Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11.
Seperti janjinya pagi tadi, Mobil mahardika sudah tiba beberapa saat sebelum Za keluar dari gerbang rumah sakit.
"Capek banget ya?." tanya mahardika saat Za masuk ke mobil.
"Lumayan." jawab Za. Faktanya rasa capek yang dirasakan oleh Za bukan hanya karena banyaknya pasien hari ini, tetapi juga capek mendengar celotehan dokter Yuli yang terus membicarakan pria pujaan hatinya dihadapan rekan mereka, siapa lagi pria pujaan hatinya kalau bukan Mahardika.
Jika saja tidak menggunakan akal sehatnya dengan baik mungkin Za sudah merobek mulut wanita itu. Tunggu, kenapa juga ia harus marah jika ada wanita lain yang mengagumi Mahardika, bukannya ia tak cinta pada pria itu? Za jadi bingung sendiri dengan rasa kesal dihatinya pada dokter Yuli yang terus memuji Mahardika. Mahardika tampan lah, Mahardika pekerja keras lah, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat pujian yang terlontar dari mulut dokter spesialis anak tersebut untuk suaminya, sangat menjengkelkan menurut Za.
Za baru menyadari, semenjak mereka menikah sikap Mahardika tak pernah aneh-aneh, pria itu tak pernah menunjukkan gelagat seperti memiliki seorang kekasih, bahkan Mahardika tak pernah keluar rumah selain pergi bekerja. Apa mungkin selama ini ia salah menilai karakter Mahardika? Za semakin berpikir keras.
"Kamu kenapa?." tanya Mahardika menyadari sejak tadi Za hanya diam saja.
"Nggak papa, mas."
"Kalau Nggak papa kenapa mukanya bete gitu."
"Mas nggak kangen gitu sama kekasih mas?." Daripada terus bertanya-tanya dalam hati, Za memutuskan menanyakannya langsung pada Mahardika. Sebenarnya maksud pertanyaan Za di sini ingin memastikan apakah Mahardika memiliki kekasih atau tidak sebelum mereka menikah, hanya saja gengsi yang terlalu tinggi sehingga hingga pertanyaan demikian yang terucap dari mulut Zaliva.
"Jangan aneh-aneh deh Za! Lagian harus berapa kali mas bilang ke Kamu kalau mas nggak punya kekasih. kalau istri sih punya, cuma sedikit keras kepala saja." jawaban Mahardika tak langsung membuat Za percaya begitu saja, soalnya semasa sekolah dulu sepengetahuannya Mahardika itu lelaki buaya darat, masa iya bisa berubah drastis sih?
"Kenapa, kamu nggak percaya? Za, terkadang apa yang pernah kita lihat tak selalu benar. Banyak hal yang membuat seseorang menunjukkan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, mungkin karena pola berpikir yang belum dewasa. Tetapi hidup ini kan terus berjalan, usia pun lambat laun semakin bertambah, dan dengan bertambahnya usia bisa merubah pola pikir seseorang jauh lebih dewasa."
Za hanya menghela napas mendengar panjangnya kalimat Mahardika, Bukannya menyimak poin penting yang tersirat dalam setiap kata-kata Mahardika yang sesungguhnya memiliki makna begitu dalam. Di mata Za, Mahardika justru terlihat seperti seorang motivator yang sedang menyampaikan bagaimana cara dalam berpikir.
Setelahnya, tak banyak lagi obrolan diantara mereka hingga mobil Mahardika tiba di rumah. Baru saja sampai di rumah, pasangan suami istri tersebut sudah di sambut oleh pemandangan yang membuat keduanya jadi bingung.
"Bibi mau kemana, kenapa bawa koper segala? Dan, mereka?." Za ikut menuding ke arah dua Asisten rumah tangga lainnya yang juga membawa koper milik masing-masing.
"Tuan dan nyonya memberikan izin pada kami untuk libur selama seminggu non, makanya bibi dan art yang lainnya ingin mempergunakan hari libur ini untuk pulang kampung." jawaban bibi mampu mengalihkan perhatian Zaliva pada Mahardika. Bukan apanya, gadis itu tak biasa memasak dan membersihkan rumah, jika semua Art pulang kampung lalu siapa yang akan memasak dan juga membersihkan rumah sebesar ini? Za jadi panik sendiri.
"Lalu, di mana papah dan mamah?." Mahardika yang bertanya.
"Tuan dan nyonya berangkat ke Surabaya pagi tadi, den. Katanya ingin mengunjungi orang tua Nyonya di sana."
