Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Disuruh Ibu
...Kadang kalau lagi banyak pikiran, pengen banget bagi-bagi ke orang yang nggak punya pikiran....
...(Cantya Lova, S.T. RONG])...
...🌻🌻🌻...
"Ko, mulai hari ini resmi sudah aku jadi Pejabat alias pengangguran Jawa Barat. Tapi pengangguran bukan sembarang pengangguran. Aku pengangguran berduit. Mas Kudis transfer gede, katanya bonus. Bisa jadi itu suntikan agar aku bisa kerjakan tugas dengan baik kan, Ko. Sstt, jangan sampai bocor rahasiaku ini. Misi ini cuma tiga orang yang tahu, tambah kau jadi empat orang. Eh, salah. Tiga orang, satu hewan." Tya mengelus jengger si Joko yang yang lehernya langsung keluar dari sela jeruji kandang begitu ia datang.
"Cie, yang nggak tantrum. Aku tahu kau jadi anak manis biar segera dapat sarapan. Baiklah, mumpung quotes pas bangun tidur tadi bikin orang-orang ketawa, sarapanmu akan dimajuin enam menit lebih awal. Kau peregangan aja dulu sambil nunggu bubur matang ya. Bye."
Tya berkutat di dapur dengan panci butut untuk membuat bubur dedak atau bekatul dengan cara digodok campur daun pecah beling. Komposisi yang mengandung karbohidrat, serat, vitamin B kompleks, dan mineral. Jika ada sisa makanan dapur, itu akan menjadi jatah makan siang si Joko. Sambil menunggu bubur dingin, Tya menengok kamarnya. Nesha yang semalam tidur dengannya, terlihat menggeliat sambil menguap. Ia menjatuhkan badan di samping keponakannya itu.
Nesha memiringkan badan, mencolok hidung tantenya dengan telunjuk. "Aku mau beli bonekanya dianter sama Bunda, sama Tante."
Tya menjauhkan wajahnya sambil tertawa dan menggosok-gosok hidungnya yang menjadi gatal campur geli. Semua orang satu rumah memang punya keabsurdan beda-beda.
"Bangun tidur tuh pipis dulu bukannya bahas boneka." Tya beralih menggelitik ketiak Nesha hingga keponakannya itu tertawa menjerit. Sejak semalam Diaz pulang, Nesha begitu tidak sabar berharap segera pagi karna ingin membeli boneka beruang besar melebihi tingginya.
Hanya dengan cara dituntun, Nesha mau turun dari kasur. Tya mengantar sang keponakan ke kamar mandi. Setelah itu, waktunya mengantar sarapan bubur bekatul untuk si Joko.
Jika Nesha antusias memburu orang tuanya yang baru pulang dari pasar, Tya membawa ponselnya yang berdering menuju kamar. Setelah mengunci pintu demi keamanan, ia menerima telepon dari Ibu Suri dengan berucap salam.
"Tya, lagi sibuk tidak?"
"Dua menit yang lalu iya sibuk sekarang udah santai. Ada yang bisa aku bantu, Bu?"
"Ada. Ibu mau bahas project kita. Ya...anggap saja ini rundown. Begini...namanya mau besanan, biasanya kan saling berkunjung dulu. Dari pihak Diaz kan udah, sekarang giliran keluarga Tya yang datang ke rumah Ibu. Mau kapan? Tapi saran dari Ibu sih besok. Mumpung ayahnya Diaz masih ada di rumah."
"Oh, harus ya, Bu?"
"Ingat pesan Ibu, Tya. Segala sesuatunya harus terlihat natural. Ibu sama Diaz juga lagi upayakan merayu si ayah agar jangan dulu ada pertemuan dengan keluarga istri keduanya. Nanti aja setelah kalian nikah. Menjaga kemungkinan si Boby sama adiknya gagalin rencana nikah kalian. Di depan ayahnya mereka pintar cari muka, di belakang selalu berupaya menjegal Diaz karna iri."
Tya membuka mulutnya. Dari penjelasan Ibu Suri, dirinya mulai mengukur medan perang yang akan jadi gelanggangnya kelak. "Bisa-bisa mereka nyari tahu tentang aku ya, Bu. Terus bikin teror gitu ya."
