Seorang pemuda berasal dari golongan menengah berharap mendapakan jodoh anak orang kaya. Dengan perjuangan yang keras akhirnya menikah juga. Menjadi menantu orang kaya, dia begitu hidup dalam kesusahan. Setelah memiliki anak, dia diusir dan akhirnya merantau. Jadilah seorang pengusaha sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXII MENJADI PAHAM
Setelah membicarakan sesuatu dengan ibunya, lalu Bakrun berpamitan untuk kembali ke anak istrinya. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Yanto dan Harjo. Keduanya adalah sahabat yang selalu bikin masalah, tetapi setelah Harjo masuk pondok, wataknya berubah drastis, sekarang Harjo begitu bisa menghargai orang, sopan, juga tutur katanya jauh dari kebiasaan dulu.
" Assalamu'alaikum Run, katanya punya anak ?" sapa dan tanya Harjo kepada Bakrun.
" Wa 'alaikum salam, iya, ke sana yo ", ajak Bakrun.
" Nanti saja ya, saya sama Yanto ada urusan dulu ke kelurahan, maaf ya Run, saya nanti ke sana lah," kata Harjo.
" Okey, saya tunggu ya," jawab Bakrun.
Kemudian mereka berpisah sesuai rencana masing-masing, Bakrun kembali ke rumah mertuanya, sedangkan Harjo dan Yanto menuju Kelurahan. Bakrun dalam perjalanan berharap lebih cepat supaya bisa bertemu sama anak dan istri. Begitu sampai rumah , ia langsung masuk rumah.
" Eh.....eh....ngapain kamu masuk ke sini anak kalong," kata pak Dul yang lagi duduk di kasur.
" Maaf pak, saya mau bertemu anak istri saya sendiri, kenapa emang, nggak boleh atau bagaimana," jawab Bakrun.
" Bapak sudah keterlaluan, sama menantu sendiri seperti itu, sifat apa sih, kayak bukan manusia," kata ibu Lia sambil menghampiri Bakrun.
" Hey....mau kemana itu anak kalong, kok dibawa masuk," kata pak Dul.
" Saya mau bawa Bakrun untuk bersama anak istrinya, kalau kakang tidak menyetujui, saya dan anak juga cucu akan pergi dari sini," balas ibu Lia.
" Hey Lia buluk, anak itu....mar ta bak itu anak jongos, melarat, suruh dia keluar, cepat !" hardik pak Dul sedikit marah.
" Maaf pak, anggapalah saya ini menantu bapak, coba kalau saya jadi menantu yang diakui, saya akan kasih bapak hadiah pak," kata Bakrun.
" Huuuu...hadiah - hadiah apa, hey anak kalong , hadiah apa ?" tanya pak Dul.
" Nanti kakang dikasih hadiah sama Bakrun, nanti saya suruh Bakrun untuk membeli alat pelampung buat kakang main di kolam, nanti bentuknya angsa besar kang," kata istrinya sambil tertawa.
" Wah,...dasar Lia buluk, kurang ajar ," hardik pak Dul.
" Iya kang, nanti saya suruh Bakrun membeli balon supaya kang Dul belajar meniup balon, terus beli bedil-bedilan biar nanti kang Dul bisa jadi tentara-tentaraan, nanti beli sepeda roda 3 ya kang Dul, supaya kang Dul bisa mainan sepeda sama cucu ya," kata istrinya.
" Sekalian bikin sumur supaya buat jeburin Lia buluk," jawab pak Dul sambil berjalan ke teras.
Tak terasa 40 hari sudah anak Bakrun dan Neli, anak itu cantik, montok dan calon anak genit. Anak itu begitu disayang, apa-apa selalu diperhatikan. Pak Dul yang sudah sehat saat itu, selalu mengajak ngomong sama cucunya, tapi omongannya itu omongan tidak baik. Bahkan sering istrinya itu marah-marah kepada pak Dul.
Suatu hari Bakrun akan berangkat kerja, semua sudah disiapkan oleh Neli, baik pakaian, sarapan juga yang lainnya. Berangkatlah Bakrun bersama Heru dan Lukman. Sedangkan Neli dan anaknya memberi lambaian tangan.
" Huuuuu....lambai tangan segala, bapak kaya begitu dikasih lambaian tangan, bapak macam apa itu," kata Pak Dul sambil duduk di kursi.
