Perlu waktu lama untuknya menyadari semua hal-hal yang terjadi dalam hidupnya.
suka, duka, mistis, magis, dan diluar nalar terjadi pada tubuh kecilnya.
ini bukan tentang perjalanan yang biasa, inilah petualangan fantastis seorang anak berusia 12 tahun, ya dia KINASIH.
Pernah kepikiran engga kalau kalian tiba-tiba diseret masuk ke dunia fantasi?
kalau belum, mari ikuti petualangan kinasih dan rasakan keseruan-keseruan di dunia fantasi.
SELAMAT MEMBACA..!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rona Aksara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Sang Penyembuh Yang Terlupakan
Dari kejauhan, terlihat sebuah bangunan yang dibentuk dengan beberapa bongkahan batu besar. Seperti bukan rumah namun para goblin menyebutnya dengan sebutan rumah. Bagi mereka, rumah hanyalah tempat berteduh dari cuaca hujan dan badai. Tak peduli bagaimana ada atau tidak adanya bentuk dari rumah pada umumnya.
Kinasih dan ester telah menempuh jarak yang tak begitu jauh. Namun karena hawa panas yang menyengat, membuat perjalanan ini terasa seperti satu minggu perjalanan jalur darat.
"Dimana rumahmu, ester." Kinasih terengah-engah. Langkahnya semakin gontai.
"Di depan. Kau lihat ada bongkahan batu di depan?."
Kinasih menyipitkan kedua matanya. Dia melihat beberapa bongkahan batu yang disusun tanpa bentuk yang jelas. Namun semakin lama penglihatannya semakin kabur. Pandangannya semakin berkunang-kunang. Sepersekian detik tubuh kinasih ambruk di tengah hamparan padang rumput. Dehidrasi.
"HEI, KAU KENAPA, ASIH? CEPAT BANGUN." teriak ester sembari menggoyang-goyangkan tubuh kinasih.
Kinasih tak kunjung terbangun. Ester yang mulai panik segera berlarian menuju desanya yang sudah berada dekat di depan mata.
"TOLONG, TOLONG." teriak ester. Dia segera masuk ke dalam rumahnya.
"Ada apa ester? Mengapa kau berteriak begitu?." tanya Kakaknya.
"CEPAT, KAK. ADA MANUSIA YANG PINGSAN DI PADANG RUMPUT."
Kakaknya yang panik tanpa pikir panjang segera berlari mengikuti langkah ester. Kinasih yang tergeletak pingsan segera diangkat olehnya. Dengan tubuh yang berisi dan terlihat otot di kedua lengannya. Dia dengan mudahnya mengangkat tubuh kinasih dan segera memanggulnya.
Dia—kakak ester, lalu segera membaringkan tubuh kinasih diatas sehelai permadani. Ester yang panik hanya mampu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Tanda dia kebingungan.
Dia—kakak ester, dengan cepat mengambil sebuah tasbih kecil dan mengatupkan kedua tangannya. Dia lalu merapalkan sebuah mantra.
"Plene Sanatus." —Sebuah Mantra penyembuh untuk semua makhluk hidup ketika tak sadarkan diri, terkena serangan, atau bahkan hampir diujung kematiannya. Hanya orang-orang terpilih yang mampu menggunakan sihir tersebut. Dan dijuluki sebagai Healer.
Cahaya berwarna putih bersih tanpa debu segera menyelimuti seluruh badan kinasih. Dalam hitungan detik. Tubuh kinasih mulai menggeliat. Lalu perlahan kedua matanya terbuka.
Kakak ester tersenyum lega. Ternyata dia masih bisa mengandalkan sihirnya. Meskipun dia telah lama tidak menggunakan sihir itu untuk menyembuhkan makhluk hidup.
"Kau siuman juga, dik." Kakak ester tersenyum.
Kinasih yang melihat goblin perempuan dengan tubuh yang besar dan berotot seketika terperanjat.
"JANGAN MENDEKAT." Teriak kinasih sambil menunjuk-nunjuk goblin tersebut.
Ester tertawa melihat tingkah laku kinasih. "Hei tenanglah, dia kakakku. Bukan goblin jahat, asih."
"Oh.. Namamu asih? Salam kenal ya, aku ella, kakak perempuan ester. Memang tubuhku tidak se ramping para goblin perempuan yang lain. Namun, aku tetaplah bukan goblin yang jahat."
Kinasih mengatur napas. Jantungnya sepersekian detik yang lalu seakan berhenti berdetak, ketika melihat sosok kakak ester di hadapannya.
"A-a-aku harus memanggilmu, apa? kakak juga?" Ucap kinasih terbata-bata.
