NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Misi Baru

Aku terdiam cukup lama di taman belakang rumah, berbaring di kursi malas sambil memejamkan mata. Asap rokok mengepul dari bibirku, mengambang di udara dingin malam.

Pikiranku berkecamuk. Di satu sisi, aku ingin membalas dendam pada anak-anak nakal itu yang berani bermain-main denganku. Mereka belum tahu siapa aku sebenarnya. Di sisi lain, aku memikirkan nasib warung mie ayam peninggalan Kek Bruto jika aku menerima tawaran dari Pak Bima.

Lagipula, ayahnya sudah berjanji tak akan lagi menggangguku. Tapi ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku. "Kamu seperti aku." Aku benar-benar tak tahu maksudnya.

"Aku harus segera cari tahu tentang ayah," gumamku pelan.

Tiba-tiba suara langkah cepat terdengar. Rafael berlari menghampiriku, menarik salah satu kursi dan duduk di sebelahku.

"Paman..." panggilnya.

Aku menoleh, mengerutkan kening, bertanya tanpa kata.

"Paman... Tadi aku dengar semuanya. Berarti benar kalau Paman itu anak dari Tuan Bima Argandara? Pewaris utama keluarga Argandara?" tanyanya dengan mata berbinar.

Aku hanya menjawab dengan deheman.

"Wah..." ucapnya kagum. "Berarti Paman anak orang kaya dong! Asik..."

Aku mengerutkan kening, bingung. "Apa yang kamu inginkan, Rafael?" tanyaku sengit, mendekatkan wajah ke arahnya.

Rafael reflek mundur, memberi jarak.

"Hehehe... Maksud aku, kenapa Paman nggak terima aja tawaran itu? Biar hidup kita bebas. Kita bisa balas dendam ke Erlan dan teman-temannya. Harta keluarga Argandara nggak bakal habis tujuh turunan, jadi kita bebas dari hukum!" jelasnya bersemangat. "Dan satu lagi... Aku pengen ngerasain hidup jadi orang kaya. Bisa beli ini itu, dan aku nggak bakal dibully lagi!" lanjutnya sambil tertawa kecil.

Aku mengetuk kepala Rafael pelan, agar dia sadar diri. Dia bukan siapa-siapa di sini. Aku bukan pamannya, dan kami tak punya hubungan darah.

"Aduh... Kenapa Paman mukul aku?" tanya Rafael heran, sambil menggosok kepalanya.

Aku membuang muka, tak peduli. "Lalu menurutmu, bagaimana dengan warung mie ayam Kek Bruto?" tanyaku, mencoba menggali jawabannya.

"Yah, Paman tinggalin aja. Lagian, dengan beredarnya video jelek tentang warung itu, aku yakin orang-orang nggak bakal beli lagi di sana," jelasnya. "Asal Paman tahu, Erlan nggak akan biarin warung itu berkembang. Dia maunya aku hidup menderita. Tapi kalau dia tahu aku anak orang kaya, dia pasti berhenti gangguin aku."

Aku menatap Rafael dingin. "Tapi ingat, Rafael. Kita nggak punya hubungan apa-apa. Jadi jangan berharap lebih." Sindir ku tak perduli dengan perasaan Rafael.

"Paman... Sekarang aku sudah jadi bagian dari kehidupan Paman. Aku juga sudah anggap Paman sebagai kakak kandungku sendiri. Jadi apapun yang Paman punya, punya aku juga," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Aku menghela napas panjang, tersenyum kecil, tapi tetap bersikap biasa.

"Terserah kamu saja," kataku dingin, lalu pergi ke dalam rumah untuk beristirahat.

"Serius?" ucap Rafael bersinar, lalu melompat riang.

Setelah aku menghilang dari pandangannya, Rafael tersenyum smirk. Seolah sedang merencanakan sesuatu.

