"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdua Saja
Cahaya lembut dari lampu jalanan mulai terlihat. Udara yang Sewindu hirup kian berbeda dari biasanya. Senyumnya mengembang saat menyadari dia sudah sampai di kota tujuannya.
Langit sore kemerahan menyambut kedatangannya dengan begitu hangat. Udaranya mungkin tak sedingin di kota asalnya, tapi Sewindu merasa pulang hari ini.
“Mau langsung pulang apa mampir dulu, Nu?” tanya Ayah yang kini memegang kemudi.
Wisnu yang sudah lelah, menoleh sejenak. “Langsung pulang aja, Yah.”
Mendengar jawaban itu, Ayah melirik Bunda yang duduk di kursi belakang. Keduanya saling melempar senyum sebelum akhirnya sama-sama mengangguk.
Ayah memutar kemudinya saat berada di persimpangan. Wisnu tahu, ini bukan jalan menuju rumahnya. Namun, jalanan ini juga tak lagi asing baginya.
Tak selang begitu lama, mereka tiba di sebuah jalan yang sudah lama tak mereka lewati. Dulu, Wisnu sering berkunjung ke sana untuk menginap, setidaknya satu minggu sekali.
Ayah menghentikan laju kendaraan di depan pagar sebuah rumah joglo modern yang cukup luas. Ada sebuah kolam ikan beserta air mancurnya yang terletak di bagian depan rumah.
Rumah itu tampak begitu tenang dan terawat. Sewindu terperangah saat melihatnya. Bagian rumah itu seperti Jogja yang ada di kepalanya selama ini.
“Ayo, Sayang,” ujar Bunda pada Sewindu yang masih menatap bangunan itu dengan berbinar. Mengajak Sewindu ikut turun lebih dulu.
Bunda membuka pagar lebar-lebar agar mobil mereka dapat masuk ke halaman rumah. Wanita itu menggandeng Sewindu untuk berjalan masuk bersamanya.
Sementara itu, Wisnu tampak bingung. Ini rumah neneknya yang sudah lama disewakan.
“Kok ke sini, Yah?” tanyanya. Meski begitu, Wisnu tetap menurunkan barang-barang miliknya dan Sewindu dari dalam bagasi.
Sejak neneknya meninggal beberapa tahun yang lalu, rumah ini sengaja disewakan oleh keluarganya. Tak ada lagi yang pernah ke sini untuk sekedar melihat kondisi bangunannya.
Ayah yang ditanya seperti itu hanya tersenyum simpul. “Ayo, masuk dulu!”
Suara kunci yang diputar menggema di pemukiman sunyi ini. Mungkin karena hari sudah menuju petang, banyak warga sudah menutup pintu dan jendela masing-masing.
“Rumah Bunda bagus banget,” kata Sewindu masih terkagum dengan sekitarnya.
Bunda tersenyum simpul. “Bukan rumah Bunda, Ndu. Ini rumah neneknya Wisnu.”
Langit kemerahan yang semula menyambut kedatangan mereka, kini semakin gelap bersama bulan yang perlahan muncul di permukaan. Mereka tiba tepat di ujung hari.
Suara derit pintu kayu yang dibuka terdengar pelan. Gelap dan aroma debu menyambut mereka dari dalam sana. Sewindu sampai harus menutup mulut dan hidungnya.
Jajaran kursi dan meja kayu berat terlihat di ruang tamu. Tak ada sekat untuk menuju ruang keluarga, membuat ruangan itu tampak cukup lega dengan lampu gantung yang menyala benderang.
Wisnu menyodorkan tas ransel Sewindu pada pemiliknya. Tangannya sudah cukup penuh dengan dua koper dan sebuah tas besar — milik Sewindu pula.
“Kamu selama ini tinggal di rumah ini, Mas?” tanya Sewindu dengan suara cukup pelan. Tangannya terangkat, menyapu sarang laba-laba di sudut kursi dengan jemarinya.
Wisnu menggeleng. Dia berjalan mendahului Sewindu, meninggalkan istrinya di barisan paling belakang.
Pria itu meletakkan barang bawaannya di atas lantai berdebu begitu saja. Dia mendudukkan dirinya di atas koper — tempat paling bersih saat ini.
“Kan Wisnu tadi jawab mau langsung pulang aja, Yah. kenapa malah ke sini?”
Ayah membalikkan badan, menghadap seluruh anggota keluarganya. “Ya, ini pulang.”
