NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:496
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22. Bayangan di balik tahta

Malam itu Samudra Jaya seperti tenggelam dalam bara yang tak kasat mata. Di kejauhan, nyala api di perbatasan barat tampak seperti lidah-lidah neraka yang menari di kaki langit, sementara di istana, bara lain sedang menyala—bara kecurigaan. Prabu Harjaya berdiri di beranda agung, menatap jauh ke arah barat. Angin membawa aroma asap dan debu peperangan. Hatinya bergemuruh, bukan hanya karena berita pengkhianatan, tapi karena satu nama yang terus berputar di kepalanya—Raden Raksa.

“Anak itu…” gumamnya perlahan, “selalu sulit dibaca, seperti bayangan yang tak pernah diam.” Di belakangnya, Mahapatih Nirmala Wisesa berdiri dalam diam. “Ampun Gusti,” ucapnya perlahan, “mungkin ada alasan di balik keputusan Raden Raksa. Beliau mungkin menunggu waktu untuk mengatur langkah besar.”

“Langkah besar?” sang Prabu menoleh tajam. “Atau langkah yang akan menjerumuskan Samudra Jaya?” Nada suaranya mengandung getir seorang ayah yang diselimuti keraguan. “Aku mengenal Arya—ia mungkin keras kepala, tapi hatinya bersih. Raksa…” suaranya terhenti sejenak, “Raksa selalu menyimpan sesuatu di balik senyumnya.” Mahapatih tak menjawab, hanya menunduk. Dari kejauhan, suara gong tanda peringatan perang terdengar samar. Tak lama kemudian, Panglima Aruna datang dengan langkah tegap. Ia memberi sembah.

“Gusti Prabu, penjagaan di istana sudah diperketat. Paviliun putra mahkota dan Raden Raksa kini dijaga dua lapis prajurit.”

“Bagus,” sahut Prabu Harjaya datar. “Namun aku ingin satu hal lagi—setiap pergerakan Raden Raksa harus dilaporkan langsung padaku. Tanpa terkecuali.”

“Sendika dawuh, Gusti.”

Setelah Aruna pamit, Mahapatih menatap raja dengan wajah prihatin. “Apakah paduka benar-benar mencurigai putra sendiri?” Raja tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang hitam, lalu berucap pelan, “Di dunia kekuasaan, bahkan darah sendiri bisa berubah warna.”

Sementara itu, di paviliun Raden Raksa, suasana seolah jauh dari hiruk pikuk perang. Lampu minyak menerangi ruangan dengan cahaya kuning temaram. Puspa duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam selendang halus yang tadi diberikan Raksa.

Namun pikirannya gelisah. Kata-kata Raksa masih terngiang di kepalanya—“Tunggulah, saat aku menaklukkan singgasana, kau yang akan menjadi permaisurinya.” Puspa tahu itu seharusnya membahagiakan, tapi hatinya justru dicekam rasa takut. Ada sesuatu dalam tatapan Raksa malam itu—bukan kasih, melainkan obsesi yang dingin dan berbahaya. Raksa berdiri di depan jendela, memandangi langit barat yang berpendar merah. “Sangkara,” panggilnya pelan. Dari balik tirai, Sangkara muncul dan memberi hormat. “Gusti.”

“Apakah orang-orang Parang Giri sudah menembus lembah selatan?”

“Sudah, Gusti. Tapi mereka menunggu tanda dari kita.”

Raksa tersenyum tipis. “Bagus. Biarkan mereka berpikir mereka punya sekutu di istana. Padahal, semua ini hanya permainan catur.”

Sangkara menunduk. “Lalu, bagaimana dengan Putri Dyah, Gusti? Beliau mulai mencurigai gerak-gerik kita.”

Raksa menatap jauh, matanya tajam. “Putri Dyah terlalu percaya pada cahaya, padahal terkadang kebenaran justru bersembunyi dalam gelap.” Ia melangkah pelan ke arah meja kayu jati dan membuka gulungan peta. “Kita akan bergerak sebelum fajar. Saat Arya sibuk di barat, aku ingin pasukan selatan mengambil alih gudang persenjataan istana.”

