Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pintu butik menutup di belakang mereka dengan suara klik pelan. Senja memantulkan cahaya ke permukaan mobil hitam mengilap yang terparkir di depan, dan udara dingin mulai turun bersama bayang-bayang panjang bangunan kota.Lyora melangkah pelan di belakang Apollo, langkahnya kecil, hampir tak terdengar. Ia masih menunduk, kedua tangannya menggenggam erat ujung mantel.
Apollo, yang berjalan beberapa langkah lebih dulu, tiba-tiba berhenti. Lyora hampir menabrak punggungnya. Lelaki itu tidak menoleh. Hanya bahunya yang tampak naik turun pelan, seperti ia sedang menahan sesuatu yang berat.
“Apollo ?” lirih Lyora, hampir berbisik.
Tanpa peringatan, Apollo berbalik dan menarik Lyora mendekat. Tangannya yang besar mencengkeram sisi leher Lyora, bukan mencekik, tapi cukup kuat untuk membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. Ibu jarinya menekan lembut titik di bawah rahang, membuat Lyora mendongak. Perempuan itu terkejut, tubuhnya menegang, tapi ia tidak melawan. Tidak kali ini.
Tatapan Apollo turun ke cincin di tangan Lyora—cincin pernikahan yang tampak terlalu kecil dan terlalu tenang untuk hubungan mereka yang tidak pernah tenang.
“Dengar, kau bisa memakai gaun pertunangan itu, di hari acara bodoh itu di laksanakan. Tapi aku , jangan harap aku mau memakai cincin yang akan mengikat kita pada hubungan konyol itu .”
Suara Apollo nyaris serak, bukan karena ragu, tapi karena terlalu banyak yang ingin ia katakan namun ia kubur.
Lyora menahan napas. Ia tidak bertanya kenapa. Tidak menuntut. Ia hanya melihat mata Apollo, yang anehnya… tampak seperti menyimpan luka yang tidak ia akui.
“Aku tidak ingin ada orang berpikir aku milik seseorang.” Rahangnya menegang saat kata itu jatuh, pahit. Menariknya, genggamannya di leher Lyora justru menguat sedikit, seolah kata-katanya berlawanan dengan tindakannya sendiri.
Lyora tidak membalas. Mata birunya turun sebentar, lalu kembali menatap Apollo.“…Baik,” bisiknya. “Kau tidak perlu memakainya.”
Jawaban itu terlalu mudah. Terlalu cepat.
Dan entah kenapa, justru membuat dada Apollo terasa panas, entah marah, entah sakit.“Kau tidak punya apa pun untuk dikatakan?” Apollo mendesis. “Tidak ada protes? Tidak ada apa pun?”
Lyora menggeleng pelan, gerakan kecil karena lehernya masih dalam genggaman Apollo.
“Aku tidak pernah memaksamu sejak awal.”
Keheningan turun.Tegang. Terlalu sunyi di antara bising kota. Apollo memandangnya lama, seolah mencoba membaca sesuatu yang selalu gagal ia pahami dari Lyora ,sikap menerima, menyerah, atau terluka.Dan untuk sesuatu yang tidak ia mengerti, itu membuat nya marah.
Ia menurunkan tangannya dari leher Lyora dengan keras tapi tidak menyakitkan, lalu berbalik menuju pintu mobil.“Masuk,” katanya datar.
Lyora menunduk, menyentuh lehernya yang masih terasa hangat oleh bekas genggaman Apollo, lalu mengikuti dari belakang.Saat ia membuka pintu dan hendak masuk, Lyora sempat melihat refleksi Apollo di kaca jendela.Tatapan lelaki itu tidak dingin seperti biasanya.
Justru… tampak seperti seseorang yang baru saja mengatakan sesuatu yang ia sesali, tapi terlalu keras kepala untuk menariknya kembali.
**** Beberapa hari setelahnya****
Malam itu, mansion Dragunov berubah menjadi istana cahaya.Lampu kristal bertahta di langit-langit aula utama, memantulkan kilau emas ke lantai marmer yang mengkilap. Para tamu berdandan mewah, musik klasik mengalir lembut dari ensemble kecil di sudut ruangan, dan aroma champagne memenuhi udara.
Namun di balik pintu ruang tunggu lantai dua, badai baru saja meletus.Lyora berdiri di tengah ruangan, gaun biru savir dengan renda keperakan melekat sempurna di tubuhnya. Ia tampak rapuh, tampak cantik, namun seperti berdiri di tepi pecahan kaca.
Apollo berdiri menghadap jendela, kedua tangan di saku jasnya. Bahunya kaku. Rahang nya keras.“Tolong katakan padaku apa yang salah,” suara Lyora bergetar.
Apollo menoleh perlahan.Tatapannya gelap, bukan sekadar marah,tapi campuran frustasi, letih, dan sesuatu yang Lyora tidak pernah bisa tebak.