“Kamu sama Sewindu akan tinggal di sini, Nu,” katanya dengan senyum simpul.
Matanya melirik pada Sewindu yang masih berdiri sambil memeluk boneka anjingnya. Di bahunya sudah bergelayut sebuah tas ransel yang tentu cukup berat.
“Daripada rumah ini kosong, lebih baik kalian tempati saja. Lagi pula, bangunannya masih layak huni.”
Bunda mengangguk setuju. “Sekalian juga, kalian bisa belajar membangun rumah tangga tanpa campur tangan kami, para orang tua. Belajar lebih mandiri lagi.”
Mendengar itu, Sewindu cengo di tempatnya. Dia kira, dia akan tinggal bersama dengan Bunda dan Ayah juga selama ada di Jogja. Siapa sangka dia harus langsung tinggal dengan Wisnu — berdua saja.
Matanya menyusuri setiap sudut rumah yang sebelumnya dia kagumi itu. Sarang laba-laba dan debu menggantung di udara. “Rumah ini sudah kosong berapa lama, Bunda?”
Wanita itu tampak terdiam sebentar, matanya menyipit — mencoba mengingat. “Nggak lama kok, baru beberapa bulan.”
Wisnu yang mendengar itu, lantas mencibir, “Beberapa bulannya kalau dari Wisnu selesai internship juga udah lama kali, Bun.”
“Ini kan kita baru sampai, masa harus langsung bersih-bersih rumah, Bun? Kasihan loh, Sewindu pasti capek,” lanjutnya sambil melirik Sewindu.
Dalam hatinya, Sewindu mencibir Wisnu. Seharusnya, terus terang saja kalau pria itu memang lelah, tidak usah menggunakan dirinya yang sedari tadi hanya diam di sana.
Sementara itu, Bunda menyahut, "Kan kalian bisa kerja sama. Memangnya, kamu mau leha-leha saja sambil nonton istrimu bersih-bersih?"
Sepasang pengantin baru itu saling berpandangan. Sorot mata Wisnu meminta Sewindu untuk berbicara, sementara gadis itu tak mengerti sinyal yang dikirimkan Wisnu.
Menyadari kesunyian itu, Ayah menganggapnya sebagai setuju. pria itu langsung kembali mengambil kunci mobil di dalam sakunya.
"Oke! Kalau begitu, Ayah sama Bunda pamit dulu," katanya sambil berjalan keluar bersama Bunda.
Mau tak mau, Wisnu dan Sewindu mengekor untuk mengantar mereka. Tak lupa mereka mencium tangan Ayah dan Bunda.
"Besok, biar Bunda antarkan barang-barangmu, Nu."
"Jangan!" Wisnu sontak berseru dengan mata melebar panik.
"Nggak usah, Bunda. Biar Wisnu ambil sendiri saja, sekalian biar Sewindu ikut ke sana nanti."
Mendengar jawaban cepat itu, Bunda lantas mengangguk. "Ya sudah, kami pamit dulu."
Setelahnya, mobil itu melesat membelah jalanan Jogja di malam hari. Meninggalkan sepasang pengantin baru dengan rasa canggung mereka.
Wisnu menoleh pada Sewindu yang berdiri di sebelahnya. Wajahnya kembali berubah dingin, tak seperti beberapa saat yang lalu.
"Kamu sengaja mau berduaan sama saya?" tanyanya menelisik.
Gadis dengan boneka anjing di pelukannya itu menggeleng. "Kita berakhir di sini kan juga gara-gara jawabanmu, Mas."
"Saya tadi sudah kasih kode ke kamu buat membujuk Bunda dan Ayah, biar kita bisa ikut pulang sama mereka."
"Kode kamu kurang jelas," sahut Sewindu.
"Lagian lebih enak di sini, Mas. Kita nggak harus tidur bareng kayak kemarin."
Karena langit yang semakin gelap, Sewindu berjalan menuju sakelar lampu yang ada di ujung dinding. Dia berniat menyalakan lampu teras.
Namun, benda itu malah berkedip beberapa kali sebelum akhirnya meledak begitu saja. Pecahan bohlam kocar-kacir di permukaan lantai.
Sewindu meringis di tempatnya. "Maaf. Salah lampunya, pasti udah lama nggak diganti."
Wisnu yang melihat itu lantas menghela nafas panjang. Ini baru hari pertama, dan dia harus menjalani hari-hari berikutnya dengan gadis itu.
Pria itu melangkah lebih dulu. "Masuk! Bersihkan kamar masing-masing dulu!"