Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Nayna masih terpaku menatap pada satu titik, bahkan dia tak mengindahkan kata-kata pak Sapto yang tengah memberikan wejangan untuk anak didiknya.
"Nay, dipanggil tuh ... Nay, hei, halo, Nayna!" Yuli menyikut temannya karena kesal tak mendapat respons sejak tadi, sementara yang ditanya menoleh kaget dengan wajah kebingungan.
"Apaan, Yul?" bisiknya, lalu mengikuti gerakan mata Yuli ke arah seseorang. Nayna menunjuk dirinya sendiri, "saya?"
Dia mengangguk lalu beranjak mengikuti seorang guru yang memanggilnya. Dia dibawa ke ruang guru dan kembali keluar dengan sebuah map hijau di tangan.
Saat itulah, dia berpapasan dengan seorang siswa yang telah lama muncul dalam bunga tidurnya. Nayna melempar senyum ramah, namun siswa itu tetap dingin tanpa ekspresi apa pun. Bukannya menyerah, Nayna justru melupakan tugas yang seharusnya cepat disampaikan, dia justru memilih untuk mengejar dan menyapa pujaan hatinya.
"Hai, Aksa. Selamat ya atas prestasinya. Kamu hebat, keren," ucap Nayna sembari mengulurkan tangannya dengan malu-malu. Sedangkan Aksara hanya berdiri diam lalu pergi begitu saja meninggalkan Nayna dan uluran tangannya yang kosong tanpa balasan.
Sadar akan situasi, Nayna cepat menarik kembali lengannya dan berbalik, menatap pintu toilet pria, lalu tersenyum kecil.
Oh, mungkin Aksa lagi kebelet ya, makanya nggak sempet respons aku. Ya udah deh, masih ada waktu kok.
Nayna melenggang pergi dengan senyum masih terlukis di bibir. Namun, senyum itu lenyap saat pak Sapto dan beberapa guru menatapnya kesal.
"Kamu ke mana aja, Nayna? Ruang guru udah pindah? Atau kamu tadi jalannya muterin gedung sekolah dulu?" ucap pak Sapto tegas. Nayna hanya mengangguk pelan sembari mengucap maaf. Setelahnya dia pergi untuk bergabung dengan teman-teman yang bersiap pulang.
"Nay, jangan lupa, nanti malem ya. Syukuran di rumahnya Faiz. Aku jemput jam tujuh, acara mulai jam delapan." Yuli menahan lengan temannya yang bersiap lari saat melihat seseorang melambai di depan gerbang. Dia menoleh, "jam tujuh? Oke. Baju bebas, kan?"
Yuli mengangguk lalu menatap punggung Nayna yang berlarian kecil ke arah gerbang.
Nayna memasang helm di kepala, lalu duduk di belakang laki-laki dengan jaket kebanggaannya.
"Siap, Nona? Pegangan dong," ucap pria itu sambil melirik ke arah spion.
"Siap! Let's go! ... eh iya, Yah. Beliin es krim ya." Dia melingkarkan lengannya di pinggang sang ayah yang mulai melajukan sepeda motornya, menembus jalanan yang tetap padat di siang hari.
Rahmat tersenyum senang menatap spion, melihat putri semata wayangnya aktif bercerita, meski dia sendiri tak sepenuhnya mendengar.
"Ya nggak, Yah?" Nayna menepuk perut ayahnya, membuat Rahmat spontan menjawab, "hah? Apa?"
Nayna menghela napas, lalu mengusap perut ayahnya yang buncit sambil tertawa. Hingga tak terasa mereka sudah sampai di rumah.
***
Azan maghrib terdengar dari musala terdekat. Rahmat dan Siti bersiap jamaah, tak lupa mengajak serta buah hatinya. "Ayo, Nak. Selagi belum iqamah," ajak Siti setelah membuka pintu kamar Nayna. Tanpa menunggu lama, gadis itu segera beranjak, mengikuti kedua orang tuanya.
Sepulang dari musala, Nayna mendapati Yuli tengah duduk bermain ponsel di beranda rumah.
"Bentar ya, aku ganti dulu," ucap gadis itu sambil berlalu masuk, meninggalkan Yuli yang kini berbincang dengan ayah dan ibunya.
