Seorang dokter jenius dari satuan angkatan darat meninggal karena tanpa sengaja menginjak ranjau yang di pasang untuk musuh.
Tapi bukanya ke akhirat ia justru ke dunia lain dan menemukan takdirnya yang luar biasa.
ingin tau kelanjutannya ayo ikuti kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Ketika mereka kembali ke istana, seluruh aula sudah menunggu. Kaisar Xiang, Permaisuri, Wu Jing, dan semua bangsawan langsung berlutut melihat mereka kembali dengan cahaya menyelimuti tubuh.
“Ratu agung…” suara Kaisar gemetar. “Xiang berutang nyawa pada kalian.”
Xiaoran hanya menggeleng pelan. “Aku bukan ratu agung untuk dipuja. Aku hanya pedang yang menahan kabut. Ingatlah itu.”
Namun kata-kata itu justru membuat para pejabat semakin kagum dan sebagian iri.
Mo Feng berdiri di sisi Xiaoran, menatap para bangsawan tajam. “Ingat, musuh kita bukan hanya kabut. Tapi juga hati manusia yang tergoda kabut. Tikus-tikus itu masih bersembunyi di antara kalian.”
Ruangan hening. Beberapa pejabat pucat, menunduk, takut ketahuan.
Wu Jing menatap mereka tajam, lalu bersuara. “Benar. Mulai malam ini, kita akan mencari pengkhianat di dalam istana. Dan bagi siapa pun yang mencoba menyentuh segel lagi… tidak ada ampun.”
Xiumei menoleh pada Xiaoran, berbisik lirih. “Ran’er… aku merasa ini baru permulaan. Segel berikutnya… lebih dekat dari yang kita kira.”
Xiaoran menggenggam pedangnya erat. Di matanya, kilau tekad menyala. “Kalau begitu, mari kita bersiap. Karena perang ini… belum selesai.”
Dan malam itu, bintang-bintang di langit Xiang berkilau pucat, seakan menjadi saksi bahwa dunia baru saja memasuki zaman yang berbeda.
Malam di Xiang seolah tertelan keheningan yang ganjil. Setelah pertempuran di gerbang timur, kota masih bergetar dalam ketakutan. Api sisa pertempuran padam perlahan, asap hitam menggantung di udara. Warga bersembunyi di rumah mereka, sebagian menangis kehilangan kerabat, sebagian lain bersyukur karena selamat.
Namun di langit, bintang seakan lebih pucat dari biasanya. Seolah menyiratkan: badai berikutnya hanya menunggu waktu.
Li Xiaoran berdiri di balkon istana, jubah perak-ungu yang masih bercahaya redup menempel di tubuhnya. Tangannya menggenggam pedang, matanya menatap jauh ke horizon timur, tempat segel baru saja ditutup.
Mo Feng berdiri tak jauh di belakangnya, tubuh tegap dengan jubah hitam-ungu yang berkilau samar. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh badai.
“Kau terlihat… lebih pucat dari biasanya, Xiaoran,” katanya pelan.
Xiaoran tersenyum tipis, tanpa menoleh. “Aku hanya lelah. Menahan segel itu… hampir menguras seluruh tubuhku. Tapi aku tidak boleh jatuh. Belum sekarang.”
“Benar.” Mo Feng menyipitkan mata, menatap bintang. “Karena ini baru awal. Aku bisa merasakan getarannya… segel ketiga sudah mulai bereaksi.”
Xiaoran menoleh cepat. “Segel ketiga?!”
Mo Feng mengangguk. “Kali ini, bukan di Xiang. Tapi lebih jauh… di perbatasan barat, dekat pegunungan kabut.”
Sebelum Xiaoran sempat menjawab, suara langkah mendekat. Xiumei datang, wajahnya masih pucat, tubuhnya gemetar, tapi sorot matanya tetap teguh. “Aku mendengar percakapan kalian. Kalau segel ketiga bangkit, kita harus bergerak cepat. Kalau tidak, kabut akan menyebar ke seluruh wilayah barat dan menghancurkan desa-desa sebelum kita tiba.”
Xiaoran menggenggam tangan kakaknya. “jie jie, kau baru saja menggunakan roh leluhur untuk menutup segel kedua. Tubuhmu belum pulih. Kau tidak boleh ikut bertarung.”
“Tapi aku harus,” jawab Xiumei tegas. “Tanpa darahku, segel tak akan bisa diperbaiki. Ran’er, jangan halangi aku. Aku tahu risikonya, dan aku rela.”
Mo Feng memperhatikan mereka berdua. “Kalian berdua… memang keras kepala. Mungkin itu alasan langit memilih kalian.”
----
Di sisi lain istana, para pejabat berkumpul di ruang pertemuan rahasia. Lampu minyak berkelip, wajah-wajah pucat menatap satu sama lain dengan gugup.
