Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rintangan Kecil
Dua hari berlalu dengan cepat. Pagi itu, desa Lembah Tiga Gunung diselimuti kabut tipis. Embun masih bergelayut di ujung daun, dan suara ayam jantan bersahut-sahutan menandai awal perjalanan. Tiga sosok berdiri di depan sebuah kereta kuda sederhana.
Anul mengenakan jubah biru tua, matanya tajam menatap ke arah jalan tanah yang membentang keluar dari desa.
Arum berdiri di sampingnya, gaun panjang hijau zamrudnya membuatnya tampak kontras dengan warna pucat kabut pagi. Rambutnya diikat sederhana, namun wajahnya memancarkan semangat yang sulit dipadamkan.
Sementara itu, Biro—dengan wajah masih sedikit cemberut—mencoba menahan kantuk sambil menguap lebar.
Pak Ghandi, bersama beberapa tetua desa, ikut mengantar hingga ke pintu gerbang kecil yang terbuat dari susunan bambu tua. Wajah mereka menyimpan kekhawatiran, sekalipun bibir berusaha tersenyum.
“Anul,” suara Pak Ghandi berat namun tenang, “ingatlah, desa ini menunggu kepulanganmu. Jangan biarkan jalan panjang merenggut hatimu. Dunia di luar sana… tidak sama dengan kedamaian yang kita miliki di sini.”
Anul menunduk hormat. “Aku mengerti, Pak Ghandi. Selama napasku masih berhembus, aku akan kembali.”
Biro menyeringai, mencoba mencairkan suasana. “Ayah, jangan khawatir. Kalau kakiku sudah letih, aku pasti langsung merengek pulang. Jadi Anul ini tidak bisa seenaknya menelantarkan aku di luar sana.”
Arum menahan tawa kecil, menepuk bahu Biro. “Yang kau khawatirkan bukan pulang atau tidak, tapi apakah perutmu bisa kenyang selama perjalanan.”
Biro melotot. “Hei! Aku ini calon pendekar besar, bukan tukang makan!”
Namun perutnya justru berbunyi pelan, membuat semua orang yang hadir tak kuasa menahan senyum. Bahkan Anul, yang biasanya serius, hanya bisa menghela napas panjang sambil menepuk pelan dahi sendiri.
Setelah berpamitan, kereta kuda pun mulai bergerak. Roda kayu berdecit melewati jalan berbatu, suara langkah kuda berpadu dengan irama kabut yang menyingkap perlahan. Lembah Tiga Gunung semakin menjauh di belakang mereka, tiga puncaknya berdiri megah seperti penjaga kuno yang mengawasi kepergian anak-anaknya.
...****************...
Perjalanan menuju utara dimulai dengan lembah panjang yang dipenuhi hutan pinus. Udara segar menusuk paru-paru, membuat setiap helaan terasa dingin namun menyenangkan.
Burung-burung kecil beterbangan dari dahan ke dahan, sementara sinar matahari pagi menembus celah daun, menimbulkan bayangan yang bergerak seiring angin.
Anul duduk di bagian depan kereta, matanya terus memperhatikan peta kecil yang digulung di pangkuannya. Ia menghitung waktu, memperkirakan jarak, dan mengingat setiap titik penting yang telah ia pelajari.
Arum, duduk di sampingnya, membuka kantung kecil berisi buah kering.
“Anul, berapa lama perjalanan kita hingga sampai di Kota Hantu?” tanyanya sambil menyodorkan sebutir buah pada Biro yang langsung menyambarnya dengan sigap.
“Jika tidak ada halangan, tiga hari perjalanan. Tapi… aku tidak yakin semua akan berjalan mulus.” Jawaban Anul singkat, namun cukup membuat keduanya terdiam.
“Kenapa tidak yakin?” tanya Arum lagi, nada suaranya lebih pelan.
“Hutan ini masih termasuk aman. Namun begitu kita mendekati perbatasan Kota Hantu, tanah menjadi tandus. Bandit sering berkeliaran di jalur itu. Mereka mengincar kelompok pengembara kecil seperti kita. Belum lagi…,” Anul terdiam sebentar, menatap kabut yang semakin menipis, “…ada rumor tentang siluman kecil yang berkeliaran di area itu.”
Biro, yang sedang mengunyah buah kering, hampir tersedak. “S-siluman?! Jangan bercanda Anul. Aku bahkan tidak sanggup bertarung dengan ular sawah, apalagi siluman!”
Arum menutup mulutnya, menahan senyum geli. “Tenang saja. Kalau siluman datang, aku akan bersembunyi di belakangmu, Biro.”
