Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Dunia Tanpamu Sepi
Hari-hari berlalu, tapi keheningan itu tetap ada.
Elvareon masih belum muncul di grup chat mereka. Tak ada tanda “online”, tak ada balasan meski Kaivan dan Brianna terus mencoba menghidupkan suasana dengan candaan atau foto random kegiatan mereka di kampus. Semua terasa hampa.
Achazia duduk di bangku panjang balkon lantai tiga asramanya, memandang langit senja yang mulai berwarna jingga. Di tangannya, buku catatan terbuka dengan halaman kosong, seolah menjadi cermin hatinya sendiri.
Dunia… tanpa Elvareon terasa sepi.
Ia memejamkan mata, membiarkan angin sore mengacak rambutnya. Setiap hari ia berusaha menjalani rutinitas, pergi ke kelas, mengerjakan tugas, mendengarkan dosen. Tapi di antara keramaian, ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak bisa diisi siapa pun.
Kangen itu bentuknya aneh. Kadang datang diam-diam saat melihat catatan kecil di sudut meja. Kadang terasa sesak saat melihat candaan yang biasa mereka kirim di grup. Bahkan melihat warna langit pun bisa membuatnya ingin menangis.
“Zia! Hei, Zia!” suara Ciara membuyarkan lamunannya.
Achazia menoleh. Ciara berdiri di ambang pintu balkon, membawa dua cup minuman boba di tangannya.
“Kamu lagi melamun lagi, kan? Nih, aku bawa obatnya!” kata Ciara sambil menyodorkan salah satu cup.
Achazia tersenyum lemah. “Thanks, Ra.”
"Eh, kok kamu bisa masuk ke asramaku?" tanya Achazia
"Satpamnya tadi gak ada. Ya udah deh aku nerobos masuk aja." ucapnya tak berdosa.
Achazia ingin tertawa melihat temannya yang blak-blakkan itu tapi dia menahannya.
Ciara duduk di sampingnya. Mereka berdua menatap langit sore tanpa bicara beberapa saat. Hanya suara angin dan hiruk-pikuk samar dari lapangan kampus yang menemani.
“Kamu masih mikirin dia?” tanya Ciara akhirnya.
Achazia mengangguk pelan. “Setiap hari. Rasanya… aneh. Kayak aku hidup, tapi setengah diriku tertinggal.”
Ciara menyesap bobanya, lalu berkata, “Aku ngerti. Tapi Zia, kamu gak boleh biarin dunia kamu berhenti berputar karena satu orang. Kamu sayang dia, aku paham. Tapi Elvareon gak akan senang kalau tahu kamu kayak gini.”
Achazia menunduk. “Aku tahu. Tapi itu susah, Ra. Setiap aku mau melangkah, aku selalu mikir… apa Elvareon baik-baik aja di sana? Apa dia juga kangen sama aku?”
Ciara terdiam sejenak, lalu menatap Achazia serius. “Zia, denger ya. Aku tahu rasanya dipaksa kuat saat hati kamu rapuh. Tapi kamu tuh gak sendiri. Kamu punya aku, Brianna, Kaivan. Kita semua di sini. Elvareon juga pasti mikirin kamu, tapi mungkin dia butuh waktu. Sementara itu, kamu harus tetap berjalan.”
Kata-kata Ciara perlahan menembus dinding hati Achazia. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Iya, Ra. Aku bakal coba.”
Beberapa hari berikutnya, Achazia mulai memaksa dirinya lebih fokus ke mimpinya. Ia kembali ke studio make-up kampus, mulai mengerjakan project riasan sederhana. Meski awalnya terasa berat, tapi perlahan ia menemukan ketenangan saat memegang kuas dan palet warna.
Di satu sesi latihan, Ciara muncul dengan senyum lebar.
“Zia, aku bawa model dadakan buat kamu!” katanya sambil menarik lengan seorang teman mereka.
Achazia tertawa kecil. “Ra, kamu serius banget sih jadi manajer aku.”
Ciara menyeringai. “Lha iya dong, siapa lagi yang bakal push kamu maju kalau bukan aku?”
