Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 Tidak tahu kenapa
Tidak tahu kenapa, langkah kaki Nuha berhenti di mana suara keakraban itu terdengar paling jelas. Ia melihat Naru duduk santai dengan kaki menyilang, tangan menaut di lutut. Wajahnya tenang. Terlalu tenang, sampai rasanya Nuha ingin tahu.
Naru bahkan menceritakan kencannya bersama Nuha sambil membawa Hana. Tentu saja Sifa merespon dengan positif, "Kalian udah serasi banget. Calon keluarga kecil yang bahagia."
Gadis itu pun tertawa sambil mengoles lotion, “Wangi banget!" Suara khas Sifa. "Nih liat deh, kulit gue jadi halus banget. Apa gue udah seharum Nuha?” katanya.
Naru cuma tertawa kecil. Tapi, Sifa seperti biasa, selalu akrab banget dengan siapapun. Dia memang ratunya si 'Social Butterfly' Yaitu, seseorang yang bisa dengan mudah menyesuaikan diri dan menyenangkan dalam berbagai situasi sosial.
Terlalu akrab. Hingga dada Nuha sesak.
Lucu ya? Aku bahkan nggak tahu harus marah, sedih, atau apa. Aku cuma berdiri di sana, lihat suamiku akrab sama sahabatku sendiri dan rasanya... retak, retak perlahan-lahan.
Dengan tangan yang hanya bisa meremas rok. Panas. Dingin. Bingung. Rasanya seperti mau bilang sesuatu tapi tenggorokan ini terasa membeku. Dan sialnya, aku nyaris nggak punya tenaga. Aku cuma… melihat.
Nuha?” Naru menyadari kehadiran istrinya.
Sifa sontak menoleh. “Nuha? Mana?”
Saat Naru berdiri, langkah Nuha justru mundur satu tapak. Gerakan kecil itu cukup untuk membuat pria itu terdiam. Ia tahu, penolakan itu terasa jelas, sekalipun tanpa kata.
Sari berseru, “Nara?! Ada apa? Ayo cepetan!!” nadanya mendesak Nuha untuk menyusul.
“Ah! Iya…” sahut Nuha cepat.
Sekilas ia menatap Naru dan Sifa sekali lagi. Tatapan yang singkat, tapi cukup untuk menyimpan ribuan perasaan. Lalu kembali mengekor Kanaya yang sudah lebih dulu menuju ruang ICU.
Lorong itu tiba-tiba dipenuhi suara sepatu yang tergesa. “Kakek! Kakek!” jerit Kanaya di depan pintu yang tertutup rapat. Suaranya bergetar dan panik, nyaris tak bisa dibedakan antara tangis dan teriakan.
Nuha hanya menatap tanpa kata. Rautnya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang nanar. Ia ingin menenangkan, tapi tubuhnya kaku, seperti kehilangan akses untuk menunjukkan empati.
Sari yang biasanya kasar dan ceplas-ceplos, justru mendekat lebih dulu. Ia menepuk pundak Kanaya pelan. “Tenang, Kay. Kakek lo pasti kuat.”
Di balik ketenangan itu, Nuha menunduk. Dalam diam, ia berbisik dalam hati, "Andai aku juga bisa segampang itu menunjukkan kepedulian..."
Pintu ICU terbuka sedikit. Seorang dokter paruh baya keluar dengan ekspresi serius, diikuti dua perawat yang mendorong alat medis.
Dokter mengatakan, “Kondisi beliau masih kritis. Kami sudah berusaha menstabilkan tekanan darahnya, tapi jantungnya sempat melemah. Untuk sekarang, hanya satu orang yang boleh masuk. Tolong jangan lama-lama.”
