Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25. Amarah Aldrich
25
Suara ombak yang biasanya menenangkan malam kini terasa seperti gema kemarahan di dada Aldrich. Ia berdiri mematung di depan jendela besar kamarnya, masih dengan napas terengah dan detak jantung yang tak kunjung tenang. Pemandangan beberapa jam lalu seolah terus berputar di kepalanya, saat selimut itu melorot, dan pandangannya bertemu dengan sesuatu yang tak seharusnya ia lihat.
Allen… bukan pria.
Aldrich memejamkan mata, menekan pelipisnya.
“Bagaimana mungkin?” gumamnya lirih, namun penuh tekanan. “Selama ini aku dikelabui oleh… oleh seorang gadis?”
Ia berjalan mondar-mandir, tak mampu menenangkan pikirannya. Rasanya tubuhnya masih bergetar, bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena perasaan aneh yang bercampur antara malu, marah, dan… sesuatu yang lain, sesuatu yang tak ingin ia akui.
Beberapa ketukan pelan terdengar di pintu.
“Mas Aldrich…” suara Allen terdengar dari luar, lembut, ragu. “Mas... Maafin aku, Mas.”
“Ngapain kamu minta maaf!” Suara itu keluar lebih tajam dari yang seharusnya.
Pintu terbuka perlahan. Allen melangkah masuk dengan langkah kecil dan gugup, kini sudah mengenakan kemeja longgar yang ia temukan di lemari tamu. Wajahnya masih pucat, mata menatap lantai, tidak berani menatap sang aktor besar yang kini menatapnya seperti hakim di ruang sidang.
“Berani sekali kamu menipu semua orang,” ucap Aldrich, nadanya dingin tapi nyaris bergetar. “Kamu pikir ini permainan?”
Allen menggigit bibir, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku gak bermaksud menipu, Mas. Aku cuma mau kerja dengan baik. Aku butuh kerjaan ini untuk bertahan hidup. Aku tahu kalo semua staf perempuan udah dipecat…”
“Dan kamu pikir dengan menyamar jadi pria itu bisa dibenarkan?” Aldrich mendengus keras, melangkah mendekat. “Aku mempercayaimu, Allen. Aku bahkan menganggapmu bagian dari tim yang bisa kuandalkan.”
Ia berhenti tepat di hadapan Allen.
Jarak mereka begitu dekat hingga napas keduanya bertemu. Aldrich menatap lekat, seperti berusaha membaca setiap inci wajah yang kini terlihat lebih lembut, lebih jujur, dan jauh dari sosok asisten kaku yang selama ini ia kenal.
Allen menunduk, menahan air mata. “Aku cuma ingin tetap di sini, Mas. Aku gak berniat berbuat yang gak pantas.”
Aldrich memalingkan wajah. Suaranya menurun, tapi masih bergetar.
“Kamu tahu, selama ini aku berusaha menjaga batas. Aku gak mau ada gosip murahan di sekitar kru. Aku bahkan menghapus seluruh kemungkinan itu. Dan sekarang… justru aku sendiri yang tertipu.”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Keluar dulu. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Allen menatapnya sesaat, mencoba membaca perasaan di balik wajah sang aktor, kemarahan, kebingungan, atau barangkali kekecewaan. Tapi yang paling jelas adalah tatapan itu… tajam tapi tidak kejam, seperti ada pertarungan besar di baliknya.
“Baik, Mas,” bisik Allen lirih, menunduk dalam, lalu berjalan meninggalkan ruangan.
Begitu pintu tertutup, Aldrich merosot di kursinya, menutup wajah dengan kedua tangan.
Dalam hening, bayangan tadi kembali melintas di pikirannya, kulit pucat di bawah cahaya lampu, wajah yang terkejut, dan mata besar yang menyiratkan ketakutan sekaligus kepolosan.
Ia menggeleng kuat-kuat.
“Gak. Aku gak boleh berpikir sejauh itu.”
Namun semakin ia mencoba menghapus bayangan itu, semakin kuat gambarannya kembali dan darah di tubuhnya terasa mendidih lagi, bukan karena amarah semata, melainkan karena perasaan yang tidak ingin ia akui.
Malam itu, Aldrich menatap kosong ke luar jendela. Hujan masih turun deras, sementara dalam dirinya, badai jauh lebih besar sedang bergemuruh.
**
Sinar matahari pagi menembus tirai villa, memantulkan warna keemasan di dinding ruang tamu yang masih sunyi. Udara masih lembap sisa hujan semalam.
Liang datang lebih awal dari biasanya. Ia membawa dua gelas kopi dan sebungkus roti yang masih hangat, berharap suasana bisa sedikit lebih ringan setelah malam yang panjang. Namun begitu ia melangkah masuk, yang ia temukan justru sesuatu yang tidak biasa.
Aldrich duduk di ruang tengah dengan wajah muram, matanya sembab, rambut berantakan. Ia hanya mengenakan kaos polos yang tampak belum diganti sejak malam. Kopi yang disiapkan pelayan pun tak tersentuh.
“Pagi, Mas,” sapa Liang pelan.
Tidak ada jawaban. Hanya gerakan kepala kecil sebagai tanda ia mendengar.
