Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Kopi Dingin dan Kepura-puraan di Ruang Publik
Setelah menghabiskan waktu di salon mewah yang letaknya tak jauh dari area meeting Sergio, Karin akhirnya bisa duduk di hadapan suaminya. Mereka berada di sudut kafe eksklusif di dalam Mall yang sama.
Karina melempar senyum manis yang dipoles, lalu berdesis kepada Davin, asisten Sergio. "Davin, terima kasih sudah mengurus suamiku. Sekarang, giliran Nyonya-nya, ya? Kamu istirahat saja. Ini waktunya kami, suami-istri, berduaan," ucapnya dengan nada bercanda yang mengandung perintah mutlak. Davin, yang sudah hafal dinamika pernikahan palsu ini, langsung mengangguk patuh dan menjauh.
Karin menyandarkan punggungnya ke kursi beludru, senyum manisnya langsung luntur digantikan raut wajah kesal. "Kenapa, sih, susah banget buat ketemu suami sendiri? Aku harus menghubungi lewat asistenmu dulu. Ribet banget, padahal status kita suami istri," desisnya.
Karin menyandarkan punggungnya ke kursi beludru, senyum manisnya langsung luntur digantikan raut wajah kesal. "Kenapa, sih, susah banget buat ketemu suami sendiri? Aku harus menghubungi lewat asistenmu dulu. Ribet banget, padahal status kita suami istri," desisnya.
Sergio tidak menjawab. Ia hanya mengangkat cangkir kopinya, menyesapnya dengan santai, mengabaikan keluhan Karin.
"Aku perlu bicara," ujar Karin.
"Bukannya dari tadi kamu sudah bicara?" balas Sergio datar, tanpa melihat Karin.
Karin menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Maksudku, ada yang agak rahasia. Aku kurang nyaman membicarakannya di tempat umum begini. Kamu tahu, semua orang mengenalku sebagai artis, mengenal kita berdua sebagai pasangan sempurna makanya dari tadi banyak mata yang memperhatikan kita."
Sergio menaruh cangkir kopinya dengan sedikit bunyi. Ia bangkit dari kursinya.
"Katanya ada hal penting?" jawab Sergio singkat, mulai berjalan menuju pintu keluar kafe.
Karin tersenyum puas. Sergio memang tidak pernah suka berdebat, dan itu adalah salah satu kelemahannya. Ia segera beranjak, dengan sigap menggandeng erat lengan Sergio.
Saat mereka berjalan menuju area parkir, keduanya terlihat seperti pasangan idaman. Karin menyandarkan kepalanya di bahu Sergio sesekali, dan Sergio membiarkannya. Di mata setiap pengunjung Mall, mereka adalah pasangan harmonis, panutan. Ponsel-ponsel diam-diam terangkat di setiap sudut, memotret momen kemesraan palsu itu untuk dijadikan santapan media sosial.
...----------------...
Mereka tiba di rumah pernikahan mereka, sebuah rumah yang terasa asing bagi Sergio. Setelah masuk, Karina langsung melepaskan gandengannya, sandiwara itu selesai.
"Aku sudah melakukan tes kesuburan," lapor Karin, langsung ke intinya. "Ibumu yang menyuruhku."
Sergio hanya mengangguk, berjalan menuju sofa. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpedulian yang mutlak. "Bagus."
Karin merasa terhina dengan respons dingin itu. "Kamu juga harus diperiksa," celetuknya, suaranya sedikit meninggi. "Masa aku doang? Itu nggak adil banget."
Tanpa perdebatan, tanpa perlawanan, Sergio menjawab. "Iya, ya sudah." Ia menoleh ke arah Karin. "Ada lagi yang mau kamu omongin? Kalau nggak ada, aku mau keluar. Aku masih ada urusan."
Wajah Karin langsung menunjukkan guratan kekecewaan. Bukan kekecewaan istri yang mencintai, tetapi istri yang merasa tidak dianggap.
"Kamu nggak bisa diam dulu di rumah?" tanya Karin, sedikit memohon. "Kita sudah lama nggak ke rumah ini. Kamu nggak mau istirahat sebentar?"
Sergio menggeleng. Nada suaranya kembali datar. "Aku terlalu sibuk."
Kemudian, Sergio meninggalkannya. Ia mengambil kunci mobil dan keluar dari rumah pengantin mereka, meninggalkan Karin sendirian di tengah kemewahan hampa. Karin berdiri di sana, menatap pintu yang tertutup. Ia baru saja kembali dari pertempuran publik, berjuang untuk reputasi Sergio dan keluarga mereka, tetapi suaminya bahkan tidak sudi menghabiskan lima menit di bawah atap yang sama.
Karin mengepalkan tangan. Kekesalan karena ditolak oleh Sergio bercampur dengan ketakutannya akan wanita polos yang Sergio temui di kapal. Karina tahu, ia harus segera menghubungi Ibunya. Mereka harus bergerak cepat. Sergio mungkin sudah resmi menjadi suaminya, tapi hatinya ... dan mungkin benihnya ... segera terancam jatuh ke tangan orang lain.