"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om Arsen?
Restoran itu terletak di pusat kota. Aroma steak panggang dan lilin aromaterapi bercampur, membuat udara terasa hangat, lembut, dan sedikit sentimental.
Luna melangkah pelan, menyibak ujung gaunnya yang jatuh anggun di bawah mata kaki. Arsen berjalan di sisinya dan pandangan yang entah kenapa terasa menenangkan malam itu.
Pelayan membungkuk hormat, lalu mempersilakan mereka menuju meja yang terletak di dekat jendela besar, menghadap langsung ke area taman dan air mancur buatan di luar dinding kaca itu.
“Silakan, Mrs. dan Mr. Arsen,” ucap pelayan dengan sopan, Arsen menarikkan kursi untuk Luna.
“Makasih, Pak.”
Tatapannya sempat menoleh ke arah Arsen, menelusuri wajah dingin yang malam itu justru tampak sedikit lembut, hampir tidak seperti dirinya.
Begitu duduk, Arsen hanya mengangguk kepada seorang pelayan. “Hidangkan sekarang.”
Luna mengerutkan kening kecil. Seperti biasa apa maksudnya?
“Bapak belum tanya aku mau pesan apa.” Matanya melebar, menatap suaminya bingung.
“Saya tahu.”
Ujung bibir Luna tertarik ke atas, padahal tinggal bilang saja kenapa, malah cuma jawab 'aku tahu' aneh. Itu menurut Luna.
Tak sampai dua puluh menit, meja mereka sudah dipenuhi makanan yang tampak begitu familiar bagi Luna, steak salmon dengan saus lemon, pasta aglio olio, salad buah, dan crème brûlée kesukaannya yang tampak masih mengepulkan aroma gula karamel.
Luna mematung sejenak, matanya beralih dari satu piring ke piring lain. Ada senyum kecil yang menetes di bibirnya. “Bapak inget semua makanan kesukaan aku, bukannya cuma dikasih buat hadiah aja? Kenapa sekarang kita makan ini?”
Arsen hanya meneguk air putihnya perlahan, tidak menjawab. Tapi dari caranya menatap, dari garis lembut di matanya, Luna tahu kalau pria itu mungkin malu untuk menyatakan sesuatu.
“Iya, Deh. Makasih, Pak Arsen.”
“Masih mau panggil Bapak?” sinis Arsen yang membuat Luna kembali berdecih.
“Iya, iya. Makasih, Mas.” Luna tidak memperdulikan ekspresi wajah Arsen karena yang dia lihat sekarang adalah semua makanan itu. Sumpah demi apa Luna sangat lapar.
Mereka makan dalam diam, hanya diselingi musik jazz lembut yang mengalun dari sudut ruangan. Sampai akhirnya, Luna menegakan tubuh dan tersenyum ke arah suaminya.
“Ternyata… aku bisa selega ini,” katanya tiba-tiba, dengan nada yang sangat pelan.
“Maksudmu?”
“Waktu itu, rasanya setiap kali mengingat dia, rasanya kayak aku pengen nangisss terus. Sakit tahu digituin, lagian juga dia yang ngajak nikah. Janji mau halalin aku, kalau dia tiba-tiba bilang udah nikah sama perempuan lain, kan bajingan.” Awalnya dia cemberut tapi kemudian tersenyum.
”Tapi sekarang, aku bisa bicara tentang dia tanpa terasa apa-apa. Mungkin ini yang disebut rela? Emang boleh secepat ini?”
Untuk beberapa saat semuanya menjadi sangat hening.
Arsen menatapnya lebih lama, lalu bibirnya terangkat kecil, dia tidak mengejek, tidak juga menertawakan. Hanya semacam ketenangan yang hangat.
“Kalau begitu, saya ikut lega,” ujarnya akhirnya.
“Kenapa?” Luna menoleh sambil sedikit tersenyum.
“Karena saya tak perlu bersaing dengan bayangan.”
Luna terdiam. Ucapan itu sederhana, tapi terasa menembus sesuatu di dalam dirinya. Wajahnya memerah lalu Ia tertawa kecil, mungkin karena gugup. “Pak Arsen bisa aja.”
