NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Fantasi Isekai / Game
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Pertama

Part 6

"Hah! Hah! Hah!" Napasnya putus-putus setelah dikejar dan dihadang oleh makhluk seperti mayat hidup. Mereka berusaha menggapai serta menerkam. Seolah kondisi ini adalah mimpi buruk yang tiada akhir. Putus asa telah menguasai Mirai ketika semua makhluk yang entah dari mana datangnya berhamburan mengejarnya secara beringas dan ganas.

Berulang kali Mirai tersandung, terjungkal namun tetap berusaha bangkit dan terus lari tanpa berpaling ke belakang. Peluh telah membanjiri tubuhnya, namun cepat kering karena dinginnya malam. Walau begitu tubuhnya terasa panas akibat berlari ratusan meter. Dorongan adrenalin dan ketakutan luar biasa menjadi bahan bakar untuk tetap hidup. Ia berharap lekas terbangun dari mimpi, sebab ini sungguh melelahkan.

Dari kejauhan, Mirai menangkap cahaya berkelip dari sebuah gedung apartemen seakan mencoba menarik perhatiannya. Tidak mungkin para mayat hidup yang melakukannya. Apakah ada orang selain dirinya di sini? Apa pun itu Mirai tak memiliki banyak waktu untuk menimbang. Ia harus mencari tahu meski itu adalah sebuah kemustahilan sekalipun.

Setelah lima belas menit menyelinap di gang-gang gelap yang sunyi, barulah ia bisa berhenti. Tubuh dan kakinya gemetar hebat, apalagi paru-parunya serasa akan meledak karena kehabisan napas. Punggungnya sejenak tersandar dinding kusam sambil mengintip gedung yang kini cahaya kelipnya telah padam. Setidaknya ia semakin dekat ke arah sosok yang memancingnya. Ia benar-benar bersyukur karena mengenakan sandal jepit, bukannya sepatu high heels yang biasa dipakai di kantor, jadi suara larinya teredam cukup baik sehingga lolos dari pengejaran semua mayat hidup tadi.

Selanjutanya ia beringsut dalam gang temaram. Lampu berwarna kuning yang menjadi satu-satunya penerangan sesekali padam menambah keseraman. Gang sempit yang muat dilalui satu orang ini tampak kosong. Semoga saja tidak ada mayat hidup yang muncul lagi. Walau pikirannya dikuasai ketakutan, tetapi semangatnya untuk tetap hidup masih lebih besar.

Di tengah jalan tak disadarinya ada percabangan pada bagian sebelah kiri. Karena tidak melihat, Mirai melewatinya begitu saja bertepatan saat lampu padam. Hingga ketika lampu menyala lagi, tanpa diketahui Mirai, ada tangan yang hendak menggapainya dari belakang telah mencapai pundaknya. Tersentak dan tak teriak, tangan itu telah membekap kuat mulutnya, lalu menyeretnya ke belakang dalam percabangan yang gelap pekat.

Meski sudah berusaha memberontak sekuat tenaga yang tersisa, namun lengan kuat itu tak tergoyahkan,hingga terdengar suara bisikan, "sssts, jangan teriak. Nanti ketahuan."

Suara cowok!

Sontak mata Mirai membesar, lalu mengangguk cepat menuruti. Bekapan itu pun melonggar, seketika tubuhnya terasa lemas, namun lekas berbalik menghadap orang yang telah menangkapnya. Matanya yang telah menyesuaikan dalam kegelapan hanya sedikit melihat kontur wajahnya.

"Ternyata kamu ngerti apa yang aku omongin.”

"Ngerti," jawabnya sambil menarik napas dalam bersiap akan kemungkinan terburuk. Kalau-kalau pria ini tetiba menyerangnya.

Dalam gelap pria itu tersenyum, tentu Mirai tak bisa melihatnya. "Oke, itu bagus. Jadi kita ternyata masih satu negara."

Eh? Apa maksudnya? Jelas Mirai jadi bingung. Memangnya kami ada di mana?

"Sekarang kita cari tempat aman dulu."

Sempat ragu pada akhirnya Mirai mengangguk setuju. Setidaknya bersamanya jauh lebih baik dari pada sendirian.

Pria itu pun menuntunnya menuju jalan lain yang lebih aman. Jalan menuju arah sebaliknya dari cahaya yang berkelip tadi. Karenanya Mirai jadi penasaran.

"Cahaya lampu di gedung tinggi itu kamu yang bikin?" tanyanya dari belakang sambil memperhatikan punggung tegap yang tertutup tas ransel. Ia menerka dari suara dan perawakannya kalau pria itu masih muda. Mungkin lebih muda darinya.

"Iya, itu aku."

Alis Mirai berkerut. "Kita mau ke sana?" tanyanya bingung. Kalau pria ini berasal dari gedung itu, bukankah berarti itu tempat yang aman? Tapi kenapa malah pergi ke arah lain?

"Tempatnya udah gak aman. Soalnya cahaya yang aku bikin juga narik si monster gede." Sepertinya pria itu menangkap apa yang dipikirkan Mirai. "Kita cari tempat lain, ya," ucapnya lembut.

Entah mengapa nada bicaranya membuat Mirai merona sendiri. Ia jadi seperti anak kecil yang sedang ditenangkan, namun itu justru tidak membuatnya tersinggung. Dalam kondisi kelelahan dan ketakutan, hal semacam itulah yang paling dibutuhkannya. "Oh, gitu." Namun ada sesuatu hal yang terlintas dibenaknya. Eh, tunggu! Kok dia bisa tau soal keberadaan gue?Tiba-tiba muncul dibelakang gue. Apa dia penculiknya? Agak cemas ia mulai mengorek informasi. "Ka-kamu sendirian? Apa ada orang lain lagi?"

"Hm, sendiri. Baru ketemu kamu doang, sih."

"Te-terus kok bisa tau aku di mana?" Terdengar suara tawa kecil di depannya. Dahi Mirai jadi berkerut.

"Ya iyalah. Kamu teriaknya kenceng banget."

Sontak wajah Mirai memerah lagi. "Eh, gitu, yaaa. Maaf," sesalnya yang jadi teringat reaksi histeris berlebihannya. Tapi bagaimana lagi, dia benar-benar ketakutan.

"Kok minta maaf? Wajar kok. Kalau kamu gak teriak sekencang itu, kita gak akan ketemu," jawabnya lembut.

Deg. Lagi-lagi jantung Mirai berdebar hanya karena nada suaranya yang menenangkan seolah pria ini begitu piawai dalam mengendalikan hati wanita. Saat akan lanjut bicara, pria di depan sedikit berbalik, jari telunjuknya tampak menempel di bibir memberi isyarat untuk diam. Mirai pun terpaksa menyimpan jutaan pertanyaan yang sudah berhamburan di dalam kepala.

Sepanjang jalan beberapa kali pria itu mencoba membuka pintu belakang dari tiap gedung yang ada, namun terkunci. Hingga setelah melewati dua blok akhirnya ada satu pintu yang bisa terbuka. "Kamu tunggu sini. Aku cek dulu ke dalam," bisiknya pelan.

"Oke. Hati-hati," ingat Mirai cemas.

Tidak lama pria itu kembali, memberi isyarat pada Mirai untuk masuk—tanda bahwa tempat ini relatif aman. Begitu melangkah masuk, Mirai mendapati dirinya di sebuah toko sepatu yang sunyi dan agak berdebu, namun terasa jauh lebih nyaman daripada lorong gelap sebelumnya. Rak-rak kayu yang retak berjajar rapi, memajang sepatu dari berbagai ukuran, dari yang lusuh hingga yang tampak hampir baru. Cahaya lampu jalan dari luar menembus jendela kaca yang retak, menciptakan bayangan panjang di lantai keramik yang pecah, memberi ruangan nuansa dingin namun anehnya menenangkan.

Tidak ada seorang pun di sini—bahkan makhluk menjijikkan yang barusan mengejarnya tak tampak. Rasa lega perlahan merebak di dada Mirai.

Mereka lalu menuju ke ruang staff di bagian samping toko. Ruangan ini lebih sempit, tapi tampak cukup rapi untuk dijadikan tempat berteduh sementara. Pria itu menyalakan lampu di dalam ruang staff, memastikan cahaya tidak menembus ke area etalase di depan, tempat barang-barang dijajakan. Lampu itu memantulkan bayangan rak-rak dan kursi tua, memberi ruangan nuansa hangat sekaligus aman—sebuah oase kecil di tengah kekacauan luar sana.

Sepanjang gang gelap tadi membuat mata keduanya jadi terasa silau saat berada dalam ruang benderang. Begitu pemuda misterius itu berbalik menghadap Mirai yang sedang mengusap mata dengan sebelah jari telunjuknya, seketika dirinya terkesiap. Tubuhnya menjadi kaku dan wajahnya memerah seolah ia baru saja memergoki sesuatu yang terlalu indah.

Mirai yang baru menyesuaikan kontras cahaya di retinanya balas menatap pria di hadapannya. Kedua matanya membesar tak percaya. OMG! Cute banget!

"Ha-hai!" sapanya kikuk lalu berpaling seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang memanas.

Mirai agak kaget atas perubahan sikapnya yang awalnya bersikap tenang berubah jadi gugup. Meski begitu ia tahu apa yang menjadi penyebabnya. Maka dari itu ia juga jadi tertunduk canggung menahan senyum. "Ha-hai juga."

Suasana pun jatuh keheningan canggung. Seakan ruangan penuh cahaya itu malah menyempit, menyisakan dua orang yang disibukkan degup jantung masing-masing.. Hingga terdengar suara perut Mirai yang berbunyi meminta makan memecah kesunyian.

Grooook.

Mirai yang merah padam langsung memegangi perutnya. "Maaf! Maaf!" ucapnya malu. Astaga! Kenapa bunyi di waktu kek gini. Bikin malu aja. Hiks!

Pria itu pun tertawa kecil. "Haha. Gak papa. Aku yang minta maaf karena udah gak peka." Ia pun meletakkan tas ranselnya ke atas meja di tengah ruangan. Kemudian membukanya dan mengeluarkan sebungkus biskuit dan makanan kaleng yang dibawanya dari rumah Vincent. Ya, pemuda itu adalah Nero yang mendengar suara teriakan dari apartemen Vincent "Maaf, cuma ada ini," katanya sambil menyerahkan sebungkus biskuit kepada Mirai dan meletakkan sisanya di atas meja.

"Makasih." Saat melihat biskuit yang sudah berada di telapak tangan, air mata Mirai malah mengucur meratapi nasibnya. Kebaikan sederhana ini seolah mengguncang jiwanya akan nasib buruk yang baru dialaminya.

Nero jadi panik dan bingung. "Eh, kok nangis? Ku-kurang ya biskuitnya?"

Mirai menggeleng pelan. "Sebenernya ini di mana?" tanyanya lemas.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!