Hari itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Achazia bisa tersenyum tanpa beban. Meski bayang-bayang Elvareon tetap ada, tapi kini ada tangan-tangan lain yang membantunya berjalan.
Malam harinya, grup chat mereka kembali sunyi.
Kaivan: "Bri, Zia, aku udah coba kontak temanku yang di IGD, tapi katanya Elvareon masih ambil cuti. Katanya dia disuruh full istirahat."
Brianna: "Aku pengen marah, tapi juga kasihan. Dia tuh keras kepala banget."
Achazia: "Kita tunggu dia ya… Kita harus tetep ada di sini."
Achazia menatap layar ponselnya. Tangannya gemetar, tapi ia memaksakan diri menulis lagi di buku catatannya.
“Elvareon, dunia tanpamu sepi. Tapi aku gak mau kamu pulang ke dunia ini dalam keadaan hancur. Aku di sini, nunggu kamu sembuh. Nunggu kamu pulang, meski aku gak tahu kapan.”
Air mata mengalir tanpa ia sadari. Tapi kali ini, ia biarkan saja. Ia biarkan rasa rindunya mengalir bersama tinta di halaman buku itu.
Keesokan harinya, Ciara kembali menghampirinya di kelas.
“Zia, weekend ini kamu ikut aku ya. Kita pergi cari angin. Jangan bilang kamu mau ngurung diri lagi, ya.”
Achazia tersenyum kecil. “Oke, aku ikut.”
Ciara tersenyum lebar. “Good. Kita bakal buat dunia kamu penuh warna lagi, pelan-pelan.”
Di sisi lain, Brianna dan Kaivan juga berusaha keras mencari tahu kabar Elvareon, meski dengan keterbatasan jarak. Mereka sering video call hanya untuk saling menyemangati.
“Aku gak mau Zia ngerasa dia sendirian,” ujar Brianna di salah satu panggilan.
“Aku juga. Kita harus kuat buat dia,” jawab Kaivan.
Mereka bertiga tahu, meski dunia tanpa Elvareon terasa sepi, mereka tidak boleh tenggelam dalam kekosongan itu.
Sabtu pagi, Achazia dan Ciara pergi ke sebuah taman kota. Udara segar, angin lembut, dan suara gemericik air mancur menyambut mereka.
“Zia, hidup itu kayak taman ini. Ada musim panas, musim hujan, ada bunga yang mekar, ada yang gugur. Tapi selama akarnya kuat, dia gak akan mati,” ujar Ciara sambil menatap pepohonan rindang.
Achazia tersenyum. “Ra, kamu kok bijak banget sih hari ini?”
Ciara tertawa. “Aku tuh banyak baca quotes, Zia. Tapi serius, kamu tuh kuat. Cuma kamu aja yang suka gak sadar.”
Mereka duduk di bangku taman, menikmati keheningan yang kini terasa sedikit lebih hangat. Achazia menatap langit biru, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa bisa bernapas lebih lega.
Malamnya, di kamar asramanya, Achazia membuka kotak suratnya lagi.
Lima surat yang tak pernah terkirim. Satu surat yang ia titipkan pada Ciara. Dan kini, ia menulis surat ketujuh.
“Elvareon, aku gak tahu kapan kamu membaca ini. Tapi aku percaya, kamu sedang membaca hatiku sekarang. Aku akan terus berjalan. Dunia tanpamu sepi, tapi aku gak akan berhenti. Karena aku tahu, suatu hari nanti, dunia ini akan kembali penuh warna… saat kamu kembali berdiri di sisiku.”
Ia menutup surat itu dengan tenang.
Tidak ada air mata malam ini. Hanya ada keteguhan, meski kecil, tapi nyata.
Achazia menyimpan kembali surat itu dikotak suratnya dan menguncinya dengan rapat. Dia lalu naik ke tempat tidur dan membenamkan wajahnya dibantal. Perlahan dia menutup matanya dan berusaha untuk tidak memikirkan Elvareon didalam tidurnya.