"Ayah, Ibu, Nayna pergi dulu ya, ada acara syukuran di tempat temen." Nayna mencium punggung tangan orang tuanya, lalu melirik sang ayah sambil memberi kode dengan ibu jari dan telunjuk.
"Sarangbeoo!" Rahmat menaikkan kedua lengan membentuk hati di atas kepala, sambil menggoyangkan pinggulnya.
"Ish, duit, Yah. Fulus, bukan saranghae. Kecentilan deh." Nayna menggerutu kesal. Lalu pergi dengan wajah cerah setelah mendapat apa yang diharapkan.
Di rumah Faiz, sudah banyak yang berkumpul dari teman sekelasnya. Dia mengedarkan pandangan mencari seseorang, lalu tersenyum senang saat melihat seorang pemuda dengan kemeja hitam dipadu celana berwarna abu-abu, memberi kesan elegan namun tetap misterius di matanya.
Satu per satu acara terlewati sudah. Kini mereka tengah menikmati hidangan yang telah disediakan tuan rumah. Nayna mengikuti Aksa yang keluar menuju halaman seorang diri.
Dia melihat Aksara tengah duduk diam di sebuah bangku, menghadap kolam ikan kecil di dekat pohon mangga. Nayna berdehem pelan, lalu duduk di samping pria itu yang melirik sekilas ke arahnya.
"Hai, Aksa. Habis ini, kamu mau lanjut ke mana?"
Hening tak ada balasan, sementara Nayna tak putus asa, dia menghadap Aksara yang masih menatap lurus ke depan.
Duh, kenapa malah disko ni jantung?
Ayo, Nay. Kamu pasti bisa. Selagi ada kesempatan, jangan sampai lolos lagi.
Nayna mengangguk pelan, lalu membuka suara.
"Aksa, boleh aku ngomong?"
Tetap hening, hanya gemericik air yang terdengar syahdu di telinga. Gadis itu kembali berkata, "maaf sebelumnya, aku mau jujur sama kamu. Aksa, aku ... aku, a-aku suka sama kamu. Ya, aku udah lama suka sama kamu, bahkan dari awal kita ketemu di hari pertama masuk kelas tujuh. Mungkin kesannya gimana gitu, cewek nembak duluan, tapi aku mau kamu tahu perasaanku dan ... aku harap, kamu mau jadi pacarku."
Nayna menghela napas pelan, menunggu jawaban dari pujaan hati. Dia tersenyum saat Aksara mulai mengubah posisi menghadap dirinya.
"Aku nggak suka kamu, nggak pernah suka cewek sepertimu, dulu, sekarang bahkan selamanya."
Dingin, namun menusuk. Membuat Nayna terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan, berlari ke luar gerbang untuk pulang.
Kata demi kata yang dia dengar, terasa terus menghujani hatinya dengan ribuan jarum juga sayatan belati. Nayna menahan air mata sampai dirinya tiba di rumah, dia membayar ojek lalu berlari masuk.
Rahmat yang melihat Nayna datang, segera menahan dan melihat sepasang mata dengan tanggul yang siap jebol.
"Nak, kamu kenapa? Ada apa?" Rahmat membawa putrinya masuk ke dalam pelukan, detik itu juga, Nayna tak lagi mampu menahan tangis. Dia semakin terisak saat sang ayah mengusap lembut kepalanya.
"Nak, apa pun yang membuat hatimu sakit di luar sana, Ayah akan tetap ada di sini, untuk terus menjadi tempatmu pulang. Sudah, jangan nangis, anak Ayah kuat, anak Ayah perempuan hebat, tangguh dan sabar. Udah ya, sayang air matanya, nanti abis lho," bujuk Rahmat masih dengan gerakan membelai kepala sang anak.
Setelah tenang, Nayna pamit masuk kamar, lalu melanjutkan tangisnya di sana. Rasa sakit itu menjalar tanpa permisi. Membuat gadis itu memukul tempat tidurnya dengan batin yang terus menjerit. Dia menarik selembar foto dari bawah bantal, mengamatinya lalu meremas potret itu dengan rasa kesal.
"Ak-sa-ra. Semoga harimu baik-baik saja dan ... menyenangkan," lirihnya sembari tersenyum getir.
***