"Itu dia yang ingin Ibu hindari. Tapi Tya jangan khawatir dan takut ya. Mereka hanya bertindak rese aja, tidak sampai mengancam nyawa. Diaz juga bertanggung jawab lindungi kau, nak. Jangan khawatir pokoknya. Balik lagi bahas yang tadi. Apa bisa besok kalian ke rumah Ibu? Nanti ada pegawai dari Geranium yang akan antar jemput."
"Aku mau bicarakan dulu dengan Kak Bisma ya, Bu. Nanti aku kabarin Ibu lagi."
"Oke. Ditunggu gak pake lama. Ibu sudahi dulu ya, Tya."
"Iya, Ibu."
Tya membuka pintu kamar. Bergabung ikut sarapan dengan kedua kakaknya dan Nesha yang sudah duduk di kursi makan.
"Kak, barusan Bu Suri telepon. Katanya giliran kita yang silaturahmi ke rumahnya. Besok bisa tidak? Kalau bisa, nanti ada mobil yang akan antar jemput." Tya membuka plastik berisi nasi lengko miliknya dengan hati-hati. Semuanya makan menu yang sama, nasi lengko dari pasar.
"Kakak tadinya mau bahas itu, eh keduluan. Emang iya harus saling silaturahmi. Kita harus tahu dimana Diaz tinggal. Bilangin aja besok kita siap datang."
"Oke, Kak. Abis makan aku chat Bu Suri. Hari ini kan aku sama Mbak Susan mau jalan-jalan nganter yang pengen beli boneka nih. Sekalian beli apa buat buah tangan besok ya?" Tya menatap Bisma dan Susan bergantian.
"Apa ya. Bingung juga kalau ngasih ke horang kaya. Ada ide, Yah?" Susan melimpahkan lagi pada Bisma.
"Mending ngasih kue buatan Bunda. Jadi ciri khas home made. Gimana, Tya?"
"Asal jangan si Joko yang diopor, aku sih yes. Bestie aku dia mah."
Nesha cekikikan. Susan tertawa paling keras mendengar jawaban Tya.
***
Tya mengira yang datang menjemput di jam sembilan ini adalah pegawai biasa, ternyata manajer Geranium Cafe. Ia sudah kenal dengan Mike karena dikenalkan oleh Diaz saat kali kedua menyambangi cafe. Laki-laki itu datang pukul sembilan.
Sejak menyanggupi bisa ke Jakarta hari Minggu, Tya hanya berkomunikasi dengan Ibu Suri, tidak dengan Diaz. Tak masalah baginya, memang ibunya Diaz dalangnya.
Perjalanan Minggu pagi menuju Jakarta dilalui dengan lancar. Sesuai yang pernah Diaz katakan sebagai awal perkenalan bahwa dia tinggal di Kemang. Siapa yang tidak tahu Kemang. Kawasan elit di Jakarta Selatan yang terkenal dengan harga properti yang tinggi, hunian mewah, dan fasilitas lengkap untuk kalangan menengah ke atas, termasuk banyak ekspatriat dan selebritas.
Tya menatap bangunan rumah bercat putih dari dalam mobil yang perlahan memasuki gerbang yang terbuka otomatis. Bukan takjub dengan bangunan rumah dua lantai bergaya klasik dengan dua pilar besar berdiri kokoh menopang balkon atas. Tetapi tatapannya meraba sangat dalam pada penghuninya—istri pertama dalam sangkar emas tapi batinnya menderita. Ia teringat pertemuan pertama dengan Ibu Suri di bukit bantaran sungai. Betapa tatapan wanita yang awet muda itu muram dan kelam.
"Tya, ayo turun!" Colekan Susan di bahunya membuat Tya mengerjap. Segera membuka pintu sebelah kiri.
Wah, pangeran Diaz turun dari teras. Sweet yang bikin geli ini sih.
Berbeda dengan hatinya yang tertawa, bibir Tya justru mengulas senyum manis menyambut Diaz yang berjalan mendekati mobil. Waktunya mulai akting bukan?
"Kena macet nggak, Kak?" Diaz menyapa Bisma.