Saat ia meminta hanya anggota keluarga saja yang boleh masuk, Nuha tiba-tiba maju penuh permohonan. Sari sempat mencegahnya tapi Nuha tetap tak bergeming. Tatapannya lurus pada sang dokter, penuh tekad meski wajahnya pucat. “Izinkan saya ikut masuk, Dok. Tolong…”
Dokter sempat terdiam, menimbang. Lalu ia memandang Kanaya. “Apakah tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Kanaya menatap Nuha. Ada ragu, ada haru. Tapi di balik matanya, ia tahu Nuha punya alasan yang tulus. Ia pun mengangguk.
“Baik. Tapi hanya sebentar,” kata Dokter.
Nuha menunduk, “Terima kasih, Dok.”
Nuha berdiri di seberangnya, menatap adegan itu dalam diam. Memperhatikan Kanaya menunduk, menempelkan punggung tangan sang kakek di keningnya. Gerakannya lembut, seperti anak kecil yang takut kehilangan pelukan terakhir. Bibirnya terus bergetar, menggumam doa yang tak henti, penuh ketakutan dan cinta.
“Kakek… kakek kenapa?” suara Kanaya pecah di antara isak. “Kenapa bisa masuk rumah sakit? Jangan tinggalin Kaya, kek… Kaya cuma punya kakek.”
Suara monitor detak jantung terdengar nyaring di ruangan. Setiap 'beep' seolah menampar dada Nuha, seolah mengingatkan betapa tipisnya batas antara hidup dan tiada. Suara itu menakutkan… karena jika berhenti, berarti segalanya berakhir.
Nuha menunduk, menggenggam jemarinya sendiri. Bukannya tak tahu rasanya kehilangan, ia pernah melewati malam-malam di sisi ayahnya yang terbaring lemah karena menunggu kematian.
‘Kenapa Kanaya masih bisa menggumamkan perasaannya sejujur itu?’ pikir Nuha lirih. Ada rasa iri, ada rasa kagum. “Tuhan…” batinnya bergetar. “Tolong selamatkan kakek Kanaya.”
Lalu, samar-samar, ia mendengar gumaman dari balik masker oksigen. “Naya… Inaya… putri kesayangan Romo… Romo kangen…”
Nuha refleks menoleh, “Kanaya, kakekmu--” Tapi suaranya tertahan. Kanaya tak mendengar, larut dalam tangis.
Tanpa sadar, Nuha mendekat. Ia ikut menggenggam tangan satunya, yang dingin dan lemah. “Nuha yakin, kakek pasti baik-baik saja,” bisiknya pelan.
Detik itu, mata sang kakek terbuka perlahan. Pandangannya samar, tapi tatapannya terhenti pada wajah Nuha. Ada getar halus di ujung bibirnya. “Inaya…” suaranya parau, tapi lembut. “Itukah kamu?”
Nuha terpaku.
Jantungnya berdentum kencang.
Entah kenapa terasa begitu akrab bagi sang kakek, seolah sentuhan tangan itu pernah ada di masa yang jauh. "Inaya..." rintihannya mulai tinggi.
“Kakek?” Kanaya berseru panik, mengangkat wajah. “Kakek sadar?” Belum sempat siapa pun menenangkan keadaan, dia langsung memanggil-manggil dokter.
Nuha melangkah mundur menuju pintu keluar. “Gimana keadaan Kakek Darmawan?” tanya Sifa, suaranya lembut dan penuh empati.
Ada sedikit rasa iri di dada Nuha setiap kali melihat orang sehangat itu. Mungkin bukan iri pada Sifa-nya, tapi pada dirinya sendiri. Kenapa ia tak bisa semudah itu mengekspresikan diri. Namun, rasa itu segera pudar ketika suara yang familiar memanggilnya.
“Nara, kamu baik-baik aja?” suara Naru membuat langkahnya terhenti sesaat. Nuha berpaling, sempat mencium harum Naru yang sama dengan Sifa karena lotionnya.
Pandangannya lalu jatuh pada Kanaya yang masih berdiri di dekat pintu ICU. “Kana, aku pulang dulu ya,” ujarnya pelan, berusaha terdengar tenang.