Menteri Han, yang sebelumnya dipermalukan oleh makhluk ilahi, kini duduk dengan keringat dingin membasahi keningnya. “Kita tidak bisa terus seperti ini. Jika makhluk-makhluk itu benar-benar mendukung Li Xiaoran, maka kekuasaan kita semua akan hilang. Bahkan Kaisar sendiri tak akan berarti di hadapan ‘ratu agung’ itu.”
Beberapa pejabat lain mengangguk cemas. Salah satu dari mereka berbisik, “Tapi bagaimana kita bisa melawan makhluk ilahi? Kita hanyalah manusia.”
Seorang pria berwajah tirus, berpakaian hitam sederhana, tersenyum tipis. “Kita tidak perlu melawan mereka langsung.” Suaranya dingin. “Kita hanya perlu mengundang kabut untuk melakukannya bagi kita.
“Siapa kau berani berbicara begitu?!” bentak Menteri Han.
Pria itu berdiri, matanya menyala samar merah. Dari tubuhnya keluar kabut tipis, membuat semua yang ada di ruangan itu terdiam ngeri.
“Aku utusan,” katanya lirih. “Kabut telah memilih sebagian dari kalian. Kalian yang haus kuasa, kalian yang tak puas dengan Kaisar maupun ratu palsu itu… kami bisa memberimu kekuatan.”
Ia membuka telapak tangannya. Kabut merah kecil melayang, berputar bagaikan nyala api jahat.
“Terima ini,” katanya dingin, “dan kalian akan memiliki kekuatan melebihi prajurit manapun. Kalian bisa menghancurkan keluarga Wu Jing, menjatuhkan Li Xiaoran, bahkan mengguncang istana Xiang.”
Beberapa pejabat terbelalak, ada yang mundur ketakutan, ada yang justru menatap dengan rakus. Dan malam itu, benih pengkhianatan baru ditanam di jantung kerajaan.
----
Keesokan paginya, aula utama kembali dipenuhi bangsawan dan jenderal. Kaisar Xiang duduk di singgasananya, wajahnya lebih pucat dari semalam. Ia menatap Wu Jing, Li Xiaoran, Xiumei, Mo Feng, dan makhluk-makhluk ilahi yang melayang dalam bentuk roh.
“Kalian ingin menuju barat?” tanya Kaisar, suaranya berat.
“Ya, Paduka,” jawab Wu Jing mantap. “Kalau segel ketiga runtuh, Xiang akan kehilangan separuh wilayahnya. Kita tidak bisa menunggu.”
Permaisuri menoleh cemas pada Xiaoran. “Tapi perjalanan ke barat berbahaya. Jalurnya melewati gunung kabut, tempat banyak roh jahat mengendap. Bagaimana jika kalian tidak kembali?”
Xiaoran menunduk sopan. “Paduka Permaisuri, jika kami tidak kembali, setidaknya segel akan terlambat runtuh. Lebih baik kami berangkat dan melawan, daripada menunggu kota Xiang sendiri tenggelam dalam kabut.”
Kaisar Xiang terdiam lama, lalu menghela napas. “Baiklah. Aku serahkan pada kalian. Tapi ingat, kerajaan Xiang tidak bisa kehilangan kalian sekaligus. Jika ada pilihan… utamakan nyawa kalian.”
Xiaoran hanya menunduk tipis, tanpa janji. Ia tahu, dalam perang melawan kabut, nyawa hanyalah harga kecil.
Perjalanan Menuju Barat
Rombongan berangkat pada fajar. Wu Jing memimpin pasukan kecil untuk mengawal, sementara Xiaoran, Xiumei, dan Mo Feng berjalan bersama makhluk ilahi. Jalanan menuju barat panjang, melewati sawah, hutan, hingga perbukitan berbatu.
Warga desa berdiri di pinggir jalan, menatap dengan campuran kagum dan takut. Anak-anak menunjuk ke arah naga biru yang melayang di langit, burung api putih yang sayapnya bersinar seperti matahari pagi.
“Lihat, Ibu! Itu naga sungguhan!” seru seorang bocah.
Ibunya menariknya cepat, menunduk hormat. “Jangan bicara sembarangan! Itu pelindung kita.”
Xiaoran melihat pemandangan itu, hatinya hangat sekaligus berat. Ia menyadari, setiap langkahnya kini bukan lagi milik dirinya sendiri, tapi harapan seluruh negeri.
Bersambung
btw kbr pangeran kedua dan permaisuri gmn ya? gk dibahas lg ending nya
mana misterius pulak lagi
ngambil kesempatan dalam kesempitan ini namanya, gak mau buang tenaga tapi cuma mau untung nya aja.