahkan tubuhnya di kasur. Ia memeluk erat boneka beruang yang ia menangkan. Malam itu terasa seperti mimpi, saking indahnya. Namun, ia tidak bisa membuang rasa cemas yang masih mengendap di dalam hatinya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ia mengambilnya, dan melihat pesan masuk dari Damian.

"Good night, tidur yang nyenyak," pesan itu terbaca.

Valeria tersenyum. Senyum tulus yang tidak ia tunjukkan pada siapa pun. Rasa cemas di hatinya perlahan sirna, digantikan oleh kebahagiaan yang hangat. Ia pun membalas pesan Damian, lalu meletakkan ponselnya dan memeluk boneka beruangnya. Malam itu, ia tertidur dengan damai.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!