Di sisi lain, dua lelaki berpakaian serba hitam berdiri di depan warung mie ayam Kek Bruto. Wajah mereka tertutup masker, gerak-geriknya mencurigakan.

Mereka menyiramkan bensin ke seluruh penjuru warung. Sesekali mata mereka menatap liar ke sekeliling, waspada akan orang yang mungkin melintas.

Salah satu dari mereka melempar korek api.

Dalam sekejap, api menyebar cepat, melahap warung itu tanpa ampun. Si jago merah membesar, membakar habis kenangan dan perjuangan.

Kedua pria itu menatap api dengan puas, tertawa dan saling bertos tanda berhasil. Mereka pun pergi meninggalkan lokasi tanpa ada yang tau.

***

Pagi itu aku berjalan santai menuju warung, tanpa tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Di telingaku mengalun lagu favoritku yaitu berjudul Smells Like Teen Spirit. Lagu itu selalu berhasil membangkitkan semangatku, meski hanya sedikit.

Namun langkahku terhenti ketika mataku menangkap asap hitam pekat membumbung tinggi di kejauhan. Seperti ada kebakaran.

Aku berdiri mematung, menatap tajam ke arah asap itu. Ada sesuatu yang terasa janggal. Tapi aku mencoba berpikir positif. 'Mungkin ada warga yang sedang membakar sampah,' pikirku, menenangkan diri.

"Tapi tunggu... Bukannya itu asap dari arah warung?" gumamku, mulai gelisah. "Nggak mungkin... Apa ini cuma perasaanku saja?"

Tiba-tiba ponselku berdering. Nama yang muncul di layar. Saras, anak dari Pak Bruto.

Aku mengerutkan kening bingung. 'Untuk apa dia menelepon ku.' pikirku

Segera kuangkat telepon itu. Suara Saras terdengar cemas dari seberang.

"Lion, kamu sudah dengar kabar belum?"

Aku bingung. "Kabar? Kabar apa, Saras? Aku belum dengar apa-apa."

"Itu... Warung ayah kebakaran semalam."

"Ha? Serius?" Aku terdiam tak percaya. "Kalau gitu saya segera ke kasana."

Tanpa pikir panjang, aku mematikan telepon dan langsung berlari menuju lokasi.

Begitu sampai, mataku terbelalak. Warung mie ayam yang aku pastikan kemarin aman-aman saja setelah membereskan kekacauan yang dilakukan oleh Erlan dan teman-temannya. kini tinggal puing-puing hangus tak ada yang tersisa. Bahkan rumah Pak Bruto ikut terbakar.

Aku berdiri diam. Tangan mengepal erat. Aku tahu ini bukan kebetulan. Ini ulah mereka—anak-anak itu. Mereka tak puas hanya merusak dan mengunggah video penghinaan. Mereka benar-benar membakar semuanya. Warung, rumah, dan kenangan yang selama ini kujaga... lenyap.

Saras menghampiriku. Wajahnya sulit diartikan—antara sedih, dan bingung.

"Lion, kenapa bisa seperti ini? Warung terbakar... dan juga video itu?"

Aku menoleh padanya, menyesal. Peninggalan terakhir Pak Bruto kini tak bisa diselamatkan.

"Maaf, Saras. Aku benar-benar nggak tahu kalau semua ini akan terjadi. Aku minta maaf karena gagal menjaga warisan terakhir dari Pak Bruto."

Saras menghela napas panjang. Ia tersenyum kecil, mencoba menenangkan aku yang diliputi rasa bersalah.

"Lion, nggak apa-apa. Aku tahu kamu sudah berusaha sebaik mungkin." Ia memegang tanganku. "Yang penting kamu baik-baik saja. Itu sudah cukup buat Ayah di surga sana bersyukur."

Kata-katanya begitu menyentuh. Aku menatap Saras, tersenyum kecil.

"Terima kasih. Sekali lagi, aku minta maaf."

"Iya, sama-sama. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Biar semua ini jadi kenangan saja."