Sangkara tampak ragu. “Apakah itu tidak berisiko, Gusti?” Raksa menoleh, menatap anak buahnya dengan senyum tipis. “Setiap tahta dibangun dari risiko, Sangkara. Kau ingin selamat, atau ingin dikenang?” Puspa yang mendengarnya dari belakang tirai menutup mulutnya, berusaha menahan napas. Ia mulai menyadari—ini bukan lagi tentang perang melawan Parang Giri. Ini tentang perebutan kekuasaan di antara darah kerajaan itu sendiri.

Sementara itu para dayang yang sejak tadi tak bisa tidur juga memikirkan keadaan istana, bahkan Wulan terus saja mondar-mandir tengah memikirkan Puspa yang belum kembali dari paviliun Raden Raksa.

“Lan... kamu itu ngapa to dari tadi bolak-balik maju mundur kayak orang kesusahan,” ucap Laras, sambil memeluk lutut di atas tikar. Ia menatap Wulan yang tampak gelisah, langkahnya bolak-balik dari pintu ke jendela seolah tengah menunggu seseorang. Wulan berhenti, menatap ke luar jendela tempat samar-samar tampak bayangan paviliun Raden Raksa di kejauhan. “Aku Cuma... cemas, Ras. Puspa belum juga kembali sejak tadi mengantar jamu malam. Biasanya, meskipun disuruh menunggu, dia pasti sudah pulang sebelum malam larut begini.” Laras tersenyum kecil, bahkan tertawa pelan sambil menutup mulutnya. “Heh, kamu ini, Lan. Bisa jadi Puspa malah lagi dijaga sama Raden Raksa itu. Bukannya kamu juga tahu, tuan muda satu itu matanya nggak pernah lepas dari Puspa kalau mereka bertemu.”

Wulan menatapnya heran. “Kamu bicara apa, Ras?”

Laras mengedikkan bahu santai, masih dengan senyum menggoda di wajahnya. “Ya... aku Cuma bilang, Puspa itu gadis sederhana tapi manis. Raden Raksa mungkin diam-diam suka. Kalau begitu, mana mungkin dia mencelakai Puspa? Pasti dijaga dengan baik.” Namun bukannya ikut lega, wajah Wulan justru semakin tegang. “Justru itu yang membuatku takut, Ras. Di saat istana sedang kacau seperti ini, siapa yang bisa menjamin semua aman? Barusan saja aku dengar dari prajurit dapur, Raden Raksa tidak ikut ke perbatasan barat. Hanya Raden Arya yang memimpin barisan depan. Dan kini, kabarnya pasukan di sana diserang habis-habisan.” Laras terdiam, senyumnya perlahan menghilang. “Aku dengar kabar itu juga... katanya bahkan ada tanda-tanda pengkhianatan di pihak kita.”

Wulan mengangguk pelan, suaranya bergetar. “Iya. Kalau benar ada pengkhianat di antara prajurit kerajaan, itu berarti keadaan jauh lebih berbahaya dari yang kita kira. Dan kalau Raden Raksa tidak ikut ke medan perang... kenapa? Apa beliau sakit, atau... ada sesuatu yang disembunyikan?”

Laras menarik napas panjang. “Kamu terlalu banyak berpikir, Lan. Bisa jadi Raden Raksa hanya mendapat perintah lain dari Prabu Harjaya. Lagipula, urusan para bangsawan bukan urusan kita.”

“Tapi kalau Puspa belum juga kembali?” potong Wulan cepat, nadanya meninggi karena rasa cemas. “Dia bukan bangsawan, Ras. Dia sama seperti kita. Kalau terjadi apa-apa padanya, siapa yang mau tanggung jawab?” Laras menatap Wulan dengan iba, lalu bangkit mendekatinya. “Aku tahu kamu sayang sama Puspa, Lan. Tapi tenangkan dirimu dulu. Barangkali sebentar lagi dia pulang. Siapa tahu Raden Raksa hanya menahannya karena urusan dapur, atau karena beliau butuh bantuan tambahan malam ini.” Wulan menghela napas, matanya tetap menatap keluar jendela. Angin malam bertiup lembut, tapi hawa yang dibawanya terasa dingin menusuk. “Entahlah, Ras. Tapi malam ini... aku merasa ada yang tidak beres di istana ini.”

