“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
“Udahlah,” Bagantara mendesah berat, nadanya terdengar malas melanjutkan pertengkaran, “kalau diterusin, nggak bakal ada habisnya. Akhirnya cuma saling menyalahkan satu sama lain.” Tatapannya kemudian beralih ke arah Kinasih. “Kamu balik ke kamar aja, nanti aku nyusul. Aku ambilin kamu minum dulu.”
“Tapi… aku takut…” suara Kinasih melemah, matanya penuh keraguan.
“Nggak ada apa-apa. Percaya sama aku.”
Dengan pelan, Bagantara menuntun Kinasih kembali ke kamarnya. Sementara itu, Renaya hanya mendengus malas lalu membalikkan badan, melangkah kembali ke kamarnya tanpa sepatah kata pun.
---
Keesokan paginya, Kinasih datang tergesa-gesa menghampiri kamar Renaya. Ketukan keras terdengar beberapa kali, menggema di lorong rumah. Pintu kamar terbuka, menampilkan wajah Renaya yang masih setengah kesal, matanya sayu karena baru terbangun.
“Ada apa sih, Mbak? Pagi-pagi udah gedor-gedor pintu!” gerutunya.
Namun, Kinasih mengabaikan protes itu. Ia langsung menyampaikan maksudnya. “Hari ini aku mau pulang ke rumah.”
Renaya terdiam sejenak, mencerna ucapan Kinasih dengan alis yang berkerut samar. “Kenapa?”
Sebetulnya, ada rasa lega membuncah di dada Renaya—artinya ia tak perlu melihat Bagantara berkeliaran di rumah ini. Tapi entah mengapa, ada bagian dari dirinya yang menolak membiarkan Kinasih pergi.
Padahal, keputusan itu sudah bulat. Kinasih dan Bagantara telah berunding semalam. Kinasih merasa tak sanggup bertahan di rumah itu. Rasa takut masih menghantuinya, ketakutan yang muncul setelah penampakan Sandrawi. Meski ia sadar, Sandrawi bisa saja menghantuinya di mana pun, tetap saja pulang ke rumahnya sendiri terasa lebih baik.
“Rumahku udah terlalu lama kosong… jadi aku pengen pulang,” jawab Kinasih, berbohong tanpa ragu.
Renaya mengedipkan mata pelan. “Tapi Mbak masih sering ke sini, kan?”
Kinasih diam, matanya beralih ke dinding kamar, seolah berpikir sejenak sebelum berkata pelan, “Aku belum tahu.”
“Tapi… masih bisa diusahain?” nada Renaya meninggi sedikit, meminta kepastian.
Kinasih mendengus keras. “Kamu kenapa sih? Kok kesannya nggak rela aku pulang? Bukannya kamu malah nggak suka aku di sini?”
Renaya menghela napas panjang. “Iya… tapi dengan kondisi sekarang, aku butuh Mbak di sini buat jagain Ibu.”
Kinasih tertawa hambar, nada suaranya sinis. “Kan ada kamu.”
“Aku punya banyak urusan, Mbak… aku nggak bisa selalu nemenin Ibu. Kalau Mbak di sini, aku bisa gantian.”
“Sok sibuk banget kamu. Ibu kamu lagi sakit parah, Renaya! Kamu malah sibuk ngurusin diri sendiri,” sembur Kinasih, tajam. “Apa kamu nggak peduli sama Ibu?”
Renaya menutup mata sejenak, berusaha mengendalikan emosinya. Ia tahu percakapan ini hanya akan berujung pertengkaran seperti biasa. Namun, ia juga tak bisa tinggal diam.
“Aku nggak sibuk buat diri sendiri, Mbak. Aku punya kehidupan yang harus kuurus.”
“Memangnya aku nggak?” sahut Kinasih tajam. “Aku punya keluarga sendiri.”
“Aku cuma minta tolong kok, nggak maksa. Kalau Mbak nggak mau, nggak apa-apa… aku bakal usahain jaga Ibu,” ucap Renaya, datar.
Ada kilatan puas di wajah Kinasih. “Bagus kalau begitu. Aku harap kamu nggak sering keluyuran lagi seperti biasanya.”
Tanpa menunggu respons Renaya, Kinasih berbalik dan meninggalkan kamar itu untuk bersiap-siap.
