NovelToon NovelToon
Tuan Valente Dan Tawanan Hatinya

Tuan Valente Dan Tawanan Hatinya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Obsesi / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Pelakor jahat
Popularitas:959
Nilai: 5
Nama Author: Miss Saskya

"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"

"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"

"Kau terlalu berani Signorina Ricci"

"Aku bukan mainan mu"

"Aku yang punya kendali atas dirimu"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Takut Aurora Stress

Pintu ruangan pribadi pemilik RS terbuka, seorang pria dengan tubuh tinggi masuk dengan langkah berat, masih mengenakan stelan dokter.

Begitu pintu tertutup rapat, ia langsung melepas masker, membuka atribut medis yang sempat dipakai untuk menyamar, dan melemparkannya ke kursi.

Pria itu adalah Kairos Valente.

Rahangnya mengeras, sorot matanya masih menyimpan amarah.

Lucca yang sedang duduk di balik meja kerjanya, mengangkat kepala dan menatapnya datar.

“Gimana? Udah puas lihat dia terbaring di sana? Atau elu mau nyamar lagi? Kalau perlu, biar gue sekalian ikut jadi perawat yang nemenin nanti.”

Kairos menatap tajam, tapi hanya sebentar sebelum mendengus kasar. “Gabriel memang keterlaluan… si tua bangka bren*gsek itu.” Suaranya rendah, bergetar menahan amarah.

Luca bersedekap, seulas senyum sinis muncul di bibirnya.

“Hmm… Aurora memang pasien korban dari kekerasan,” gumamnya tenang, meski sorot matanya penuh makna.

Kairos berjalan ke arah jendela, jemarinya menyentuh tirai tipis yang berayun pelan. Ia menatap keluar, seolah mencari sedikit kendali atas emosinya yang bergolak.

“Papa pungut Aurora itu nggak ada gunanya,” ucapnya datar, dingin.

Luca terkekeh pelan, ada nada sarkas di sana.

Kairos menoleh, menatapnya tajam. “Gue nggak butuh pura-pura jadi suster atau menyamar sebagai dokter. Nanti gue bakal datang sebagai diri gue sendiri.”

Luca menyipitkan mata, ekspresinya setengah meremehkan, setengah khawatir.

“Are you sure?” tanyanya, suaranya merendah tapi menusuk.

Tatapan Kairos membeku, dingin bagai es yang tak bisa retak. “I am always serious.”

Luca menghela napas panjang, lalu mencoba melontarkan humor tipis, meski ada kegelisahan yang ia sembunyikan.

“Tapi gue nggak mau pasien gue stress kalau lihat muka lu yang kaku banget. Kayak debt collector yang mau nagih hutang.”

Kairos hanya mengangkat satu alis, seolah peringatan halus agar Luca berhenti bermain kata.

“Come on, Kairos. Aurora itu fragile. Gue dokter, gue ngerti dampaknya kalau orang kayak lu nongol di hadapan dia tanpa filter. Gue cuma khawatir, oke?” nada suara Luca kini lebih serius.

Kairos diam beberapa detik, lalu langkah kakinya menjauh dari jendela. Sepatu kulitnya beradu dengan lantai, ritmenya mantap, penuh tekad.

“Gue nggak peduli kalau dia bakal shock dan kenapa juga di harus shock liat gue? gue gak pernah mukul dia tuh." Balas Kairos cuek.

"Tetep aja first impression dia ketemu lu tuh jelek Kai."

"Ckckck, terserah lu!. Sekarang fokus gue cuma satu, Gabriel harus dapet pelajaran. Dan gue akan pastikan itu.”

Luca terdiam. Ia tahu percuma membantah kalau Kairos sudah sampai di titik ini.

“Fine,” ucapnya lirih, akhirnya menyerah. “Do whatever you want. Tapi jangan salahin gue kalau semua makin berantakan.”

Kairos berhenti sejenak di depan pintu, menoleh sepersekian detik dengan senyum tipis yang tak bisa ditebak artinya.

“Berantakan? No, never.”

Tanpa menunggu balasan, Kairos membuka pintu dan melangkah keluar. Aura dinginnya meninggalkan jejak di ruangan, sementara Luca hanya bisa menghela napas panjang, sadar kalau badai baru saja dilepas ke arah Gabriel.