" Eh pak, mau ini mau itu , mau lambai tangan, mau lambai kaki, itu hak keluarga Bakrun sama Neli, usil amat sih," kata ibu Lia yang sedang jemur pakaian.
" Hey Lia buluk, lambaian tangan itu pantasnya buat orang kaya, bukan oleh mar ta bak itu," sahut pak Dul.
" Dul....be Dul....mau Bakrun mau orang kaya be Dul, itu anak sendiri Bakrun, jadi jangan usil Dul be Dul," kata istrinya.
" He..he..he..he...istriku bisa marah," kata pak Dul nunjuk - nunjuk istrinya.
Pokoknya setiap hari suasana di rumah itu selalu penuh sindiran, hinaan, dan kekisruhan antara pak Dul sama istri, kadang pak Dul sama Neli, juga pak Dul sama Bakrun. Membuat situasi kadang lucu, kadang geregetan, kadang menyebalkan.
Hingga tak terasa sudah 1 tahun berjalan, anak Neli dan Bakrun semakin menambah lucu, apalagi anaknya itu sering belajar ngomong, sering memanggil nama, menyebutkan nama benda , juga sering ngomong sendiri, membuat siapa saja yang berada di situ merasa senang sama si Mimin.
" Mimin...sini..sini...," kata pak Dul.
" Dung...dung..a..pa..pa..dung...dung...pa...pa..nah...", kata si Mimin.
" Waaaaaah...dang dung dang dung....dasar....", gerutu pak Dul.
" Hey...Dul be Dul...itu anak kecil lagi belajar ngomong, ya benar dong manggilnya juga begitu, anak belajar ngomong jadi marah...," kata ibu Lia.
" Tapi jangan dang dung dang dung begitu, kakek atau opa atau eyang, malah dang dung dang dung begitu," kata pak Dul.
" Eh kang, dia itu masih kecil, belum bisa ngomong, kalau mau dipanggilnya jelas ya nanti kalau Mimin sudah gede," jawab ibu Lia dengan sabar.
" Lagian ngasih nama kayak gitu, dasar, Mimin itu sama saja minta-minta, jadi disuruh untuk jadi pengemis ya," tegas pak Dul.
" Bukan begitu maksudnya,....iiiiiiiih, ini orang dibuat dari apa sih, sudah usil, bawel terus suka ngeyel, dasar be Dul," kata istrinya sambil menggendong Mimin cucunya itu.
Suatu malam, kebetulan Bakrun saat itu lagi lembur, pak Dul duduk di teras rumah sambil menikmati teh tubruk bikinan Neli, ia memandang sekeliling terasa sepi dan tak seorangpun datang atau main, bahkan orang lewat saja cuma satu dua orang. Ia sedang memikirkan usaha garapan sawah yang sebentar lagi akan panen, lumayan lah, Pak Dul menggarap sawah tahun itu sekitar 4 hektar, itupun karena pak Dul dikenal sebagai juragan padi. Dalam pikirannya terbersit kalau saja ada pertanda alam yang menjanjikan keberhasilan usaha biasanya ada suara tokek.
Sekitar pukul 20.05 WIB, tiba-tiba ada suara tokek......" kek kek kek kek...tokek....tokek...tokek...tokek," begitu kira-kira. Karena masih pemahaman kolok kadang-kadang ada benarnya, saat itu tokek berbunyi..." kek kek kek kek....di situ pak Dul mulai akan mengatakan kaya atau miskin tiap tokek berbunyi.
" Kek kek kek kek.....tokek...kaya", begitu pak Dul ngomong. Tokek...miskin....tokek.....kaya...tokek ...miskin......ka ka ka, wah dasar tokek," gerutu pak Dul.
" Dasar tokek nggak dikasih makan, jadi rupanya lapar nggak bisa bunyi lagi," gumam pak Dul.
Coba nanti kalau bunyi lagi , akan saya rubah, tadi mulai dari kaya dulu, nanti kalau bunyi lagi saya mulai dari miskin dulu," pikir pak Dul.
" Kek kek kek kek.....awas ....awas.....tokek...miskin.....ka ...ka...ka...wah, dasar tokek bisa ngelawak itu tokek," gumamnya lagi.
Mendengar pak Dul ngomong sendiri, istrinya menyahut.
" Lagian tokek jadi hitungan, dasar be Dul," kata istrinya.
" Dasar luh.....jeumbet meteprettepret bret.....", hardik pak Dul seraya menanti bunyi tokek lagi.