***

Saat bel istirahat berbunyi, semua murid mulai membereskan barang-barang mereka dan bergegas menuju kantin untuk mengisi perut. Tapi tidak untuk Rafael. Ia memilih menghindari Erlan dan teman-temannya, lalu naik ke rooftop sekolah untuk menyendiri dan menghirup udara segar.

Namun saat ia memejamkan mata, suara tawa lepas terdengar mendekat. Rafael segera bersembunyi di balik tembok. Ia mengeluarkan ponsel dan bersiap merekam percakapan mereka yang dia dengar sedang membicarakannya.

Keempat anak itu kini berada di rooftop, bersandar santai sambil mengisap rokok.

"Video itu sekarang ditonton satu juta kali dalam satu malam. Gila, aku nggak nyangka bakal secepat itu FYP-nya," ujar Rio sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

"Tapi bodohnya netizen malah percaya kalau video itu beneran," tambah Erlan, tertawa bersama ketiga temannya.

"Aku dengar warung mie ayam itu kebakaran semalam," kata Sandi sambil menunjukkan video yang beredar.

Mereka segera merapat untuk melihat video itu. Erlan dan Rio tersenyum puas lalu tos.

"Soal kebakaran itu, aku sama Erlan pelakunya," ucap Rio enteng, tersenyum lebar.

Rafael menutup mulutnya, tak percaya kalau mereka akan senekat itu melakukanya. 'Kurang ajar. Mereka belum kenal Paman. Lihat saja... Mereka akan dapat balasan lebih dari dua kali lipat,' batinnya.

"Serius itu kalian yang ngelakuin?" tanya Sandi, terkejut. "Kalian nggak takut ketahuan?"

"Takut? Untuk apa? Rafael sekarang nggak punya apa-apa. Pamannya itu cuma sampah masyarakat yang harus disingkirkan. Mereka pantas dapat pelajaran biar tahu rasanya hidup susah." Ucap Rio tertawa remeh, melipat tangan.

"CK, bukannya mereka memang udah hidup susah?" timpal Erlan sambil menggeleng. "Lagian kita cuma main-main doang kok. Gimana menurutmu, Rio?"

"Yap, setuju banget. Anggap aja kita nggak pernah ngelakuin itu," balas Rio santai.

Arnaldo dan Sandi tertawa, seolah menikmati penderitaan orang lain. Mereka benar-benar kejam.

Setelah itu, Erlan mengeluarkan sebungkus rokok dan membagikannya. Mereka menikmati udara segar sambil merokok, tak sadar Rafael merekam semuanya.

Rafael mematikan kamera, duduk bersandar, lalu mengirim video itu ke Lion. Rafael hanya diam tak bersuara menunggu mereka pergi.

Di sisi lain, aku sedang membereskan barang-barang di kamar untuk pindah ke rumah lamaku. Notifikasi ponsel berbunyi. Sebuah video dari Rafael.

Aku segera menontonnya. Ekspresiku berubah drastis. Marah. Dendam. Tak menyangka anak-anak itu berani berkata seperti itu.

"Sampah masyarakat yang harus disingkirkan."

Aku tertawa hambar. Rio. Anak lelaki berwajah tampan, mulutnya tajam. Aku sudah menyelidiki mereka satu per satu. Tapi yang paling menonjol adalah Rio—anak dari kepala polisi.

"Rio Febrian Feat. Anak kepala polisi yang terkenal karena selalu berhasil menangani kasus berat," gumamku sambil menatap tajam fotonya.

"Dia benar-benar buat aku emosi. Dia harus dihukum," bisikku sambil tersenyum smirk.

***

Malam itu, aku dan Rafael mengenakan topeng iblis dan hoodie hitam. Wajah kami tertutup sebagian.

Aku sudah benar-benar siap, Misi malam ini menangkap Rio. Aku sudah menyiapkan semuanya terutama mobil untuk menculik Rio.

