Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 22 — Pertemuan Rahasia
Suasana pagi di kantor Vibe Media terasa berbeda bagi Emma.
Langkah kakinya terdengar terlalu jelas di lorong menuju ruang Liam.
Jantungnya berdetak cepat, tapi wajahnya berusaha tenang — meski di dalam, pikirannya penuh bayangan tentang semalam.
Ia mengetuk pintu.
“Masuk,” suara Liam datar, khasnya.
Begitu pintu terbuka, Emma langsung merasakan hawa ruangan itu: terlalu rapi, terlalu sepi, dan terlalu dingin.
Liam duduk di balik meja besar, memandangi layar laptop.
Tanpa menatap Emma, ia berkata,
“Duduk.”
Emma duduk perlahan.
Liam menutup laptopnya.
“Kau tahu kenapa aku panggil kamu?”
Emma menelan ludah. “Karena laporan Boston, Pak?”
“Sebagian.”
Liam menatapnya, mata abu-abunya tajam.
“Aku dapat laporan bahwa kamu dan Ryan terlihat terlalu… dekat.”
Nafas Emma tercekat.
“Dekat, Pak?”
“Ya.”
Nada Liam tenang, tapi ada bahaya di baliknya.
“Aku tak peduli kehidupan pribadi karyawan, Emma. Tapi kalau hubungan pribadi itu mengganggu profesionalitas—”
“Tidak, Pak,” potong Emma cepat. “Kami hanya rekan kerja.”
Liam memiringkan kepala, matanya menyipit.
“Rekan kerja yang makan malam bersama di Boston? Yang berjalan berdua malam-malam?”
Emma membeku.
Ia baru sadar — seseorang mengawasi.
“Siapa yang bilang begitu?” tanyanya pelan.
“Bukan penting siapa,” jawab Liam dingin. “Yang penting bagaimana kamu akan menjelaskan ini kalau rumor itu sampai ke manajemen.”
Emma menatapnya tajam. “Tidak ada yang perlu dijelaskan karena tidak ada yang salah.”
Liam berdiri, melangkah pelan mengitari mejanya, lalu berhenti di belakang kursi Emma.
“Emma…” suaranya merendah, hampir seperti bisikan. “Kau tahu, aku sangat menghargai kerja kerasmu. Tapi jangan biarkan hal pribadi menghancurkan reputasimu sendiri.”
Emma menggenggam tangannya di pangkuan. “Saya tahu batas, Pak.”
Liam menunduk sedikit, berbisik di dekat telinganya,
“Kalau kau tahu batas, pastikan orang lain juga tahu.”
Ia berbalik, kembali duduk, ekspresinya tenang seolah tak terjadi apa-apa.
“Kau boleh pergi.”
Emma bangkit, menahan gemetar di tangannya. “Baik, Pak.”
Begitu keluar dari ruangan itu, ia menarik napas panjang — seperti seseorang yang baru saja selamat dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
---
Di ruangannya sendiri, Emma mencoba fokus, tapi pikirannya berputar cepat.
Siapa yang mengawasi mereka?
Bagaimana Liam tahu detailnya?
Dan kenapa nada suaranya terasa seperti peringatan… sekaligus ancaman?
---
Sore hari, Ryan muncul di ruangannya, menenteng dua cangkir kopi.
“Caffeine delivery,” katanya ceria.
Emma langsung berdiri. “Jangan di sini, Ryan.”
Ryan menatapnya bingung. “Kenapa? Ada yang salah?”
Emma menatap pintu, lalu menutupnya perlahan.
“Liam tahu tentang kita.”
Ryan terdiam. “Tahu… sejauh apa?”
“Cukup jauh. Dia tahu tentang Boston. Tentang malam itu.”
Ryan menatapnya serius. “Dia ngomong apa?”
Emma menunduk. “Dia memperingatkanku. Katanya, jangan biarkan hal pribadi menghancurkan reputasiku.”
Ryan mendengus. “Dia memang seniman ancaman halus.”
“Ryan…” Emma menatapnya cemas. “Aku nggak mau kamu kena masalah.”
Ryan menatapnya dalam. “Em, aku nggak takut kehilangan pekerjaan. Tapi aku takut kehilangan kamu lagi.”
