Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Hana hamil?
Berbeda dengan Alfindra dan Almira yang kabur menghindari Silvia dengan bepergian. Nasib sial Madel yang jadi bawahan harus menjadi sasaran amukan Silvia karena wanita paruh baya itu tak mendapati Alfindra pulang. Silvia terus meneror Madel di telepon kalau asisten Alfin itu tak datang ke mansion memberitahu keberadaan Alfindra.
"Maaf nyonya, tapi saya beneran tidak tahu kemana Tuan Alfindra pergi!" aku Madel. Ia memang tak tahu kemana Alfindra dan istrinya pergi, kalaupun tahu ia juga tak akan memberikan informasi apapun pada Silvia meski kuasa wanita itu lebih besar dari pada Tuannya.
Kesetiaan harga mati...
Begitulah Madel, meski begitu mendapat telepon berulang kali dari Silvia ia langsung mampir ke mansion setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Nyonya!" Madel mengangguk sebagai sapaan setelah masuk ke dalam mansion Alfindra bersama Bambang.
"Dimana anak itu?" Silvia bersedekap.
"Maksud anda, Tu-tuan nyonya? Bukankah tadi Tuan masih di kantor sebelum kekasihnya datang?" tanya balik Madel memancing emosi Silvia naik ke ubun-ubun.
"Apa wanita itu sering menginap disini?" sinisnya dengan mata memicing.
Glek...
"Darimana Nyonya Silvia tahu?" batin Madel mengingat tak ada satupun rekam jejak, bukti, atau foto kalau Tuannya sudah menikah.
"Tidak penting darimana!" Silvia mengibaskan tangannya ke atas. Kelakuan wanita paruh baya itu memang sama persis seperti Tuannya.
"Nyonya! Sebaiknya anda pulang, karena disini tidak ada pelayan dan saya yakin Tuan Alfindra tidak akan pulang hari ini. Tuan pasti sudah tahu kalau anda akan mengunjungi mansionnya!" tegas Madel, ia cukup tahu mama Tuannya ini type manusia seperti apa, manja-manja tengil.
"Aku nggak perduli, aku mau lihat! Wanita mana yang sering menginap disini menggoda putraku," seru Silvia dengan emosi menggebu.
"Tidak ada Nyonya!"
"Madel, kamu cukup tahu orang seperti apa saya, suami saya? Sekalipun Alfindra melindungi kamu ataupun kamu orang kepercayaannya, saya pastikan kami tidak akan segan apabila kamu berbohong," tegas Silvia.
Namun, bagi Madel yang sudah mengikuti Alfindra bukan hanya sebulan dua bulan. Hal itu tak berpengaruh apapun, Madel tak memiliki keluarga dan Alfindra adalah orang pertama yang sudah Madel anggap seperti keluarga. Sekali lagi, kesetiaan harga mati.
"Sepertinya kamu sama sekali tidak takut yah? Kalau begitu saya akan tetap berada disini sampai Alfindra pulang, seberapa lama pun dia pergi bersama ja lang itu!" tegas Silvia membuat Madel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau begitu saya pamit pulang!" seru Madel meninggalkan mansion milik Alfindra.
Silvia menggertakkan giginya kesal, ia berusaha menghubungi Salma. Barangkali gadis itu sedang tidak sibuk.
"Hallo, Tante?" Sapa Salma.
"Salma sayang, lagi sibuk nggak?" tanya Silvia lemah lembut.
"Lumayan sih tante, lagi ada jadwal USG sampai jam sembilan nanti lah di klinik."
"Wah super sibuk yah, kamu nggak ke rumah sakit? Berarti gak punya waktu dong buat nemenin. Tante lagi ada di mansion Alfin nih," bujuk Silvia.
"I'm sorry, tan. Tapi mereka udah banyak yang antri. Next time deh, janji!" seru Salma yang sebenarnya juga menyayangkan tak bisa menemani Silvia atau paling tidak menemuinya.
"Yaudah beneran ya!"
"Iya tante sayang," bujuk Salma sebelum video call itu benar-benar terputus. Sebenarnya, Silvia sedikit kecewa dengan kesibukan Salma. Namun, membayangkan betapa membaggakannya memiliki menantu seorang dokter. Bahkan Silvia sudah tak sabar memperkenalkan Salma saat arisan sosialita.
Salma kembali ke ruangan periksa setelah selesai menerima panggilan, suster yang membantunya pun memanggil antrian selanjutnya.
"Ny. Hana Araya," panggil suster membuat Salma yang sedang fokus seketika menegang.