Laras ikut menatap ke luar. Paviliun Raden Raksa tampak gelap, hanya sesekali tampak cahaya obor dari penjaga yang melintas. Keheningan itu terasa mencekam, seolah menyimpan rahasia yang belum terungkap.

“Kita tunggu sebentar lagi, Lan,” ujar Laras lirih. “Kalau sampai fajar Puspa belum juga kembali, baru kita cari tahu.” Wulan mengangguk, meski hatinya masih diselimuti kegelisahan. Dalam diam, ia menggenggam jemarinya sendiri—berdoa agar Puspa baik-baik saja di mana pun dia berada. Sementara di kejauhan, bunyi kentongan malam terdengar menggema dari arah barat, membawa kabar samar tentang perang... dan mungkin, tentang pengkhianatan yang mulai menggerogoti istana Samudra Jaya.

Kabar Mengenai perbatasan barat yang sudah diserang musuh pun sudah sampai ditelingan para rakyat, mereka yang masih belum pulang dari warung tuak malam ini membicarakan keresahannya masing-masing bahkan ada yang berceletuk kalau beberapa prajurit mulai berkhianat.

“Iya...aku sudah dengar sendiri dan yang lebih mengejutkannya lagi hanya Raden Arya yang ke perbatasan barat,”

“Yang bener kamu man?” tanya Tarjo sambil menyeruput wedang jahenya.

“Bener ini, anaknya Parmi yang ngomong dia kan jadi prajurit istana,” jawab Parman lalu mencomot pisang goreng didepannya. Tarjo yang mendengarnya geleng-geleng kepala lalu kembali menyeruput wedang jahenya yang sudah mulai dingin.

“Biasanya Raden Raksa semangat banget lho kalau soal perang, dan gak ada satu pun yang meragukan kekuatan Raden Raksa dalam hal strategi maupun perang,” ucap Lik Warni yang baru saja bergabung.

“Betul Lik....dan kali ini cuman Raden Arya saja yang ke perbatasan, bukan raguin kekuatan Raden Arya tapi kalian tahu sendiri gimana Raden Arya,” ucap Tarjo

“Betul, Raden Arya memang pintar dalam hal diplomasi tapi kalau turun ke medan perang.......” Parman menggantungkan ucapannya sambil memikirkan sesuatu.

“Naaaah....itu dia yang aku maksud...”

“Sudah....sudah....yang penting kita berdoa saja supaya Samudra Jaya tetap jaya seperti namanya,” ucap mbok Tarmi menyela obrolan mereka. Semua yang ada di warung itu mengangguk setuju.

***

Di waktu yang sama, di medan Wringin Gede, Raden Arya berlumur debu dan darah. Pedangnya retak, tapi matanya masih menyala. Tumenggung Wiranegara datang tergesa, wajahnya tegang.

“Gusti! Pasukan kita mulai mundur, sayap kanan jebol!”

Arya menggertakkan gigi. “Jangan mundur! Bertahan sampai fajar! Kirimkan pesan pada istana—katakan pada ayahanda, kita belum kalah!” Namun di dalam hatinya, ia tahu ada yang tak beres. Gerakan musuh terlalu rapi, seolah mereka tahu strategi Samudra Jaya. Dan satu nama kembali muncul dalam pikirannya Raksa.

“Jika benar kau di balik semua ini, adikku…” gumamnya pelan sambil menatap langit yang memerah, “maka perang ini bukan lagi antara Samudra Jaya dan Parang Giri—tapi antara darah yang sama, yang kini saling meneteskan luka.”

“Kita harus menyusun strategi ulang Raden, selain itu sudah banyak pasukan kita yang gugur,” ucap Tumenggung Wiranegara yang juga sudah sangat kelelahan, cipratan darah musuh terdapat diseluruh tubuhnya. Raden Arya menatap ke sekeliling benar apa yang dikatakan Tumenggung Wiranegara, sudah banyak pasukannya yang gugur dan mereka harus mundur atau dia juga yang akan menjadi bagian pasukan yang tumbang itu.