“Jangan bilang begitu.”
“Kenapa? Karena kamu tahu itu benar?”
Emma menarik napas. “Aku cuma… butuh waktu berpikir.”
Ryan terdiam, lalu perlahan meletakkan kopi itu di mejanya.
“Aku ngerti. Tapi satu hal, Em — jangan biarkan dia menakut-nakuti kamu.”
Emma menatapnya pelan. “Dan jangan kamu bikin dia tambah curiga.”
Ryan tersenyum kecil. “Aku akan berhati-hati.”
Namun begitu Ryan keluar dari ruangan, ekspresinya berubah dingin.
Ia berjalan ke arah lift, menekan tombol ke lantai atas — lantai tempat Liam bekerja.
---
Beberapa menit kemudian, Ryan sudah berdiri di depan pintu kaca bertuliskan Liam Dawson – Creative Director.
Ia mengetuk.
“Masuk,” jawab suara Liam.
Ryan melangkah masuk, menutup pintu perlahan.
Liam mengangkat alis. “Ada apa, Ryan?”
Ryan berdiri tegak, suaranya tenang. “Saya cuma ingin memastikan sesuatu, Pak.”
Liam menyandarkan diri di kursinya. “Pastikan apa?”
Ryan menatapnya lurus. “Kalau yang Bapak pedulikan itu profesionalitas, bukan masalah pribadi.”
Liam tersenyum kecil, dingin. “Tentu saja. Profesionalitas selalu nomor satu.”
“Bagus,” kata Ryan. “Karena kalau Bapak mulai mencampuradukkan keduanya, kita akan punya masalah.”
Keheningan menggantung.
Tatapan mereka bertemu — tajam, menilai, penuh ketegangan yang tak diucapkan.
Liam mencondongkan tubuh. “Kau berani bicara begitu pada atasanmu?”
Ryan tersenyum tipis. “Kalau atasan saya mulai mengancam orang yang saya peduli, ya.”
Liam tertawa pelan, tapi matanya tidak ikut tertawa.
“Kau ini menarik, Ryan. Aku paham kenapa Emma bisa menyukaimu.”
Ryan tidak bergeming. “Saya nggak datang untuk penilaian pribadi, Pak.”
“Sayang sekali,” jawab Liam dingin. “Karena di dunia kerja, segalanya pribadi kalau menyangkut karier.”
Liam berdiri, berjalan mendekat.
“Dan kalau aku jadi kamu, aku akan berhati-hati. Vibe Media bukan tempat untuk hero romantis. Ini dunia nyata, bukan film indie.”
Ryan menatapnya datar. “Kalau dunia nyatanya sebusuk ini, aku lebih pilih jadi tokoh film, Pak.”
Liam terdiam sesaat — lalu tersenyum, dingin dan penuh makna.
“Baiklah. Kita lihat siapa yang bertahan lebih lama.”
Ryan berbalik tanpa menunggu izin, keluar dari ruangan itu.
Begitu pintu tertutup, Liam bersandar ke meja dan menghela napas panjang — tapi di matanya, ada sesuatu yang baru: obsesi.
---
Sore itu, Emma menatap layar laptopnya kosong, sementara pesan dari Ryan muncul di ponsel:
> Ryan: “Aku udah bicara sama dia.”
Emma: “APA?! Kenapa kamu lakukan itu?”
Ryan: “Karena aku nggak tahan lihat kamu diancam.”
Emma: “Ryan, itu bisa memperburuk semuanya!”
Ryan: “Kalau memperburuk artinya aku dipecat, nggak apa. Asal kamu nggak disakiti.”
Emma menutup matanya, frustrasi tapi juga… takut.
Takut kehilangan pekerjaan, tapi lebih takut lagi kehilangan seseorang yang begitu tulus — di dunia yang tidak lagi sederhana.
Di luar jendela, hujan turun perlahan.
Dan di lantai atas, Liam berdiri menatap kota New York dari balik kaca, menatap bayangan dirinya sendiri dan bergumam pelan,
> “Kalau aku nggak bisa punya dia… maka tak seorang pun bisa.”