Kanaya menatapnya penuh rasa bersalah. “Maaf, Nara, udah bikin kamu harus ikut sampai sejauh ini." Nuha menggeleng sambil tersenyum. "Makasih ya, udah mau nemenin aku,” kata Kanaya lembut.
Sari berdecih pelan, “Cih, drama banget.”
Nuha tak membalas. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah pergi.
“Nara, tunggu.” Naru meraih pergelangan tangannya. Sekejap pandangan mengarah pada Nuha. Sifa, Kanaya dan juga Sari, pun tatapan serius dari suaminya. Udara seolah menegang. Nuha tak nyaman, jemarinya perlahan melepaskan genggaman itu. “Maaf…” bisiknya pelan.
“Nara!”
Sifa menahan pundak Naru, menggeleng pelan. “Biarkan dia. Aku tahu dia pengin sendiri.”
“Gue nggak bisa. Gue harus nyusul dia.”
“Itulah kenapa dia membenci lo, Naru!” tegas Sifa. Tapi kemudian nadanya turun, "Biarkan dia."
"Gue harus ada untuk dia!"
"Lo diem di sini dan gue yang susul dia."
Sementara itu, Nuha sudah keluar dari area rumah sakit. Langit senja membias di atasnya, tapi hatinya gelap. Sebagian dirinya berharap Naru menyusul. Tapi yang datang justru perasaan yang lebih dalam. Rasa tak pantas, iri, dan rendah diri.
Ia menggigit bibir.
"Seharusnya aku bisa lebih seperti mereka."
“Diam,” gumamnya pada pikirannya sendiri. Tapi suara itu tak berhenti, "Apa aku udah cukup baik seperti mereka?"
“Diam!” bentaknya pelan, hampir seperti menolak bagian dirinya sendiri. “Kenapa sih aku nggak bisa jadi diri sendiri? Selalu aja ngerasa kurang, ngerasa aneh, ngerasa nggak cukup.”
“Diam!” ia menunduk, langkahnya makin cepat. “Aku cuma pengin pulang.” Tapi langkah itu malah membawanya ke tepi trotoar. Ia tak sadar jalannya menuruni zebra cross tanpa menoleh kanan kiri.
Suara klakson menjerit.
“WOI! LIAT JALAN!”
Ciiitttt!
Jantung Nuha nyaris berhenti.
Ban motor sport berdecit keras hanya beberapa sentimeter dari lututnya. Nuha terperanjat, tubuhnya kaku. Angin dari laju motor yang nyaris menabrak membuat rambutnya beterbangan.
“Ma-- maaf…” Nuha tergagap, melangkah mundur dengan wajah pucat.
“Makanya hati-hati! Mau mati, lo?!” bentak si pengendara motor. Tapi begitu matanya lebih jelas menangkap wajah wanita muda itu, ekspresinya berubah seketika. “Dek… Nuha?”
Ia buru-buru melepas helmnya, lalu menepikan motor dengan canggung. “Dek, kamu nggak apa-apa?” suaranya kini lebih lembut.
Nuha hanya diam. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan luka. Bukan karena hampir tertabrak, melainkan karena hatinya sudah lebih dulu tertusuk oleh sesuatu yang jauh lebih menyakitkan.
“Maaf, aku nggak sengaja. Kamu beneran nggak apa-apa?” tanya Wisnu lagi, cemas.
Nuha menunduk, lalu berjalan cepat tanpa menoleh. “Dek! Tunggu dulu!” panggil Wisnu, tapi langkah Nuha justru makin cepat, seolah ingin kabur dari segalanya.
“Hish…” Wisnu mengacak rambutnya frustasi. “Itu cewek susahnya minta ampun!”
Dari arah belakang, suara mobil berhenti di sisi trotoar tempat Nuha terus berjalan. Jendela terbuka perlahan. “Nuha? Kenapa jalan sendiri?”
Suara lembut itu membuat Nuha menoleh.
“Bunda?”
“Ayo sini, masuk sayang.”
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