Aku menoleh ke Rafael. "Kamu tunggu di mobil. Nanti aku kasih arahan. Kamu tahu cara bawa mobil, kan?"

Rafael tertawa. "Paman... Motor aja aku nggak punya, apalagi mobil. Mana mungkin aku tahu cara bawa mobil?"

Aku menghela nafas kesal. Bodoh juga aku nanya begitu sama Rafael. Motor saja dia tidak punya apalagi tau membawanya.

"Ya sudah. Diam saja. Jangan berbuat apa-apa."

"Loh, Paman. Aku juga pengen ikut."

"Tidak usah. Nurut saja. Kalau nggak, kamu nggak akan ikut tinggal di rumah Argandara," ancamku.

Rafael mengeleng sambil melambaikan tangan. "Eh, nggak, nggak. Aku di sini aja." Ucapnya cepat lalu akhirnya memposisikan duduknya untuk diam.

"Bagus."

Aku mulai meretas semua CCTV di kawasan klub malam itu, terutama bagian parkiran bawah tanah. Antoni membantuku dari jarak jauh. Ia bukan hanya seorang dokter, tapi juga ahli IT yang sangat cerdas.

Rafael mengintip dari kursi belakang, takjub melihat aku bisa meretas sistem.

Setelah semuanya siap, aku keluar dari mobil. Sapu tangan berisi bius sudah di tangan. Mobil terparkir di parkiran bawah tanah klub malam tempat Rio dan teman-temannya berkumpul.

Aku masuk ke dalam klub. Musik menghentak, orang-orang berpesta, pakaian mereka menggoda iman.

Baru pertama kalinya aku menginjak kaki di tempat seperti ini demi Menghukum Rio yang paling aku tak suka dari sifatnya.

Aku segera masuk lebih dalam dan melihat sekeliling mencari keberadaan Rio yang saat itu sedang bersama ke-dua temannya.

Sandi dan Erlan sedang asik minum-minum. Tapi yang lebih menonjol lagi ada seorang perempuan cantik duduk dipangkuan Rio. Sesekali wanita itu menggoda.

Aku menatap jijik tak percaya. Bukannya mereka berempat? Yang satu lagi ke mana?

Aku tak habis fikir, anak seperti mereka bermain-main di klub malam. Padahal saat aku masih sekolah dulu aku sering dituntut untuk mempunyai nilai yang sempurna.

Aku segera duduk tak jauh dari mereka ingin memantau. Namun, ada seorang wanita menghampiriku sambil sesekali ingin mengodaku. Aku yang tidak tertarik mencuek-nya. Hingga wanita itu kesal pergi dan lanjut bergabung bersama teman-temannya.

Waktu menunjukkan pukul 02:20. Mereka bersiap pulang. Rio, yang sudah mabuk, berpamitan sambil melambai tangan.

Rio segera menuju kearah motornya yang terparkir di parkiran bawah tanah sambil berjalan sempoyongan. Sapu tangan siap, aku mulai memanfaatkan hal itu untuk mendekat dan mulai membiusnya dari arah belakang.

Rio sempat memberontak. Sapu tangan terjatuh. Aku berdecak kesal. Tapi karena ia mabuk, aku dengan mudah menjatuhkannya. Ia pingsan.

Aku menggendong tubuhnya dan membawanya ke mobil.

Rafael, yang tertidur, terbangun saat aku muncul membawa Rio.

"Paman berhasil," ucapnya dengan suara serak.

Aku tak menjawab. Masuk ke mobil dan segera melaju. Misi malam ini berhasil.

Aku mengirim pesan ke Antoni. Target berhasil diamankan. Agar dia bisa mematikan Cctv setiap jalur yang kulewati.

Antoni memang luar biasa. Seorang dokter, sekaligus ahli IT yang bisa meretas sistem dengan presisi. Dan malam ini, bantuannya sangat berarti.

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!