"Tidak usah, asih. Panggil saja aku ella. Cukup ester yang memanggilku dengan sebutan kakak. Anggaplah aku sebagai kawanmu, ya." Ella mengulurkan tangannya.
Kinasih balas menjabat tangan ella. Meskipun sebenarnya dia masih takut dengan tampang ella yang seolah mengerikan.
"Terima kasih, ella. Kau telah menyembuhkanku." Ucap kinasih sambil menundukkan kepala.
"Tenang saja, kau hanya dehidrasi. Ras manusia memang tidak bisa bertahan lama di bawah terik matahari tanpa ada cairan di tubuhnya." Ella mencoba menjelaskan. Lalu menyodorkan sebuah batu—yang dibentuk seperti sebuah gelas kepada kinasih. "Minumlah dulu, asih."
Kinasih segera menghabiskan segelas air yang diberikan oleh ella.
"Kemana ibu dan bapak kalian?." tanya kinasih dengan polosnya. Sambil mengusap tetesan air di bawah bibirnya.
Ester dan Ella saling tatap. Lalu tersenyum simpul.
"Kami, ras goblin, hidup nomaden. Kita selalu berpindah-pindah tempat sesuai kebutuhan. Kali ini giliranku menjaga adikku untuk bersekolah di akademi sihir. Bapak dan ibuku ada di suatu tempat. Kita juga tidak tahu dimana keberadaan mereka sekarang." Ella menjelaskan secara singkat.
"Betul apa yang dikatakan kakakku, asih. Kami ras goblin adalah ras yang paling lemah di dunia fantasi ini. Maka dari itu, kita dengan senang hati jika ada yang mau mengajarkan kami bagaimana menggunakan sihir." Ester menambahkan.
Kinasih mengangguk. "Apakah kau tidak takut belajar sihir di tempat suram seperti itu, ester?."
Ester menggeleng. Baginya menguasai sihir adalah kewajiban. Seperti hal nya kakaknya. Ella bisa menggunakan sihir penyembuh. Ella juga bisa melindungi ester sejauh ini. Namun takdir berkata lain, ester dihadapkan oleh kenyataan jika ternyata sihir tak semudah itu untuk dipelajari.
"Ngomong-ngomong, apakah kau punya kekuatan sihir, asih?" Tanya ella.
"thunder blue storm. Itu kekuatanku. Aku bisa mengendalikan petir sesuai keinginanku. Namun sejauh ini aku belum terlalu terlatih dengan kekuatan itu."
Ester terperanjat. "Astaga, pantas saja tadi kau muncul dari langit bersamaan dengan petir bersahut-sahutan."
"Mungkin aku bisa membantumu, asih. Tunggu sebentar." Ella pergi menuju sebuah ruangan yang gelap di dalam rumah batu itu.
Beberapa saat kemudian. Ella kembali dengan membawa sepasang sarung tangan.
"Jika kau merasa kesulitan untuk mengendalikan kekuatanmu. Pakailah sarung tangan ini. Sarung tangan ini akan memicu kekuatanmu, dan membuatnya semakin mudah untuk dikendalikan." Ella menyodorkan sepasang sarung tangan tersebut kepada kinasih.
"Ini milikmu, ella?"
"iya, aku menggunakannya ketika aku belum mampu sepenuhnya menggunakan sihir penyembuhku."
"Siapa yang membuatnya?."
"Tuan Darko. Aku pernah bertemu dengannya suatu waktu di dalam perjalananku saat ingin berpindah tempat. Saat itu tuan darko terluka. Aku mencoba menyembuhkannya dan berhasil. Namun sayang, tidak sepenuhnya luka tuan darko sembuh karena aku belum mahir menggunakan kekuatanku."
Ella diam sejenak.
"lalu, tuan darko memberiku sepasang sarung tangan itu. Dan beliau berpesan bahwa jika aku sudah tidak membutuhkan sarung tangan itu lagi, berikan sarung tangan tersebut kepada yang lain hingga sarung tangan itu kembali padanya."
Ester hanya terdiam sepanjang kakaknya menceritakan kisah masa lalu itu.
"Jadi, sebenarnya kau bukanlah goblin biasa, ella?."
Ella mengangguk. Lalu dia menunduk. Sedih. Perlahan air matanya menetes.
"Kak, jangan menangis. Jika kau tak mampu menceritakannya, lain hari bisa aku ceritakan kepada kinasih." Ester mencoba menenangkan kakaknya.
"Tidak usah, ester. Biar aku yang menjelaskan."
Kinasih menelan ludah. "sepertinya ini akan menjadi kisah yang menyedihkan." ujarnya dalam hati.
