“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08
Bel pulang sekolah menggema nyaring, menggugurkan hiruk pikuk di dalam kelas. Satu per satu siswa berhamburan keluar, disambut langit sore yang mulai menguning. Langkah-langkah penuh semangat melintasi lorong, diiringi suara tawa dan obrolan ringan.
Namun tidak dengan Nayla.
Gadis itu melangkah perlahan menuju gerbang sekolah. Langkahnya lelah, napasnya berat seperti ada beban tak kasat mata yang terus menggantung di pundaknya. Seminggu absen dari sekolah membuat dirinya terasa asing di antara teman-temannya sendiri.
Saat kakinya menginjak trotoar luar gerbang, tiba-tiba suara notifikasi ponsel memecah lamunannya. Nayla merogoh saku seragam dengan cepat dan melihat satu pesan baru dari nomor tak dikenal.
Tangannya sedikit gemetar saat membuka pesan itu.
" Kirimkan alamatmu. Jam 05.00 nanti aku akan menjemputmu."
– Elvino
Seketika, hati Nayla yang semula tenang berubah keruh. Damai yang sempat ia nikmati selama seminggu terakhir sirna seketika hanya karena satu pesan. Elvino kembali. Dan seperti bayangan hitam, kehadirannya selalu membawa rasa takut sekaligus pasrah.
Baru saja Nayla hendak kembali berjalan, suara yang sangat ia kenali memanggil dari belakang.
"Nayla!"
Suara itu berat, sedikit tergesa.
Nayla menoleh. Elang. Cowok yang selama ini diam-diam memberinya ruang bernapas di antara sesak dunia. Elang berlari kecil ke arahnya, wajahnya terlihat cemas.
“Ayo, aku antar pulang,” ujarnya, sambil tersenyum tipis. Ada rasa ingin melindungi di balik ekspresinya yang dingin.
Nayla sempat terdiam, hatinya menimbang. Ia ingin mengatakan iya, ingin menerima uluran itu. Tapi tidak. Bukan sekarang. Bukan hari ini, ketika langkah hidupnya telah terlanjur menyimpang dari jalan yang ia dambakan.
“Terima kasih, Elang,” ucap Nayla pelan.
“Tapi... aku harus singgah ke rumah temanku dulu.”
“Oh...” Elang tampak kecewa, tapi tak memaksa. “Kalau begitu hati-hati, ya.”
Nayla mengangguk singkat, lalu berpaling. Langkahnya semakin cepat meninggalkan gerbang sekolah, seolah ingin menjauh dari kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
...
Setibanya di rumah kontrakan, ia menyapa lirih, “Assalamualaikum.”
Tak ada yang menjawab, namun suara riang Lili dan suara pena Dio yang menari di atas buku menyambutnya dengan tenang. Di dalam, Lili tengah mencoret-coret buku gambar dengan krayon baru yang Nayla belikan kemarin, sementara Dio fokus mengerjakan PR-nya.
Di sudut kamar, sang ibu masih terbaring. Batuknya sesekali terdengar, namun wajahnya lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Itu cukup membuat Nayla lega, meskipun ia tahu betul bahwa semua itu dibayar dengan harga yang tak terbayangkan.
Ia mengganti seragamnya dengan pakaian rumahan, lalu menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Masih ada waktu dua jam sebelum janji pukul lima bersama Elvino. Tangan Nayla bergerak otomatis, memotong sayur, menanak nasi, menyiapkan lauk sederhana.
Pukul 04.55 sore, ponselnya kembali berbunyi.
"Aku menunggumu di gang depan. Jangan lama. Aku tidak suka menunggu."
Pesan dari Elvino. Singkat. Tegas. Dingin.
Jantung Nayla berdegup tak karuan. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Tapi ia tahu, tak ada ruang untuk ragu. Ia harus melangkah.
Setelah memastikan makanan sudah tertata di meja dan adik-adiknya masih tenggelam dalam dunia kecil mereka, Nayla menghampiri ibunya.
“Bu... Nayla berangkat kerja dulu, ya. Makan malamnya sudah Nayla siapkan, obat Ibu juga sudah Nayla taruh di meja kecil.”
Sang ibu menoleh lemah, tersenyum tipis. “Terimakasih... Hati-hati di jalan, Nak.”
Senyum itu membuat dada Nayla semakin sesak. Seandainya ibu tahu... pekerjaan seperti apa yang dijalaninya malam ini. Tapi Nayla hanya mengangguk dan menunduk dalam-dalam.