Wajah Biro pucat seketika. “Kau… kau tega, Arum!”
Anul menghela napas panjang. Ia tahu perjalanan ini bukan untuk main-main. Meski ia berusaha menjaga agar kedua sahabatnya tetap tenang, dalam hatinya ia sadar: langkah mereka baru dimulai, tapi bahaya sudah menunggu di depan.
***
Hari pertama berjalan lancar. Mereka melewati hutan pinus tanpa gangguan berarti. Malam tiba, mereka berhenti di tepi sungai kecil. Anul menyalakan api unggun, Arum menyiapkan makanan sederhana dari perbekalan, sementara Biro dengan enggan ditugaskan menjaga kuda.
Suara jangkrik menggema, ditemani cahaya bulan yang terpantul di permukaan air. Dalam keheningan malam itu, Anul duduk bersila, menutup mata, menarik napas panjang, dan mulai masuk kedalam ruang hampa dalam tubuhnya. Saat ini perombakan jiwanya sudah melewati seribu tujuh ratus siklus. Saat ini untuk satu siklus penuh membutuhkan waktu satu jam—secara otomatis, tapi jika ia membantu siklus itu, waktunya akan menyusut menjadi empat puluh lima menit.
Arum memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. “Anul… apakah latihanmu setiap malam tidak melelahkan?”
Anul membuka mata perlahan, senyumnya tipis. “Bagi pendekar, berhenti berlatih sama saja dengan mati perlahan. Dunia ini terlalu luas, terlalu penuh bahaya. Jika tidak menjaga kekuatan, nyawa akan mudah diambil.”
Arum mengangguk, meski dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran. Ia tahu Anul bukan hanya berlatih untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk sesuatu yang lebih besar—takdir yang belum sepenuhnya ia pahami.
Biro, yang mendengar percakapan itu sambil berbaring dekat kuda, tiba-tiba ikut menyahut. “Kalau begitu, mungkin aku akan mati muda. Latihan membuatku bosan. Aku bisa menjadi kuat hanya dengan makan dan tidur.”
Anul menatapnya tajam. “Justru itu alasan kau harus ikut. Dunia nyata akan memberimu pelajaran yang tak bisa diajarkan oleh pelatihan tertutup. Bagaimanapun bunga yang tumbuh di rumah kaca tidak akan sekuat bunga liar.”
Biro meringis, menutup wajah dengan lengan. “Baiklah....”
Tawa kecil Arum kembali pecah, membuat suasana malam yang dingin sedikit lebih hangat.
...****************...
Hari kedua, perjalanan mulai terasa berat. Jalanan yang tadinya hijau berubah menjadi tanah tandus berdebu. Pohon-pohon semakin jarang, dan hanya ilalang kering yang bergoyang ditiup angin. Udara pun berubah, lebih kering, membuat kerongkongan cepat haus.
Di kejauhan, mereka mulai melihat reruntuhan bangunan lama. Dinding batu yang retak, atap rumah yang runtuh, dan sumur kering yang ditinggalkan. Itu pertanda mereka semakin dekat dengan wilayah yang disebut sebagai Kota Hantu.
Namun sebelum tiba di sana, bahaya pertama datang menghampiri. Dari balik bukit kecil, belasan orang muncul, membawa pedang berkarat dan tombak kasar. Mereka mengenakan pakaian compang-camping, wajah kotor, dan tatapan penuh kebuasan.
“Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka, seorang pria tinggi kurus dengan bekas luka melintang di pipinya. “Jalan ini milik kami. Jika ingin lewat, bayar upeti!”
Biro menelan ludah, wajahnya pucat pasi. “Anul… kau tadi baru saja bercanda soal siluman. Tapi ini lebih buruk dari siluman, kan?” bisiknya sambil gemetar.
Arum menatap lurus para bandit, matanya berkilat walau tubuhnya sedikit menegang. Ia bukan gadis lemah, tapi berhadapan dengan belasan orang bersenjata jelas bukan hal ringan.
Anul berdiri perlahan dari kereta. Tubuhnya tegap, sorot matanya menusuk. Ia tidak membawa senjata apapun, namun aura tenangnya membuat para bandit ragu sejenak.
“Aku hanya ingin melewati jalan ini. Jika kalian mundur sekarang, aku akan melupakan pertemuan ini. Tapi jika kalian memaksa,”
Anul menatap tajam ke arah si pemimpin, “jangan salahkan aku.”
Bandit-bandit itu terbahak, menganggap ancaman itu sebagai lelucon.