Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 – Bayangan di Arena
Hari itu, aula pelatihan Akademi Aeryndor dipenuhi murid. Bangunan melingkar itu mirip koloseum, dengan atap tinggi yang dihiasi jendela kristal, membiarkan cahaya matahari jatuh lurus ke arena pasir di tengah. Suara riuh murid bercampur dengan dentingan logam dan gemuruh sihir.
Hari ini bukan hari biasa—ini adalah Ujian Pertarungan Pertama, momen di mana para murid baru akan memperlihatkan kemampuan mereka di hadapan guru dan senior. Kael duduk di bangku paling belakang, tangannya menggenggam erat lututnya.
“Kenapa harus ada duel?” gumamnya pelan.
Lyra, yang duduk di sampingnya, menoleh dengan senyum semangat. “Karena di sinilah kita membuktikan diri! Jangan khawatir, aku yakin kau bisa.”
Kael tidak menjawab. Ia ingat betapa sulitnya mengendalikan bayangan malam itu. Meski ia berhasil menenangkan kekuatan itu, ia tahu betul betapa rapuh kendalinya.
Satu per satu murid dipanggil ke arena. Mereka menunjukkan kemampuan—bola api meluncur, angin membentuk pisau tipis, air mengalir seperti cambuk. Sorakan bergemuruh setiap kali ada murid yang menampilkan teknik spektakuler.
Hingga tiba giliran Eryndor Valek. Dengan langkah penuh percaya diri, ia masuk ke tengah arena. Tongkat sihirnya berkilau merah, dan dalam sekejap bola api sebesar kerbau muncul di atas telapak tangannya. Ia menghempaskannya ke target kayu, dan seketika patung itu meledak menjadi abu.
“Luar biasa!” teriak seorang murid.
“Tak heran, dia pewaris keluarga Valek.”
Eryndor tersenyum tipis, lalu mengangkat pandangannya ke arah tribun tempat Kael duduk. Senyum itu berubah menjadi ejekan halus, seolah berkata: Giliranmu akan menjadi bahan tawa.
Nama Kael dipanggil. Suara di aula mereda, seakan semua menunggu. Ia menelan ludah, berdiri dengan langkah kaku, dan turun ke arena. Detak jantungnya menggema di telinga.
“Kael Ardyn, gunakan sihirmu,” ujar pengawas dengan nada datar.
Kael menutup mata, mengangkat tangannya. Bayangan di sekitarnya merespons—perlahan merambat dari kakinya, lalu berputar di tanah seperti kabut hitam. Suara kecil terdengar di antara penonton:
“Itu dia… sihir bayangan.”
“Berbahaya sekali.”
“Apakah akademi gila membiarkan dia belajar di sini?”
Kael mencoba mengabaikannya. Ia mengingat kata-kata Orlan: Jangan melawan bayangan, rangkul dia.
Namun tepat saat ia mulai memusatkan fokus, suara lantang memotong.
“Boleh aku menjadi lawannya?”
Itu suara Eryndor. Ia melangkah ke tengah arena dengan penuh tantangan. Para murid bersorak, sebagian besar mendukung duel itu.
Pengawas mengangkat alis, ragu. Namun akhirnya mengangguk. “Baiklah. Duel singkat. Tidak sampai melukai fatal.”
Pertarungan dimulai.
Eryndor bergerak cepat, melontarkan api dari tongkatnya. Bola api menyambar ke arah Kael, memaksa Kael berguling menghindar. Panas menyengat kulitnya. Sorakan penonton bergema:
“Valek! Valek! Valek!”
Kael bangkit dengan susah payah. Bayangan di sekelilingnya berputar liar, bereaksi terhadap ketakutannya. Cakar hitam muncul dari tanah, menangkis semburan api.
Penonton terdiam sejenak, lalu bergemuruh.
“Dia… bisa melawan api itu?!”
Eryndor menyipitkan mata. “Jadi kutukanmu tidak hanya untuk ditakuti, ya? Tapi mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan!”
Ia mengangkat tongkat, api menjelma naga kecil yang mengaum dan menyambar Kael.
Kael merasakan bayangan di tubuhnya bergolak, hampir lepas kendali. Tapi ia teringat wajah Lyra, kata-kata semangatnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membiarkan bayangan itu mengalir tanpa melawan.
Bayangan naik dari tanah, membentuk perisai hitam pekat. Naga api menabraknya—BOOOM!—ledakan besar mengguncang arena, asap memenuhi udara.
Saat asap mereda, Kael masih berdiri. Bayangannya melingkar melindungi tubuhnya, meski tangannya gemetar hebat. Penonton tercengang.
Eryndor melangkah mundur, wajahnya merah karena marah sekaligus terkejut. “Itu… mustahil.”
Sementara itu, Lyra berdiri dari bangku penonton, bersorak keras. “Kau berhasil, Kael!”
Pengawas segera menghentikan duel. “Cukup! Itu sudah lebih dari bukti kemampuan.”
Sorakan, bisikan, dan tatapan bercampur memenuhi aula. Ada yang terpukau, ada yang ketakutan. Kael menunduk, menahan napas berat, lalu berjalan kembali ke tribun.
Saat ia melewati Lyra, gadis itu menepuk bahunya dengan senyum bangga. “Kau tidak lagi sendirian, Kael.”
Namun jauh di pojok tribun, seorang sosok berjubah hitam memperhatikan dengan senyum samar.
“Bayangan itu… akhirnya bangkit kembali,” bisiknya.
Dan Kael, meski baru saja membuktikan dirinya, tidak tahu bahwa pertarungan kecil ini hanyalah awal dari badai besar yang akan menelannya.