🐼🐼🐼

Kantor pribadi Leandro – Jam 3 sore

Sinar matahari sore masuk lewat kaca besar di sisi ruangan, menciptakan bayangan panjang di atas lantai marmer.

Di meja kerjanya, Leandro menunduk membaca tumpukan laporan keuangan. Kacamata tipis bertengger di hidungnya, jemarinya terus membalik lembaran dengan ritme cepat.

Ketukan pelan terdengar.

Tanpa menunggu izin, Alex masuk dengan langkah santai, membawa aroma kopi yang baru diseduh.

Alex menaruh cangkir di meja “Kau selalu terlihat seperti ini setiap kali aku datang, Leandro. Sibuk menenggelamkan diri dalam laporan. Apa kau benar-benar membaca, atau hanya pura-pura sibuk supaya tak ada yang bisa mengganggumu?”

Leandro tidak mengangkat kepala, suaranya datar. “Kalau kau datang hanya untuk bercanda, pintu ada di belakangmu.”

Alex menarik kursi, duduk berhadapan. “Aku tidak bercanda. Aku datang untuk membicarakan Kairos.”

Mata Leandro akhirnya terangkat, menatap kakaknya dengan pandangan yang dingin namun lelah.

“Kairos? kenapa lagi dia?. Kau pikir aku tidak lelah setiap kali mendengar namanya.”

Alex mencondongkan tubuh, nadanya tegas.

“Yang seharusnya lelah itu dia, bukan kau. Sejak kecil, dia tumbuh dengan bayang-bayang Daddynya. Kau tahu sendiri betapa dingin sikapm. Kamu gak pernah memberi ruang untuk dia merasakan punya sosok ayah.”

Leandro mengetukkan penanya ke meja, rahangnya menegang. “Kau tidak tahu apa-apa, Alex.”

Alex menatap tajam.

“Aku tahu cukup. Aku ada di sana, Leandro. Aku melihat bagaimana kau memperlakukan mendiang istrimu dulu. Kairos melihat lebih banyak lagi. Luka itu bukan hanya di tubuh ibunya tapi juga di hatinya, dan hati anak kecil yang hanya bisa menonton.”

Leandro membuang pandangan ke jendela, sinar sore menyorot wajahnya, menyingkap gurat kelelahan yang tidak bisa ditutupi.

Tangannya mengepal, tapi suaranya terdengar berat.

“Aku… aku tidak pernah berniat melukai dia. Tapi setiap kali aku menatap wajahnya… aku selalu teringat pada ibunya. Semua pertengkaran, semua teriakan seakan terulang kembali. Aku tahu aku salah, tapi aku tidak bisa menghapus masa lalu itu.”

Suara Alex terdengar lebih lembut tapi tetap tajam. “Kau benar, kau tidak bisa menghapus. Tapi kau bisa memperbaiki. Kairos bukan lagi anak kecil yang hanya bisa diam."

"Dia sudah jadi pria dewasa, keras, dingin, ya… tapi itu cermin dari daddynya sendiri. Kau ingin hubungan itu membaik? Maka berhenti melihat dia sebagai bayangan dari masa lalu. Lihat dia sebagai anakmu.”

Ruangan hening. Hanya jam dinding yang berdetak, menegaskan waktu yang berjalan tanpa kompromi.

Leandro menghela napas panjang, lalu menutup laporan di hadapannya. Tatapannya kosong, tapi ada kilatan rapuh yang jarang terlihat.

“Mungkin… aku memang bukan ayah yang pantas.”

“Tidak ada ayah yang pantas, Leandro. Tapi ada ayah yang memilih untuk tetap berusaha. Pertanyaannya, apakah kau masih mau berusaha, atau kau biarkan Kairos pergi selamanya?” Tegas Alex.

Leandro terdiam lama, jemarinya meremas kertas laporan hingga kusut. Sinar sore yang masuk lewat jendela terasa semakin redup, seolah ikut menekan suasana.

tbc🐼

1
lollipop_lolly
🥰
lollipop_lolly
gimana mansion keluarga Lendro Valente guyss?☺️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!