Suara dentuman senjata mulai mereda perlahan, berganti dengan pekik nyaring burung malam yang melintas di atas langit Wringin Gede. Bau besi dan darah bercampur dalam udara lembab, menyelimuti setiap tarikan napas prajurit yang tersisa. Raden Arya menatap medan perang yang kini berantakan—tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak berserakan di tanah berlumpur. Sinar obor yang redup memantulkan wajah-wajah lelah, tapi semangat mereka belum padam.

“Wiranegara,” suara Raden Arya parau tapi tegas, “kita mundur ke pondok perbatasan. Tidak ada gunanya mati konyol di sini. Kumpulkan yang masih hidup.” Tumenggung Wiranegara menunduk dalam, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sendika dawuh, Gusti.” Ia lalu berteriak memberi aba-aba pada prajurit yang masih sanggup berdiri. Dari barisan yang semula ratusan, kini hanya puluhan yang tersisa, tubuh mereka penuh luka, tapi mata mereka masih menyala dengan tekad untuk bertahan. Mereka berjalan terseok-seok menuju pondok perbatasan, sebuah bangunan kayu kecil yang dulunya digunakan untuk menyimpan logistik perang. Raden Arya masuk lebih dulu, duduk di lantai tanah, menatap peta yang terbentang di atas meja kayu. Tangannya gemetar sedikit ketika menunjuk garis pertahanan yang kini telah runtuh.

“Sayap kanan jebol, tengah terdesak... tapi anehnya sayap kiri hampir tak diserang,” gumamnya lirih. “Seolah mereka tahu di mana titik lemahnya.” Tumenggung Wiranegara menatap Raden Arya lama, lalu menghela napas. “Aku juga memikirkannya, Gusti. Serangan mereka terlalu terarah, terlalu tepat. Seakan ada yang memberi tahu setiap gerakan kita.”

“Pengkhianatan,” potong Raden Arya pelan, tapi suaranya bergetar menahan emosi. “Dan aku tahu siapa yang paling diuntungkan jika aku gugur di sini.” Wiranegara menatap Arya tajam, tapi tak berani menjawab. Ia tahu arah kalimat itu, namun lebih memilih diam.

Beberapa prajurit masuk, membawa kendi air dan kain untuk menutup luka-luka. Suasana pondok itu begitu tegang. Hanya suara kayu berderit dan desah napas berat yang terdengar. Raden Arya menunduk, mencoba menyusun strategi baru, tapi pikirannya buntu. Ia bukan ahli siasat perang seperti Raden Raksa—adik tirinya, selama ini ia lebih banyak belajar etika istana dan pemerintahan.

“Tumenggung,” katanya lirih, “kita tak bisa bertahan lama dengan pasukan tersisa. Kirim seorang prajurit tercepat ke istana. Katakan pada ayahanda, kami butuh bala bantuan. Dan... katakan juga, aku akan bertahan di sini sampai utusan tiba.”

Tumenggung Wiranegara mengangguk. “Saya akan tugaskan Jagapati, dia paling cepat di antara kami.” Tak lama, seorang prajurit muda datang memberi hormat, tubuhnya berlumur debu tapi matanya tegas. “Hamba siap, Gusti.”

“Bawa surat ini,” kata Arya sambil menulis cepat di atas lembar kain kulit. Tinta darah di ujung jarinya menetes, tapi ia terus menulis. Setelah selesai, ia menggulung surat itu dan menyerahkannya. “Jangan berhenti sampai tiba di istana. Hanya serahkan pada ayahanda sendiri, Prabu Harjaya.”

Jagapati menunduk dalam. “Sendika dawuh.” Lalu ia berlari keluar, menembus malam yang dingin. Setelah prajurit itu pergi, Raden Arya memijat pelipisnya. “Wiranegara,” katanya lirih, “apakah menurutmu... ini bisa diselamatkan?”