Sibuk dengan senyum mereka masing-masing ... Keduanya tak sadar kalau ada yang memperhatikan dari jauh. Pria itu datang menghampiri meja mereka.
Dengan kemeja hitam rapi, wajah sedikit bingung tapi berusaha tersenyum sopan.
“Permisi, Pak. Barangnya sudah saya ambil,” katanya sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna navy yang tampak elegan.
“Barang apa?” Luna mengerutkan kening.
Akan tetapi , sebelum ia bertanya lebih lanjut, Arsen sudah berdiri.
Pria itu mengambil kotak dari tangan Danar dan tanpa aba-aba, tanpa jeda , ia berlutut di samping kursi Luna.
“Pak Arsen!” seru Luna kaget. Matanya melotot karena terkejut. Semua orang di sekitar mereka mulai melirik penasaran.
Tapi Arsen tidak peduli. Ia membuka kotak itu, dan di dalamnya bukan cincin tentu saja, melainkan sepasang sepatu flat berwarna krem lembut, tampak baru dan terlihat nyaman.
“Aku tahu kakimu sakit,” ujar Arsen tenang.
Luna menatapnya membeku. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Ini adalah kali pertama Luna mendapatkan perlakukan seperti ini, dan yang melakukannya bukan orang biasa, Arsen? Pria yang namanya diperhitungkan di dunia bisnis properti.
Wajah itu, mata fokusnya, kenapa Luna mulai merasa kalau Arsen lebih tampan dari Aditya?
Dengan sangat hati-hati, Arsen melepaskan heels-nya, jemarinya berhenti sesaat di pergelangan kaki Luna, sentuhan ringan yang entah kenapa membuat napas Luna bergetar. Teringat akan kejadian stoking di kantor waktu itu.
“Sudah,” katanya singkat, sebelum menatapnya lagi sambil sedikit tersenyum. Sontak saja tatapan dan senyum itu membuat jantung Luna berpacu tidak karuan.
Danar di belakang mereka sampai harus pura-pura menunduk, menahan diri agar tidak bersiul. Tapi akhirnya, ia tetap mengacungkan jempol diam-diam sambil berbisik.
“Gila, Pak, ini level perhatian yang lain sih….”
Sementara itu, Luna masih belum mampu bicara. Pipinya merah, jantungnya berdetak tak beraturan. Ia menatap Arsen yang kini kembali duduk, menatapnya dengan tatapan datar tapi dalam, seperti ingin memastikan sesuatu yang lebih dari sekadar kenyamanan fisik.
“Habiskan desert-nya!”
“I-iya, Pa-Mas ....” Perempuan itu menunduk sambil memejamkan mata. Bodoh sekali dia, kenapa hatinya murahan seperti ini?
** **
Sementara itu, di rumah utama keluarga Kusumawardhana, seorang gadis baru saja keluar dari mobilnya.
Padahal, sudah larut malam tapi dia tidak ragu untuk bertamu.
“Nenek ada, Mbak?” tanyanya pada asisten rumah tangga yang membuka pintu utama.
Perempuan itu mengangguk. “Ada di dalam, Non. Sepertinya baru akan istirahat.”
“Malam ini saya nginep sini ya, Mbak. Minta tolong beresin kamar saya.”
“Baik, Non.”
Setelah sampai di ruang keluarga, Zea tersenyum lebar. Perempuan itu langsung memekik dan berlari menghampiri seseorang.
“Nenek cantik!” pekiknya heboh.
Perempuan yang sudah tidak muda lagi itu menoleh, dia menatap Zea dari bawah sampai atas.
“Dari mana kamu, Ze? Tumben dandan kayak ondel-ondel begini?”
“Nenek ....” Gadis itu merengek. “Nek.” Ia langsung memeluk lengan neneknya. “Aku ada kabar buruk.”
“Ora ngurus, Nenek mau istirahat.”
“Ihhh, jangan dulu, ini tentang Om Arsen, Nek.”
“Arsen?”
Zea mengangguk dengan semangat empat lima. “Janji jangan pingsan? Kalau aku kasih tahu, rumah ini pasti akan langsung kebakaran.” Bibirnya menyunggingkan senyum menyeringai, sementara neneknya sudah memasang wajah penasaran sekaligus takut.
jadi maksudnya apa ya?????