Langkahnya perlahan keluar rumah. Matahari telah tenggelam sempurna, menyisakan langit keunguan yang sayu. Suara adzan magrib dari kejauhan terdengar lirih, seperti pengingat. namun bagi Nayla, itu hanya jadi luka lain yang menganga dalam diam.
Di ujung gang, sebuah mobil hitam mewah terparkir. Lampu depannya menyala redup, dan kaca bagian penumpang terbuka sedikit.
Tanpa perlu bertanya, Nayla tahu siapa yang ada di dalam.
Ia melangkah mendekat, membuka pintu, dan masuk ke dalam. Aroma wangi yang tajam langsung menyambutnya. Di kursi kemudi, Elvino duduk dengan sikap tenang, wajahnya memandang lurus ke depan.
Tanpa berkata sepatah kata pun, mobil itu melaju, meninggalkan gang sempit dan rumah kecil Nayla, menuju sebuah tempat yang sangat asing baginya.
Apartemen mewah milik Elvino.
Dan di sanalah, Nayla akan kembali memasuki dunia kelam yang sudah mulai menjeratnya. dunia yang tidak pernah ia pilih, tapi tetap harus ia jalani… demi mereka yang ia cintai.
...
Saat mobil hitam itu berhenti tepat di depan lobi gedung apartemen mewah bertingkat tinggi, Nayla hanya bisa menelan ludah. Cahaya lampu-lampu yang memantul di kaca jendela menyilaukan matanya. seolah menyambut langkah kecil yang membawanya semakin dalam ke dunia yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dengan langkah pelan, Nayla keluar dari mobil. Tumit sepatunya menyentuh lantai marmer yang mengilap, dan suara langkahnya bergema pelan di lorong sepi. Ia mendongak, menatap gedung yang menjulang di hadapannya. Begitu tinggi, begitu asing... dan begitu dingin.
Elvino berjalan lebih dulu. Tubuh tegapnya memancarkan kepercayaan diri yang menyesakkan, sementara Nayla berjalan di belakang, mencoba menyamakan langkah meski tubuhnya sedikit gemetar.
Sesampainya di lantai 21, pintu apartemen terbuka dengan suara "klik" lembut dari sidik jari Elvino. Ruangan di baliknya begitu luas, bersih, dan penuh dengan furnitur elegan. Lantai marmer putih, sofa kulit hitam yang tampak mahal, dan aroma maskulin samar memenuhi udara.
Nayla mendudukkan dirinya di sofa, tubuhnya kaku. Jantungnya berdetak terlalu keras hingga telinganya sendiri bisa mendengarnya. Tangannya mengepal erat di atas pangkuan, mencoba meredam gemetar yang tak kunjung berhenti. Ia ingin kabur. Tapi ke mana?
Elvino melepas jas dan dasinya, lalu meletakkannya dengan santai di sandaran sofa. Satu per satu kancing kemeja bagian atasnya terbuka, memperlihatkan garis leher dan dada yang tegap. Ia lalu duduk di samping Nayla, matanya menatap tajam, mengamati ekspresi gelisah yang tak mampu disembunyikan gadis itu.
“Kalau kau ingin membersihkan diri dulu,” ucapnya datar, “aku akan menunggu.”
Nayla hanya mengangguk singkat, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia bangkit, berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata sepatah kata pun. Di dalam, ia berdiri mematung di bawah pancuran air hangat. Tetesan air mengalir dari kepala hingga kakinya, tapi tak satu pun bisa membersihkan rasa takut yang menumpuk di balik kulitnya.
Lalu suara pintu kamar mandi yang terbuka pelan membuatnya membalikkan badan. Di sana, berdiri Elvino… hanya dengan celana panjang hitam, tubuhnya yang tegap dan berotot terlihat jelas di balik kabut uap air. Dadanya yang bidang dan otot-otot perutnya yang terpahat jelas terlihat. membuat hawa di dalam ruangan tiba-tiba berubah. Tidak lagi hanya air hangat dan uap, tapi juga rasa gugup yang melilit leher Nayla.
“A-apa yang kau lakukan…?” tanya Nayla pelan, hampir berbisik.
“Aku ingin membersihkan diri,” jawab Elvino, ringan, seolah tak ada yang salah.
Nayla menarik napas dalam-dalam menetralkan rasa gugupnya. Meskipun ini bukan yang pertama kali bagi mereka.
“T-tapi... Tidak bisakah kau menunggu sampai aku selesai?”
Namun pria itu hanya mendekat… perlahan… dan menutup pintu di belakangnya.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭
tapi bnr2 Cinta sma Nayla