Tumenggung itu terdiam sejenak sebelum menjawab, “Selama Gusti masih berdiri, semangat prajurit akan tetap hidup. Tapi saya khawatir, jika bala bantuan terlambat...” Arya menatapnya, mata yang dulu tenang kini penuh kepedihan. “Maka kita akan bertahan sampai hanya tinggal satu napas. Samudra Jaya tidak akan jatuh di tangan pengkhianat.”

Sunyi kembali menyelimuti pondok itu. Di luar, api unggun kecil menyala, menerangi wajah-wajah letih para prajurit yang mencoba beristirahat di bawah langit kelabu. Dari kejauhan, samar-samar terdengar gemuruh suara genderang musuh yang menandakan mereka bersiap untuk serangan berikutnya.

Raden Arya berdiri di ambang pintu, menatap arah utara di mana istana berdiri jauh di balik bukit. Dalam hati ia berdoa, semoga ayahandanya tidak terlambat mengirim bala bantuan, dan semoga... adiknya, Raden Raksa, benar-benar tidak terlibat dalam kekacauan ini. Namun entah kenapa, firasat buruk terus menggantung di dadanya — seperti bayangan hitam yang tak mau pergi, berbisik bahwa perang ini bukan hanya soal tahta dan tanah, tapi soal darah yang mulai saling menodai.

Suasana di halaman perbatasan barat Samudra Jaya masih terasa tegang malam itu. Sisa pasukan yang baru kembali dari pertempuran tengah membersihkan diri dan menambal perlengkapan mereka. Bau darah yang masih menempel di pakaian bercampur dengan aroma tanah basah sehabis hujan, menciptakan atmosfer yang berat dan suram. Beberapa prajurit duduk bersandar di dinding batu, sebagian lagi sibuk membetulkan bilah tombak yang patah atau memperbaiki pelindung kulit yang sobek. Namun di tengah hiruk pikuk itu, suara bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka. Dua prajurit muda, dengan tubuh masih berlumur debu, berbincang pelan sambil memastikan tak ada perwira yang mendengar.

“Seandainya Pangeran Raksa yang memimpin perang kali ini,” ujar salah satu, suaranya lirih tapi jelas. “Mungkin tidak sebanyak ini yang gugur.”

Temannya menatap ke sekeliling dengan gugup. “Hush, jangan sembarangan bicara! Kau tahu apa akibatnya kalau Raden Arya mendengar?”

“Tapi bukankah memang begitu kenyataannya?” desah prajurit itu, menatap langit yang mulai memancarkan sinar fajar dari ufuk timur. “Raden Arya memang gagah, tapi… terlalu lurus. Strateginya mudah ditebak. Musuh Parang Giri tahu setiap langkah kita. Kalau saja Raden Raksa yang mengatur siasatnya, mungkin keadaan akan berbeda. Katanya dia selalu memutar arah serangan, menipu lawan dengan tipu muslihatnya. Tidak sedikit musuh yang mundur hanya mendengar namanya.” Beberapa prajurit lain yang mendengar ikut mengangguk pelan, meski berusaha tidak menarik perhatian. Suara mereka kian banyak, seperti riak kecil di permukaan air yang perlahan membesar.

“Benar, waktu di perbatasan selatan dulu, Raden Raksa hanya menempatkan seratus orang tapi berhasil membuat ribuan pasukan lawan mundur. Padahal tanpa darah setetes pun tumpah,” ujar prajurit tua yang duduk sambil menajamkan pedangnya.

“Tapi sekarang, lihatlah,” sambung yang lain lirih, “banyak di antara kita yang tak kembali. Aku bahkan kehilangan adikku sendiri di lembah Kawi.” Tumenggung Wiranegara yang kebetulan lewat mendengar percakapan itu. Wajahnya seketika menegang, matanya menatap tajam ke arah para prajurit yang berbisik. Ia hendak melangkah maju, siap menegur keras karena ucapan mereka dianggap melunturkan semangat pasukan dan mencoreng nama pangeran yang baru saja memimpin mereka. Namun, sebelum ia sempat bersuara, Raden Arya yang berdiri tak jauh dari sana telah lebih dulu menghentikannya. Dengan gerakan pelan, sang pangeran menepuk lengan Tumenggung Wiranegara dan menggeleng kecil.