"Alhamdulillah, nggak. Ramai lancar aja."
Diaz mengangguk. Ia memimpin langkah setelah mengajak semuanya masuk. Ayah dan ibunya sudah menunggu di ruang tamu.
"Senang sekali keluarga Tya silaturahmi ke sini." Suri menunjukkan sukacitanya dengan memeluk hangat Susan dan Tya.
"Bu, maaf aku cuma bawa ini. Kue home made buatan Mbak Susan yang selalu laris manis di pasaran." Tya menyerahkan goodie bag motif batik yang ditentengnya sejak dari luar.
"Wah, home made ya. Saya suka. Jadi Mbak Susan suka bikin kue-kue ini di jual kemana aja?" Suri menatap penuh selera begitu membuka dus kue pertama dari dua kotak yang ada di dalam kantong.
"Dititipkan di dua toko kue, Bu. Sama melayani pesanan di komunitas wisata kuliner Bekasi."
"Harus punya toko kue sendiri ini sih. Enak ini rasanya. Yah, cobain nih. Enak lho." Suri mengulurkan dus kue yang sedang dipegangnya sambil menggigit lagi kue pukis di tangan kanannya. Hilman tertarik dengan kue sus, mengambil satu.
Obrolan santai mengalir dengan suguhan yang tersaji di meja. Setelah membahas tentang makanan buatan Susan yang memang enak, tema percakapan mulai masuk membahas tentang pernikahan. Secara garis besar bahwa pernikahan akan diurus oleh wedding organizer dengan tema intimate wedding.
"Mumpung kita kumpul, saya sengaja undang tailor butik ke rumah. Nanti akan datang satu jam lagi. Kita semua akan fitting baju. Abis ini kita yang jadi orang tua tinggal duduk santai nunggu hari H aja. Paling yang sibuk Diaz sama Tya belanja buat mahar dan hantaran," ujar Suri yang punya tanggung jawab besar akan suksesnya rencana pernikahan ini, sebagai pintu gerbang menuju misi yang ingin dicapai.
"Aku serahin sama Mas Diaz aja belanja untuk mahar dan hantaran. Aku sedikasihnya aja, Bu." Sahut Tya.
"Nggak, Tya. Kita belanja bareng. Aku pengen apa yang dibeli memang yang kau sukai." Diaz mendebat dengan tegas. "Kak, aku pinjam Tya dulu ya, mau ngobrol di belakang buat rencana belanja." Sambungnya dengan menatap pada Bisma.
Bisma mengangguk. "Iya, Diaz."
Tya mengikuti ajakan Diaz yang berdiri lebih dulu. Melangkah bersisian hingga tiba di teras belakang. Air kolam renang berwarna biru tersorot sinar matahari, menjadi pemandangan yang menyegarkan mata.
"Mas Diaz, serius kita memisahkan diri gini buat bahas belanja?" tanya Tya dengan suara pelan. Takut ada orang yang mendengar padahal di keliling tidak ada orang lain.
"Disuruh Ibu. Katanya saat ngobrol udah lama, kita harus memisahkan diri seolah mau bahas belanjaan," sahut Diaz dengan enteng.
"Benar kan, udah kuduga. Kau beneran wayang tanpa nyawa." Tya mencibir.
"Mati dong."
"Iya. Mati rasa dan mati akal. Sudah jangan dibahas lagi nanti Mas Diaz stres. Kalau nggak ada yang akan dibahas, boleh aku main Hp? Mau balas-balas chat aja."
"Nggak boleh. Kita bahas soal belanja."
"Lah..."
"Kau mau mahar apa? Ini bukan disuruh Ibu. Murni dari nurani yang nggak mati seperti pikirmu itu." Diaz mengerling dengan wajah masam.
"Dududu...anak Ibu ngambek nih. Jangan cemberut gitu nanti gantengnya berkurang. Cenyum atuh cenyuummm." Tya mengedipkan sambil memiringkan wajah dengan bibir mengukir senyum manis.
Diaz memang betul-betul kesal telah diledek. Tapi kelakuan Tya membuatnya seketika berubah tak bisa menahan senyum. Lebih dari itu. Ingin cium.
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