Liang mendesah, duduk di hadapannya. “Kamu gak tidur semalaman, ya?”
Aldrich hanya menggeleng, matanya menerawang kosong.
Beberapa detik hening sebelum akhirnya ia bersuara pelan, “Aku gak percaya selama ini aku hidup di bawah kebohongan kecil yang tumbuh jadi besar. Aku mempercayainya, Ko. Aku bahkan memperlakukannya seperti saudara sendiri.”
Liang mengatupkan bibirnya. Ia tahu apa yang terjadi. Ia sudah menebak hal itu lambat laun akan terjadi juga.
“Dia gak bermaksud jahat, Mas,” ucap Liang lembut. “Allen hanya berusaha bertahan hidup. Posisinya gak mudah. Dia hidup sebatang kara. Dia gak punya siapa-siapa selain kita.”
“Jadi kamu udah tahu? Dan itu alasannya menyembunyikan identitasnya?” Aldrich memotong cepat. “Kalo orang lain tahu, aku bisa dicap macam-macam! Kamu tahu bagaimana media bekerja.”
Liang menghela napas dalam. “Aku juga baru tahu pas kita di villa kemaren. Aku juga awalnya marah dan kecewa. Tapi kamu juga tahu Allen bukan tipe orang yang ingin cari sensasi. Dia hanya… butuh tempat, butuh pekerjaan, dan butuh dipercaya.”
Aldrich terdiam. Ada nada getir dalam matanya, semacam luka yang tak bisa segera diredam.
Ia menunduk, menatap kedua telapak tangannya yang gemetar.
“Aku_aku gak tahu harus marah atau… entahlah.”
Liang menatap atasan sekaligus sahabatnya itu lama. “Mungkin cuma butuh waktu untuk menerima kenyataan.”
Ia kemudian berdiri perlahan, “Aku gak bisa pecat dia. Hari ini jadwal kita mulai padat. Gak mungkin cari asisten yang sekompeten Allen dalam waktu singkat.”
Aldrich terdiam lagi. Hanya desahan napas yang terdengar.
Liang melanjutkan dengan nada tegas namun lembut,
“Dengar, Rich. Hari ini kita mulai syuting lagi. Semua orang butuh fokus. Allen tetap asistenmu, setidaknya sampai jadwal promosi ini selesai. Setelah itu, kamu bebas mengambil keputusan.”
Aldrich tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menata perasaannya. Hatinya seperti medan perang, antara profesionalisme, kepercayaan yang hancur, dan rasa bersalah yang tak bisa dijelaskan.
“Baik,” katanya akhirnya dengan suara pelan tapi tegas. “Aku gak akan menyingkirkannya. Setidaknya bukan sekarang.”
Liang tersenyum kecil. “Terima kasih. Itu sudah lebih dari cukup.”
Namun sebelum ia beranjak, Liang sempat menatap Aldrich dalam-dalam dan berkata lirih,
“Tapi, Mas… jangan terlalu keras pada dia. Kadang orang berbohong bukan untuk menipu, tapi untuk bisa tetap bertahan di dunia yang tidak memberinya pilihan.”
Aldrich tidak menanggapi, tapi sorot matanya melembut sedikit.
Di ruangan lain, Allen masih duduk di sudut tempat ia biasa menyiapkan perlengkapan syuting. Matanya bengkak, suara napasnya berat. Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara dari ruang tengah tadi sempat membuatnya menggigil.
Ia tahu Liang pasti membelanya, tapi rasa takut masih begitu kuat.
Dalam hati kecilnya, Allen berdoa agar hari ini tidak seburuk yang ia bayangkan.
Dan ketika akhirnya Aldrich lewat di depannya untuk bersiap ke lokasi syuting, Allen menunduk dalam, nyaris tidak berani bernapas.
Namun pria itu hanya lewat begitu saja, tanpa kata.
Tidak ada tatapan marah, tapi juga belum ada maaf.
Hanya diam.
Diam yang menggantung seperti kabut di antara mereka, dingin, rapat, dan menyesakkan.
.
YuKa/ 291025
Yang perlu kau tahu bahwa kebohongan itu hanya akan menyelamatkanmu sementara, tapi akan menghancurkanmu selamanya.. Dan kejujuran mungkin saja menyakitkan, namun akan menyelamatkanmu sekarang & selamanya..
Yahh.. Paling tidak Allen sudah jujur, lebih baik Aldrich tahu sekarang daripada tempe kemudian.. 😁
Yang Ayumi kegatelan kek ulet bulu🙈
Dulu kamu punya Aldrich yang gagah malah kamu tinggalin🙄
Namun yg mampu untuk menjaga kehormatan..
Dia tahu betul bahwa cinta bukan untuk dinikmati dalam kebebasan..
Namun dijaga agar selalu bersama-sama untuk menuju jalan Tuhan..
Berbeda pula dengan Ayumi & Patrick, bukan nya menuju jalan Tuhan.. Namun menuju toilet rumah sakit.. Astaghfirullah..🤦🏻♀️🤣🤣🤣
aldrick jangan lari dong dengerin penjelasan Allen dulu 🤭