Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Cahaya matahari pagi masuk perlahan melalui tirai putih kamar.
Helena membuka matanya pelan. Ia menoleh ke samping Karan masih tertidur pulas, napasnya teratur, wajahnya tampak jauh lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.
Helena tersenyum tipis. Ia menyibak rambut Karan sedikit, lalu berbisik tanpa suara:
“Aku janji akan terus menjagamu.”
Dengan hati-hati agar tidak membangunkannya, Helena bangkit dari tempat tidur.
Ia mengenakan hoodie abu-abu tipis dan berjalan keluar kamar.
Koridor rumah masih sepi. Hanya suara burung dari luar jendela yang terdengar.
Begitu Helena menuruni tangga, ia melihat Dion sudah berdiri di ruang tamu masih mengenakan pakaian penjagaannya sejak semalam.
“Pagi,” sapa Helena pelan.
Dion menoleh cepat, lalu mendekat dengan ekspresi serius.
“Pagi, Nyonya. Maaf mengganggu, tapi ada sesuatu.”
“Apa?”
“Ada seseorang mencurigakan berdiri di luar pagar tadi. Dia tidak bergerak, hanya berdiri sambil menatap rumah ini selama lima menit. Begitu saya mendekat, dia mundur… tapi tidak kabur.”
Helena langsung menegang.
“Dia masih di sekitar sini?”
“Sepertinya iya. Saya tidak bisa mengejarnya sendiri karena takut meninggalkan rumah kosong.”
Helena mengangguk cepat, matanya berubah tajam.
“Jangan bangunkan Karan.”
Dion mengangguk.
“Dion, jaga pintu belakang dan pantau CCTV. Aku akan ke pintu depan.”
Tanpa menunggu jawaban, Helena langsung bergerak cepat ke arah tangga.
Namun tiba-tiba…
—Braak!—
Suara benda jatuh terdengar dari atas.
Helena membeku.
Itu… dari kamar.
Mas!
Ia tidak berpikir dua kali. Dengan refleks, ia langsung berlari naik tangga secepat mungkin.
“NYONYA!” panggil Dion dari bawah.
Tapi Helena tidak berhenti.
Ia mendobrak pintu kamar dengan bahu.
“MAS!”
Karan sudah bangun, duduk di ranjang sambil setengah kaget melihat istrinya mendobrak pintu sambil terengah-engah.
“Hel? Ada apa—”
Helena langsung meraih lengan Karan dan mendorongnya ke lantai untuk berlindung di balik tempat tidur.
“Kau terluka lagi, Hel?” tanya Karan refleks.
“Diam!” bisik Helena tajam, menajamkan pendengarannya.
Langkah pelan terdengar dari luar jendela kamar.
Seseorang… sedang berdiri di atap teras luar.
Karan akhirnya sadar situasi.
Ia menoleh, dan melihat Helena sudah menarik pistol kecil yang ia sembunyikan di bawah meja rias.
“Mereka sudah datang?” tanya Karan dengan suara rendah.
Helena menarik napas dalam-dalam, matanya fokus penuh.
“Tidak peduli siapa mereka…” ia menoleh sebentar ke arah Karan.
“Aku tidak akan membiarkan siapapun mendekat padamu.”
Suara langkah di luar jendela belum sempat mendekat ketika tiba-tiba—
Zzzt—!
Karan memegangi bagian belakang lehernya sambil meringis keras.
“Ahh—!”
Tubuhnya mendadak kejang, urat-uratnya menegang seolah dialiri listrik.
“Mas?!”
Helena langsung berbalik, wajahnya panik. Ia tahu persis reaksi itu — chip di leher Karan baru saja aktif, menerima sinyal dari luar.
“Mas! Fokus ke aku!” Helena berusaha menopangnya.
Namun Karan semakin menjerit, tangannya mencengkeram seprai sampai robek.
“ARGHHH—!!! H-he—Hel…!!”
Helena menggigit bibirnya keras. Jika dibiarkan, chip itu akan merusak sistem saraf dan bisa membunuh Karan dalam hitungan menit.
Ia tidak punya pilihan.
Dengan cepat, Helena meraih suntikan kecil dari saku belakangnya — obat penenang konsentrasi tinggi khusus militer.
“Maafkan aku, Mas…”
Tanpa ragu lagi, ia menusukkan jarum itu ke bagian leher Karan.
Cklet.
Karan sempat menahan napas—lalu tubuhnya melemas seketika.
Helena menahan tubuh suaminya yang terkulai.
Air mata tipis jatuh di pipinya.
“Maaf, aku harus membuatmu tidak sadar, kalau tidak chip itu akan membunuhmu.”
Ia langsung bangkit dan berteriak ke luar pintu.
“DION!!”
Dion muncul secepat kilat dari bawah.
“NYONYA?! Apa yang terjadi?”
“Chip-nya aktif. Mas Karan harus segera dipindahkan ke bunker bawah tanah. Sekarang!”