Tubuh Zaliva langsung layu tak bersemangat, kali ini bukan lagi karena memikirkan siapa yang akan memasak dan juga membersihkan rumah, tetapi karena kedua mertuanya tidak mengajak serta dirinya, padahal ia sudah sangat merindukan keluarganya.
"Tidak perlu bersedih, nanti kalau kamu libur kerja mas akan mengajakmu ke Surabaya." kata Mahardika sambil mengelus rambut panjang Za.
Za sontak memalingkan pandangannya kembali pada Mahardika. Bagaimana pria itu bisa menebak apa yang ada dipikirannya saat ini.
"Mas janji?."
"Iya, mas janji." balas Dika.
Malam harinya.
Dika yang sedang sibuk menatap layar laptopnya, menyadari kedatangan Za di ruang kerjanya.
"Mas, aku lapar."
Mahardika merutuki diri sendiri, bagaimana ia bisa lupa jika semua Art sedang pulang kampung, hanya ia dan Za yang saat ini ada di rumah, karena mang Dodo pun sore tadi sudah pulang kampung.
"Maaf sayang, mas lupa kalau semua art pulang kampung." balas Dika sontak mematikan laptop kemudian bangkit dari duduknya.
"Seharusnya aku yang minta maaf karena tidak bisa memasak buat kamu, mas. Maaf ya mas, aku banyak tidak bisanya." Mahardika mengulas senyum mendengar perkataan Za yang disertai mimik wajah bersalah.
"Tidak perlu minta maaf. kalau memang kamu nggak bisa masak, kita kan bisa delivery." kata Mahardika seraya mengangkat wajah Za yang tertunduk dengan jemarinya. Ya, Za menundukkan pandangan karena malu tak pandai memasak. Dahulu sih ia pernah memasak saat kakak iparnya lagi ngidam ingin memakan masakannya, tapi kala itu Za merasa hasil masakannya tak layak dikonsumsi manusia, hanya lidah kakak iparnya saja yang lagi ngidam sampai mengatakan hasil masakannya mengalahkan Chef internasional. Kalau mengingat masa-masa itu, Za kembali diselimuti kerinduan pada semua anggota keluarganya.
Di dapur.
Ya, Kini Mahardika dan Za sudah berada di dapur. Za menyaksikan suaminya dengan cekatan berkutat dengan peralatan memasak. Awalnya Mahardika ingin memesan makanan lewat aplikasi delivery di ponselnya namun pria itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk memasak berbagai menu untuk makan malam mereka. Meskipun anak tunggal, tak membuat Mahardika mengandalkan pembantu apalagi sampai bermanja-manja. Pria itu belajar dari sang ayah yang juga pandai memasak. Kata papa Okta, Sebagai lelaki kita harus memiliki banyak kelebihan, termasuk pandai memasak salah satunya, sebab papa Okta pernah mengatakan bahwa memasak itu bukan kewajiban seorang istri, hanya karena bentuk pengabdian serta kasih sayangnya kepada suami dan juga anak-anaknya sehingga istri rela melakukan semua itu. Jadi, sebagai seorang suami kita juga harus paham jika pengorbanan seorang istri tidaklah mudah, Mahardika masih ingat betul dengan kata-kata ayahnya.
Melihat suaminya berkutat sendiri dengan peralatan memasak, membuat Za merasa dirinya sama sekali tak berguna sebagai seorang istri. Entah karena merasa bersalah atau karena apa, Za bergerak begitu saja memeluk tubuh mahardika dari belakang, dan itu mampu membuat tubuh Dika terpaku untuk sesaat.
"Kamu nggak nyesal mas, nikah sama perempuan yang nggak ada gunanya seperti aku?."
Mendengar itu Mahardika sontak berbalik badan menghadap pada Za.
"Kamu ini ngomong apa sih? Tidak ada seorang pun istri di dunia ini yang tidak berguna, Za. So, jangan bicara seperti itu lagi, mas nggak suka!."
Za membalas tatapan lembut dari pria yang beberapa hari terakhir mengisi hari-harinya.
"Cup." tubuh Mahardika kembali terpaku saat Za tiba-tiba berjinjit lalu menge-cup bibirnya.
Jangan lupa untuk vote ⭐⭐⭐⭐⭐ nya ya...!!! Biar aku makin semangat double up syg....!!🙏🙏😘😘🥰🥰
ternyata kisah Abil sedih ya kk Thor...