Hana masuk, seorang diri tanpa laki-laki membuat Salma mendelik tak percaya.
Sementara Hana yang pada dasarnya tak mengenali Salma bersikap santai meski hatinya bergemuruh karena hasil tespeck sore tadi samar garis dua. Hana akhirnya memeriksakan diri di klinik untuk kembali memastikan.
"Silahkan duduk," ujar Salma berusaha profesional.
"Baik, Dok!"
Salma menelisik wajah Hana, "sendirian atau sama suami? Kalau sama suami sekalian disuruh masuk tidak apa-apa!"
"Sendirian, Dok!" aku Hana membuat Salma ingin sekali langsung mengumpati gadis itu. Sayang sekali, sebagai dokter rasanya akan sangat buruk mengamuk pasien disaat pemeriksaan. Apalagi Salma belum menemukan bukti kalau wanita di hadapannya ini adalah kekasih baru Alfindra.
"Oh!" Salma mengangguk-ngangguk lantas meminta Hana berbaring di brangkar.
Jantung Hana berdetak tak karuan, apalagi saat dokter cantik itu menyiba sedikit blouse-nya dan mengoleskan gell.
"Mati aku kalau sampai hamil beneran," batin Hana berusaha merapalkan mantra berharap dugaannya salah meski hasil tespeck kemungkinan benar.
"Janinnya masih sangat kecil ya, kapan terakhir mens*ruasi?" tanya Dokter Salma datar. Tak ada senyum keramahan seperti pada pasien lain.
"Tanggal 25 bulan lalu," jawab Hana. Gadis itu pun sendiri langsung kalut dan bingung. Niat hati ingin menjauh dari Wildan tapi sekarang? Rasa-rasanya takdir sungguh tak berpihak padanya.
"Usianya diperkirakan empat minggu, masih sangat kecil. Ada keluhan seperti mual atau apa?"
Hana menggeleng.
"Saya resepkan vitaminnya!"
Hana mengangguk, ia saking blanknya sampai tak menyadari raut wajah dokter di hadapannya yang berubah-ubah. Dingin, datar dan terkesan tak ramah. Setelah memastikan Hana keluar, Salma terduduk lemas dan meminta suster memberinya jeda istirahat sebentar.
Sesak, sudah pasti. Hati siapa yang tak terluka jika memikirkan wanita lain mengandung bayi kekasihnya. Kekasih? Ralat, mungkin lebih tepatnya mantan kekasih mengingat Salma dan Alfindra lose kontak.
Sementara di tempat lain, Almira sedang menikmati udara malam di sekitar pantai. Bukan dengan Alfindra, melainkan seorang diri. Pria itu menolak jalan-jalan dengannya, dengan dalih sibuk. Padahal Alfindra hanya sibuk duduk di balkon sambil memangku laptop.
"Ck! merepotkan, sudah malam masih juga belum kembali," gerutu Alfindra saat menyadari Almira belum juga kembali.
Segera ia menutup laptop dan keluar bermaksud untuk mencari istrinya.
Ceklek...
"Aku kira kamu tak akan pulang!" sarkasnya di depan pintu dengan tangan berdekap dada.
"Mas ngarep aku nggak pulang?" tanyanya dengan mata menatap Alfindra dalam sedalam lautan di seberang sana yang bisa menenggelamkan siapapun di depannya.
"Jangan melas gitu! Ck, masuk."
Almira masuk, mencuci wajah, tangan dan kaki lalu kembali ke ranjang dan merebahkan diri disana.
"Jorok gak ganti baju!" dumelnya. Rupanya Alfindra sudah berganti pakaian dengan memakai boxer dan kaos hitamnya. Kapan suaminya itu membawa baju ganti? Seingatnya saat mereka kabur tadi Alfindra tak membawa apapun kecuali ponsel dan laptop.
"Mas dapat baju dan celana darimana?" tanya Almira penasaran.
"Kenapa memang, beli di depan tadi pas kamu keluar!" bohongnya semakin membuat mata Almira memicing.
"Terus aku?" tanya Almira menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu kan punya lige rie selusin," jawab santai Alfindra membuat Almira seketika terduduk dan mengusap wajahnya.
"Kenapa? kenapa? Keberatan? Dari pada jorok gitu, lagian belum tentu juga aku mau!" aku Alfindra jumawa.
"Oke kita lihat aja nanti, Mas! Sekuat apa iman kamu," batin Almira menahan kesal lantas mengambil lige rie dan membawanya ke dalam kamar mandi.