"Aku adalah seorang healer. Atau penyembuh. Aku pernah bersekolah di akademi Fonte de Magia. Aku adalah murid yang berbakat. Bukan sebagai ahli sihir mematikan, melainkan sebagai ahli sihir penyembuh. Namun, ras goblin menganggapku lemah. Menurut mereka, jika goblin tidak memiliki kekuatan untuk menghancurkan itu sama saja dengan lemah. Lalu aku dikucilkan dari desa ku. Waktu itu usiaku baru menginjak 12 tahun. Aku terpaksa berpindah tempat sendirian. Setelah bertemu dengan tuan darko dan aku memiliki sepasang sarung tangan, aku akhirnya berkelana di dunia fantasi ini. Sendirian, tanpa ada satupun teman. Aku banyak membantu ras lain dalam hal penyembuhan. Lalu aku dijuluki sebagai Ella sang penyembuh."
Ella menghentikan ceritanya.
"Ada apa, ella. Lanjutkan ceritamu" Pinta Kinasih.
"Sebentar, asih. Ini adalah bagian paling sedih dalam hidup kakakku. Biarkan dia berhenti bercerita sejenak." Ucap ester.
Ella menghela napas panjang. Lalu melanjutkan ceritanya.
"Pada suatu ketika, aku tidak berhasil menyembuhkan kelompok ninja bayangan di pertarungan mereka melawan troll raksasa. Banyak korban berjatuhan. Aku tidak mampu menyembuhkan puluhan ninja yang terluka tanpa adanya teman. Lalu seorang ninja mengusirku. Dan menganggapku lemah. Kedua kalinya aku diusir karena aku dianggap lemah. Pada akhirnya aku merasa putus asa. Lalu aku melepas sarung tangan yang diberikan tuan darko. Dan mengasingkan diri bersama keluargaku." Ella meneteskan air mata. Semburat cahaya kesedihan masih nampak pada raut wajahnya.
"Dan kini, Ella sang penyembuh telah dilupakan oleh semua makhluk di dunia fantasi ini." Ester menimpali. Lalu segera memeluk kakaknya yang menangis.
Napas kinasih tercekat mendengar cerita masa lalu ella. Perlahan dia tak bisa menahan air matanya. Kinasih pun terbawa suasana dan ikut menangis. Dia merasa bahwa masih banyak hal-hal menyakitkan yang lebih sakit dibanding kejadian yang menimpa ratu reyna di hutan hujan.
...
Keesokan harinya,
KRIETT... BLAM...
Suara pintu ruang kelas dibuka paksa.
"KAU TERLAMBAT LAGI, ESTER!!." bentak ma'am stella.
"Maaf ma'am, saya harus bega..."
"Kali ini tidak ada maaf bagimu. Keluar sekarang atau ku hapuskan kau dengan sihirku." Ma'am stella tersulut emosi melihat ester yang selalu terlambat dalam seminggu ini.
Tanpa pikir panjang ester segera berlari. Menjauh dari ruang kelas. Dia tak tahu kali ini harus pergi kemana. Dia terus berlari diantara lorong bangunan akademi yang sunyi dan lengang.
Diujung lorong. Dia melihat sebuah cahaya yang bersinar. Cahaya itu berwarna seperti pelangi. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Lalu perlahan mendekati sumber cahaya tersebut.
Dia mengendap-endap dari balik jendela. Dilihatnya Adelle sedang asyik memainkan sihirnya di dalam ruangan itu. Ester membaca nama ruangan tersebut "ruang kimia. Apa yang dilakukannya disini?." gumamnya dalam hati.
BRAKK...
Ester membuka pintu ruangan kimia. "Hei, adelle. Apa yang kau lakukan disini?."
Adelle spontan menyembunyikan tongkat sihir dibalik tubuhnya. Seragamnya terlihat sangat kotor. Penuh dengan cipratan warna yang tidak jelas.
"oh my god, i'm sorry, ester. Kenapa tidak kau ketuk dulu pintunya. Aku kira ma'am stella yang membuka pintu itu." Adelle segera merapikan barang-barang eksperimen miliknya.
"Apa yang ingin kau buat?." Ester mencoba menyelidik.
Adelle terdiam. Napasnya tercekat. Seperti sedang di interogasi oleh seorang penjahat.
"Kenapa kau diam, hah? oh, jangan-jangan kau mau menghancurkan akademi ini, ya?."
Perkataan ester semakin membuat adelle terpojok. Semakin terpojok. Adelle pun tak berkutik di hadapan ester yang semakin menyelidik.
......Bersambung......