Tanpa bertanya lebih lanjut, Dion mengangguk tegas dan mengangkat tubuh Karan ke pundaknya.
Helena memimpin jalan cepat ke arah perpustakaan di lantai bawah.
Di balik rak buku antik, Helena menekan tombol kecil tersembunyi.
BRRRRT—
Rak buku itu bergeser membuka lorong rahasia menuju tangga spiral menurun ke bawah tanah.
Dion membawa Karan turun. Helena mengikuti dari belakang, masih menahan amarah dan ketakutan.
Saat mereka tiba di bunker khusus perlindungan bio-elektronik, Helena memberi instruksi.
“Letakkan dia di kursi isolasi. Aktifkan penghalang sinyal elektromagnetik. Jangan sampai ada gelombang apapun masuk ke sini.”
Dion menekan beberapa tombol. Lampu biru kehijauan menyala mengelilingi ruangan—menciptakan perisai elektronik.
Helena mendekat ke arah suaminya yang masih tidak sadar.
Tangannya mengelus wajah Karan perlahan.
“Mas, tahan sedikit lagi. Aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.”
Dion berdiri di belakang Helena, masih waspada.
“Nyonya,” ucapnya pelan.
“Kalau sinyal chip sudah mulai diaktifkan… berarti mereka sudah mulai bergerak.”
Helena mengepalkan tangannya.
Ia menatap pintu bunker yang tebal dengan tatapan membara.
“Kalau mereka ingin perang, aku akan berikan perang.”
Karan masih tak sadarkan diri di kursi isolasi. Namun meskipun tubuhnya lemah, chip di lehernya masih bisa aktif kapan saja, dan jika ia sadar saat chip itu hidup, bisa jadi ia akan menyerang siapa pun di dekatnya tanpa sadar.
Helena memandang wajah suaminya yang tertidur dengan nafas berat.
“Maafkan aku lagi, Mas…”
Dengan hati yang berat, ia mengambil dua tali pengaman militer, lalu mengikat kedua tangan Karan ke sisi kursi logam.
Lalu menyusul kedua kaki Karan dan ia pastikan tidak terlalu keras hingga menyakitinya, tapi cukup kuat untuk menahan jika chip itu kembali aktif.
Terakhir Helena menggigit bibirnya. Ia mengambil balutan kain medis, lalu menutup mulut Karan rapat-rapat, mengikatkan simpul di belakang kepala agar ia tidak bisa menggigit atau berteriak saat tersadar.
Dion menatap dari jauh, ragu.
“Nyonya, apa ini perlu?”
Helena tidak menjawab. Ia hanya menatap Dion tajam.
“Kalau chip itu aktif lagi, dia bisa membunuhmu bahkan tanpa sadar. Jangan pernah buka ikatan itu sampai aku kembali. Mengerti?”
Dion mengangguk cepat.
Helena menarik napas panjang. Lalu melepas mantel tidurnya.
Ia berdiri di depan cermin logam di dinding bunker.
Luka di lengannya masih terbalut perban, namun matanya… menyala penuh tekad.
Dengan cepat, ia mengganti pakaiannya menjadi seragam taktis hitam. Rompi pelindung. Sarung tangan. Sepatu tempur.
Terakhir, ia mengambil senjata utamanya, pistol otomatis dengan peluru titanium serta pisau yang ia selipkan di pinggang.
“Dion.”
“Ya, Nyonya.”
“Jangan lepaskan Karan. Apa pun yang terjadi.”
“Baik.”
Helena berjalan ke pintu baja.
Sesaat sebelum membukanya, ia berbalik, menatap suaminya sekali lagi.
“Mas… bertahanlah. Aku akan kembali.”
BRAK.
Pintu bunker tertutup rapat.
Keheningan beberapa detik.
Lalu
DOR! DOR! DORRR!!!
Letusan senjata menggema dari atas.
Dion langsung meraih senjata cadangan yang tergantung di dinding. Napasnya memburu.
Bi Fia tiba-tiba muncul di tangga bunker dengan wajah pucat pasi.
“D-Dion, apa yang terjadi…?”
Dion menggenggam senjata lebih erat. Wajahnya penuh ketegangan.
“Mereka sudah datang.”
Bi Fia berdiri gemetar, lalu menggenggam tangan Dion kuat-kuat.
“T-Tolong… lindungi Tuan dan Nyonya…”
Dion menoleh sekilas, menatap wanita tua itu dengan tatapan serius namun lembut.
“Selama aku masih bernapas, tidak akan ada yang menyentuh mereka.”
Di atas sana… suara tembakan makin banyak.
Dan di tengah semua kekacauan itu…
Helena berdiri sendirian.
Menghadap puluhan bayangan bersenjata di balik kegelapan lorong rumah.
Ia mengangkat pistolnya.
Matanya dingin.
“Kalian boleh datang satu per satu atau semuanya sekaligus.”
“Tapi dengar baik-baik—”
“Selama aku masih hidup, tidak ada satu pun dari kalian yang akan menyentuh suamiku.”