“Apa yang salah?” Apollo mengulang. “Semuanya, Lyora. Semuanya terasa salah.”
Lyora menunduk. “Kalau aku membuatmu—”
“Tidak,” Apollo memotong dingin. “Ini bukan soal kau membuatku apa. Ini soal, aku tidak menginginkan semua ini terjadi seperti ini.”
Kata-katanya menusuk, tapi Lyora hanya menggenggam ujung gaunnya lebih erat.
“Tetap saja kita harus ke bawah,” Lyora berkata lirih. “Acara sudah mau dimulai.”
Apollo menghembuskan napas tajam.
“Ya. Karena bagi semua orang ini pertunangan impian. Dan bagi kita…”
Ia tertawa hambar. “…ini hanya panggung.”
“Aku tidak mengerti kenapa kita harus melakukan ini,” desis Apollo. Nada suaranya tajam. Lyora menunduk, memegang gaunnya.
“Ini permintaan keluarga. Dan aku pikir ini hal baik.”
“Hal baik?” Apollo tertawa pendek, geli sekaligus muak.“Tadi kau terlihat seperti ingin menghilang. Sekarang kau sebut ini hal baik?”
Lyora menggigit bibir, lalu menjawab pelan, “Aku hanya tidak ingin mempermalukanmu.”
Kata-kata itu menghentikan Apollo.
Ia mendekat, tatapannya turun ke wajah Lyora.“Kau membuatku lebih marah ketika kau berkata begitu.”
Lyora mengerjap, bingung. “Aku hanya—”
“Aku tidak suka ditenangkan dengan kalimat seperti itu,” bisik Apollo, terlalu dekat. “Seolah aku ini sesuatu yang lemah .”
Lyora tidak sempat menjawab.Ketukan di pintu terdengar, memaksa mereka berhenti.
“Tuan Axel , Nona Lyora ?. tamu sudah menunggu,” panggil seseorang dari luar.
Apollo menatap Lyora sekali lagi dingin, tapi ada sisa emosi yang tidak ia akui.
“Ayo,” katanya. “Kita selesaikan sandiwara ini.”
Lampu Aula utama meredup perlahan.
Pembawa acara naik ke podium, mengumum kan momen yang dinanti semua orang, tukar cincin pertunangan keluarga Dragunov.Tepuk tangan riuh memenuhi aula.
Apollo dan Lyora berjalan turun menyusuri tangga marmer bersama, senyum tipis terpasang di wajah keduanya, senyum palsu yang tidak diketahui siapapun.
Di depan semua orang, Apollo berdiri tegap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi.
Namun tangannya sedikit gemetar saat cincin disodorkan padanya.
“Silakan, Apollo,” kata pembawa acara ramah.
Apollo mengambil tangan Lyora dengan dingin dan kecil di dalam genggamannya , lalu memasangkan cincin itu ke jarinya.
Gerakannya lembut, terkontrol.Untuk sedetik, Lyora mendongak menatapnya. Mencari sesuatu di matanya.
Tapi Apollo hanya menatap lurus, dingin.Lyora mengambil cincin pria itu.Dan begitu jari Apollo ada di antara jemarinya…Kalimat itu kembali terngiang.Ucapan Apollo beberapa hari lalu: “Aku tidak akan memakainya.”
Lyora menahan napas.Ia hampir ragu, hampir menarik tangannya kembali. Namun Apollo tidak bergerak.Tidak menarik tangan.Tidak menolak.Justru matanya menatapnya lama, tenang, kosong, seperti pasrah pada sebuah ironi yang menyakitkan.
Dengan hati-hati, Lyora menyarungkan cincin itu ke jari Apollo. Tepuk tangan meledak di seluruh ruangan.Musik romantis mengalun.
Para tamu bersorak, kamera-kamera ponsel mengarah pada mereka.Semua orang melihat kebahagiaan.
Kecuali mereka berdua.Di tengah riuh tepuk tangan, di momen ketika semua orang masih sibuk memotret…Lyora melirik Apollo diam-diam.
Dan ia melihatnya. Apollo menurunkan tangannya,menunduk sedikit.Lalu, dengan gerakan tenang dan tanpa suara, pria itu menarik cincin itu keluar dari jarinya.Hampir tidak tampak bagi siapa pun kecuali Lyora yang berdiri di sampingnya.
Ia memutar cincin itu sebentar di antara jari-jarinya, seolah mencoba merasakan beratnya.Lalu… memasukkannya ke dalam saku celana jasnya.Tidak ada raut bersalah.
Tidak ada ragu.Hanya ketenangan yang terlalu dingin untuk malam seindah ini.
Lyora menahan sesaknya napas. Di tengah sorak-sorai, ia tersenyum tipis sesuai tuntutan kamera, tetapi mata Lyora berkaca -kaca. Karena hanya dia satu-satunya orang di ruangan itu yang tahu bahwa pria di samping nya tidak pernah benar-benar menerima ikatan itu.
eh ko gue apal ya 😭