“Biarkan saja,” katanya dengan suara tenang namun mata yang sendu. “Apa yang mereka katakan… mungkin ada benarnya.”

Tumenggung Wiranegara menunduk hormat. “Tapi, Raden—”

“Tidak perlu,” potong Raden Arya lembut. Ia menatap para prajurit yang kini tampak panik dan menunduk ketakutan karena menyadari siapa yang mendengar ucapan mereka. “Kalian tidak salah,” lanjutnya. “Aku memang masih banyak belajar. Aku belum sebijak dan setajam Raden Raksa dalam membaca medan perang.” Sunyi menyelimuti halaman itu. Para prajurit tak berani bergerak. Beberapa menatap ke tanah, beberapa lainnya menggigit bibir mereka, menyesali kata-kata yang terucap.

Raden Arya menarik napas panjang. Dalam sorot matanya yang teduh, tersimpan campuran antara rasa kecewa dan tekad yang baru tumbuh. Ia tahu, perbandingan dengan adiknya itu tak terelakkan. Sejak kecil, Raden Raksa selalu dikenal licik namun cerdas, berani tapi penuh perhitungan. Sedangkan dirinya… lebih berhati-hati, lebih banyak menimbang daripada bertindak cepat. Dan kini, di mata para prajurit, kehati-hatiannya justru dianggap kelemahan.

“Prajurit Samudra Jaya,” ucap Raden Arya akhirnya, suaranya tegas namun lembut, “aku tidak marah atas apa yang kalian bicarakan. Tapi aku berjanji, aku akan belajar dari setiap kesalahan ini. Suatu hari nanti, kalian akan melihat sendiri bahwa aku pun mampu melindungi kalian dengan taktikku sendiri—tanpa harus menjadi bayangan Raden Raksa.” Kata-kata itu membuat beberapa prajurit menegakkan tubuhnya, menatap pangeran muda itu dengan mata yang mulai bergetar. Tumenggung Wiranegara hanya bisa terdiam, kagum melihat kebesaran hati Raden Arya yang tidak tersulut amarah. Fajar kian naik, memancarkan semburat dilangit timur. Udara pagi berhembus pelan, membawa aroma daun kering dan suara ayam yang mulai berkokok dari kejauhan. Dalam hati Raden Arya, bergemuruh tekad baru—ia akan membuktikan pada seluruh istana, bahkan pada dirinya sendiri, bahwa keberanian sejati bukan hanya soal darah dan pedang, tapi juga tentang kerendahan hati untuk belajar dari kekalahan.

Dan di antara bisik angin yang melintasi halaman, beberapa prajurit berlutut, memberi hormat dalam diam. Mereka tahu, mungkin inilah awal dari perubahan besar bagi pangeran yang selama ini mereka ragukan.

***

Sementara itu di istana, Putri Dyah sejak tadi malam tak bisa memejamkan mata. Ia berdiri di balkon paviliunnya, menatap nyala merah di barat dan mendengar sayup bunyi tabuh perang dari kejauhan. Dalam hatinya, ia tahu malam tadi menjadi awal dari kehancuran yang lebih besar.

“Samudra Jaya…” bisiknya lirih, “kau sedang terbakar, tapi api itu menyala dari dalam.”

Fajar merekah di ufuk timur, menyingkap kabut tipis yang menyelimuti medan Wringin Gede. Raden Arya berdiri tegak di antara prajurit yang tersisa, mata sembab menatap sisa-sisa pertempuran semalam. Tumenggung Wiranegara memberi aba-aba pada pasukan untuk bersiap kembali, sementara bisik-bisik para prajurit tentang keunggulan taktik Raden Raksa masih terdengar lirih di udara. Arya hanya menarik napas panjang, menahan segala perih yang bergejolak di dadanya. Ia tahu, pagi ini bukan akhir dari perang—melainkan awal dari tekad barunya untuk membuktikan diri, bahwa ia pun mampu memimpin Samudra Jaya tanpa bayang-bayang siapa pun.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!