---
Beberapa saat kemudian, Kinasih muncul di ruang makan bersama Bagantara, membawa koper kecil. Ia mendapati Baskoro sudah duduk di sana.
“Pak… aku mau pulang ke rumah,” ujar Kinasih.
“Loh, kok tiba-tiba?” tanya Baskoro dengan kening mengernyit.
Renaya yang baru masuk ke ruang makan hanya menyimak, memilih bungkam.
“Nggak apa-apa kan, Pak?” tanya Kinasih lagi.
Baskoro hanya mengangguk. “Nggak papa.”
“Kalau ada apa-apa sama Ibu… kabari aku ya,” pesan Kinasih.
“Tenang aja, kamu nggak usah khawatir. Di sini ada Bapak, ada Saras juga, bakal bantu sesekali jagain Ibu,” jawab Baskoro.
Renaya mengembuskan napas dengan nada malas, membuat beberapa pasang mata beralih menatapnya, termasuk Adibrata yang baru datang ke meja makan. Namun, Adibrata tak peduli, lebih memilih menyantap sarapannya.
“Renaya juga ada di sini… semoga dia bisa lebih banyak waktu buat jagain Ibu,” timpal Bagantara.
Renaya membalas santai, “Nggak usah khawatir.”
“Ya sudah, sarapan dulu aja sebelum pergi,” ucap Baskoro.
Kinasih buru-buru menggeleng. “Nggak perlu, Pak. Kami sarapan di rumah aja.”
Beberapa menit kemudian, Kinasih dan Bagantara benar-benar pergi. Ruang makan terasa lengang, menyisakan Renaya, Baskoro, dan Adibrata. Tak satu pun dari mereka membuka percakapan. Begitu selesai sarapan, Adibrata segera pamit ke sekolah. Renaya pun memilih kembali ke kamarnya.
Namun langkahnya terhenti kala melewati kamar Ratih. Matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Ada rasa tak nyaman yang menyelinap.
“Kenapa belakangan ini Ibu nggak pernah keluar kamar?” gumamnya.
Dengan langkah ragu, Renaya mendekat lalu membuka pintu kamar ibunya. Sosok Ratih tergeletak lemah di atas ranjang. Awalnya Renaya mengira ibunya hanya tertidur. Tapi saat mendekat, wajah pucat Ratih menyiratkan sesuatu yang lain.
“Bu?” panggil Renaya pelan.
Matanya menangkap tubuh ibunya yang terkulai, tangannya lemas tak bergerak. Namun matanya sedikit terbuka.
“Renaya…” suara lirih itu nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas untuk menusuk batin Renaya.
Renaya segera duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan ibunya. Ada rasa bersalah yang perlahan menggerogoti hatinya—rasa bersalah yang selama ini ia tutupi dengan sikap cuek. Ia tahu… ia terlalu lama mengabaikan ibunya.
“Gimana keadaan Ibu?” tanyanya, suaranya melembut, matanya mulai basah.
Ratih tersenyum samar, nyaris tak terlihat. “Ya begini… Nak…” bisiknya, suara lemah yang menyayat kalbu.
“Ibu mau keluar sebentar? Renaya temani,” tawar Renaya pelan, berharap ibunya mungkin saja butuh sedikit udara segar di luar kamar.
Namun, Ratih hanya menggeleng lemah.
“Ibu nggak sanggup, Nak… Ibu rasanya lemas… nggak kuat bangun,” jawabnya lirih.
Mengucapkan kalimat yang tak seberapa panjang saja sudah membuat Ratih terdengar letih bukan main. Setiap suku katanya seolah menyedot habis nafas dan tenaganya, membuat Renaya menahan perih di dada.
Kondisi sang ibu benar-benar menyentakkan hati Renaya. Ia tahu betul, semua ini bermula sejak kepergian Sandrawi, tapi tak pernah ia membayangkan bahwa ibunya bisa seterpuruk ini. Ratih yang selama ini dikenal Renaya sebagai perempuan tangguh dan tak mudah goyah… kini begitu rapuh, tak berdaya di atas ranjang.
“Ibu… ikhlaskan Sandrawi, Bu… biarkan dia tenang di sana… jangan lagi terbebani memikirkan keadaan Ibu di sini,” suara Renaya bergetar, memohon penuh harap, “aku mohon, