Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 – Melanjutkan Catatan
Wisnu tetap menulis, meski di sampingnya Rendi sudah mengoceh tanpa jeda. Ujung pensilnya menari di atas halaman, membentuk baris-baris kalimat dan juga goresan halus yang perlahan menjelma menjadi sketsa baru.
“Eh, apaan itu?!” seru Rendi sambil mendekat. “Wisnu, itu bukunya Nayla, bukan bukumu! Kamu coret-coret gitu aja? Kalau dia marah, aku nggak mau tahu, ya!”
Wisnu tidak menoleh. Ia hanya tersenyum kecil, menambahkan detail terakhir pada gambar itu.
Rendi menatap buku di depan Wisnu dengan dahi berkerut.
“Kenapa bangun-bangun malah gambar batu di tengah kolam sih? batu apa? Kok kayak familiar?”
Wisnu tidak langsung menjawab. Ia menatap sketsa itu lama, lalu meraih ponselnya.
“Sebentar, aku mau memastikan sesuatu,” gumamnya sambil memotret gambar di halaman tersebut.
Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. Nama di layar membuatnya langsung menegakkan badan.
“Selamat malam, Pak Wangsa. Maaf mengganggu waktunya,” ucap Wisnu sopan.
Dari seberang, terdengar suara dosen pembimbingnya.
“Ah, baik, Pak. Terkait foto yang saya kirimkan barusan... Bukankah itu tiga batu yang masih ada di kompleks Astana Gede Kawali?”
Wisnu mendengarkan dengan serius, tangannya tak henti mencatat sesuatu di buku catatan kecilnya.
“Jadi, selama ini batu itu diidentifikasi sebagai menhir?” tanyanya pelan.
Ia terdiam sejenak, lalu menatap ulang sketsa batu yang dia baru saja gambar di buku Nayla.
“Tapi… apakah sudah ada referensi data yang menyebut di bagian bawah batu itu terdapat guratan khusus Pak, semacam aksara?”
Beberapa detik hening. Suara dari seberang terdengar ragu.
“Belum ada, seingat saya. Tapi besok saya akan coba email tim survei di sana untuk memastikan.”
Wisnu menarik napas dalam dan mengangguk meski lawan bicaranya tak bisa melihat.
“Baik, Pak. Terima kasih banyak. Selamat beristirahat Pak Wangsa... sekali lagi maaf mengganggu waktunya”
Telepon terputus.
Rendi menatapnya lekat-lekat. “Woy, Wis… apa sih, jangan sok misterius gini.”
Wisnu tak menjawab. Ia hanya menatap gambar itu sekali lagi, lalu melirik Rendi sambil mengangkat alis nakal. “Misterius apa sih…” ujarnya pelan, kemudian membuat gerakan muach ke arah temannya.
Rendi langsung mundur dengan ekspresi jijik.
“Gila kamu ya?! Bikin merinding sebadan ih”
Wisnu tertawa, matanya masih menatap sketsa.
Rendi menatap Wisnu lekat-lekat, seolah menunggu penjelasan.
“Wis… beneran aku seret ke Medical Center lho...yuk....”
Wisnu memberi isyarat Rendi untuk duduk.
“Jadi gini, Ren. Saat aku menyentuh kalung Nayla… tiba-tiba mengantuk. Lalu bermimpi.”
Rendi langsung memelototinya. “Hah? Yang bener? Aku yang bawa berhari-hari aja nggak mimpi”
Wisnu terkekeh kecil. “Mungkin hanya yang terpilih.”
“Sialan kau!” Rendi mencibir sambil mendorong bahu Wisnu.
Tapi senyum Wisnu perlahan meredup. Ia menatap buku catatan yang masih terbuka di meja.
“Tapi serius, Ren… aku beneran nggak tahu kenapa. Cuma… mimpi itu terasa nyata. Aku lihat bagaimana Puspa datang ke Galuh. Rasanya seperti, mimpiku melengkapi mimpi Nayla.”
"Tapi… ini beneran kamu, kan? Bukan pingsan gara-gara sakit?” tanya Rendi, masih separuh khawatir.
“Nggak, Ren. Aku nggak sakit,” jawab Wisnu pelan, tapi senyumnya kembali mengembang. “Aku beneran ngerasa bareng Puspa. Cantik banget, sumpah.”
“Lah... Nayla ngerasa jadi Puspa, kamu ngerasa deket Puspa, jangan-jangan kalian disuruh pacaran sama semesta?” goda Rendi sambil nyengir.
“Hahaha! Mana ada, Ren. Aku kesengsem nya sama Puspa. Sekarang mana ada cewek kayak Puspa.” Jawab Wisnu, matanya masih menyimpan bayangan dari mimpinya.
“Belum ketemu Nayla aja kamu,” balas Rendi cepat.
“Hahaha. Kalau Nayla cantik, bukannya udah kamu kejar? Nggak ngejar adikku?” Wisnu menimpali dengan nada menggoda.
“Itu beda, kocak!” Rendi langsung menyeringai. “Dari kecil udah tetanggaan, deketnya kayak saudara, bukan roman-roman-an, Wis.”
Wisnu tak membalas.
“Jangan-jangan... kamu itu Wira keturunan?” Rendi mencoba menebak.
“Mana mungkin. Pangeran Wirabuana nggak punya garis keturunan, kan?” jawab Wisnu sambil tersenyum samar.
"Kalau reinkarnasi? Reinkarnasi nya Wira" Rendi masih menebak
"Kalau reinkarnasi harusnya aku udah inget dari kecil, ini gara-gara tidur sama kalung." protes Wisnu
Rendi menggaruk kepala. “Nggak adil dong..Kamu mimpi, aku nggak?”
“Mungkin…” Wisnu memandangi kalung di meja. “Kalung ini semacam... distorsi pikiran. Dia cuma ‘memutar lagu’ buat orang yang dia pilih. Kayak... nyanyiin apa yang dia simpan, ke orang yang mau mendengarnya.”
Rendi melotot. “Kau ini ngomong kayak profesor filsafat, muter muter!”
Wisnu tertawa. “Atau mungkin... aku memang sedang dengar cerita yang belum selesai.”
Rendi mendengus. “Ya udah, aku laporin aja ke Nayla kalau kamu mimpi aneh.”
“Tunggu, Ren.” Wisnu menahan tangan Rendi. “Sekali lagi aja... aku mau pastiin. Mungkin nanti malam, atau besok. Kalau aku tidur di dekat kalung ini, siapa tahu aku bisa mimpi lagi.”
Rendi langsung duduk kembali. “Lah, aku harus nungguin kamu mimpi? Tadi aja aku udah deg-degan takut kamu nggak bangun-bangun!”
Wisnu terkekeh pelan. “Tenang, Ren. Kalau Nayla bisa ngalamin, berarti mimpi itu cuma datang beberapa jam aja di dunia kita... tapi di sana rasanya kayak bertahun-tahun.”
Rendi terdiam, menatap sahabatnya dengan wajah antara takut dan penasaran. “Kamu sadar nggak, Wis... kalau ucapanmu barusan kedengeran kayak orang yang siap tersesat dua kali?”
Wisnu mengangkat bahunya, “Kalau untuk tahu kebenaran di balik semua ini... aku sih siap.”
Rendi menyilangkan tangan. “Gaya mu, Wis. Tahu kebenaran apa... kebelet ketemu Puspa, iya?”
Wisnu terkekeh. “Heh, iya sih. Tapi serius, Ren... lihat deh.”
Ia menunjuk sketsa di bukunya. “Batu ini, sama persis kayak yang di naskah penelitianku. Jadi siapa tahu, kalau aku bisa ‘balik’ ke sana lewat mimpi... aku bisa nemuin sesuatu yang berguna.”
Rendi bersiul. “Enak banget hidupmu. Tidur, mimpi, bangun-bangun jadi penemu.”
“Kerajaan Galuh sepenglihatan di mimpi, dibangun bukan dari bata merah atau batu andesit, Ren. Kayu megah, bahan alami. Kalau semua lapuk dimakan waktu, wajar nggak ada sisa jejaknya. Tapi... mungkin masih ada yang tertinggal, cerita, simbol, atau penanda.”
Nada suaranya merendah, matanya menatap jauh. “Dan mungkin aku bisa lihat itu lagi.”
Rendi memutar kursinya “Ya udah, aku tidur di dekat kamu aja nanti. Siapa tahu aku juga kebawa mimpi.”
Wisnu menoleh cepat. “Heh, jangan deket-deket, nanti malah dengkuranmu yang nyeret aku keluar dari mimpi.”
Rendi tertawa. “Aku bakal tidur kayaknya putri tidur...Jadi Kalau aku juga mimpi, nanti kita ketemuan di sana. Kau jadi pangeran, aku jadi pengawal gantengnya.”
Wisnu menghela nafas.
"Eh tapi, mana ada pengawal lebih ganteng dari pangerannya, ya kan?” Rendi menyombongkan diri sambil menepuk dadanya.
Wisnu melirik malas. “Ya, ya, yaaa... terserah kamu aja, Yang Mulia Pengawal.”
Rendi nyengir puas, “Tapi, Wis emang di mimpi kamu nggak bisa ngomong gitu, kalau kamu tuh dari tahun 2025?” tanyanya dengan nada penasaran,
Wisnu menggeleng pelan. “Nggak bisa. Rasanya... aku nggak sepenuhnya jadi ‘aku’. Lebih kayak... nempel di badan orang lain. Aku ngeliat semuanya dari sudut pandangnya, ngerasain apa yang dia rasain, tapi nggak bisa ngatur apa-apa.”
Rendi menatapnya serius. “Kayak nonton film, tapi kamu juga ikut kena emosinya, gitu?”
Wisnu mengangguk. “Iya. Bedanya, film itu bisa nangkep balik... seolah aku beneran ada di sana. Suaranya, baunya, bahkan udara panasnya. Semua terasa nyata.”
Rendi mendecak kagum. “Keren sih, tapi juga agak serem. Jangan-jangan kamu beneran diseret waktu mimpi.”
"Temenmu Nayla aja bisa berkali-kali mimpi tanpa terseret ke sana, Ren,” ujar Wisnu sambil menatap kalung yang kini sudah dimasukkan ke kotaknya.
Rendi menggaruk kepala, berpikir sejenak. “Iya juga sih…”
“Pokoknya, tolong janji jangan cerita ke Nayla dulu, ya,” lanjut Wisnu. “Aku baru sekali ngalamin ini. Takutnya belum valid, cuma efek sugesti aja.”
"Oke, tapi kalau kamu mimpi lagi dan nggak bangun-bangun, aku beneran lapor ke Nayla, titik.”
Wisnu menganguk. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, memandang kosong ke arah langit-langit kamar.
“Ren…” suaranya pelan. “Aku ngerasa kayak ninggalin seseorang yang penting banget.”
Rendi mengerutkan dahi. “Kaya ninggalin pacar gitu maksudmu?”
“Mungkin ya,” jawab Wisnu lirih. “Aku aja belum pernah pacaran. Dari dulu disuruh ngajarin Kenanga ini itu, eh dia malah marah-marah tiap aku deket sama cewek. Kamu sendiri pernah pacaran, Ren?”
Rendi mendengus. “Belum juga. Anak rantau, struggle sama orang tua dan kuliah, mana sempet mikir begituan.”
Keduanya terdiam beberapa saat.
Yang tersisa hanya bunyi kipas angin berputar, dan suasana kamar yang terasa terlalu tenang.
Wisnu mengusap pelipisnya perlahan. “Aneh ya, Ren… rasanya seperti… aku benar-benar kehilangan seseorang.”
Rendi menatapnya heran. “Kehilangan siapa?”
Wisnu tersenyum miris. “Aku nggak tahu…."
Tangannya refleks meraih kalung di kotak itu.
Ada sesuatu yang menggema di dalam dirinya.
Ia menutup mata pelan.
“Puspa…” bisiknya hampir tak terdengar.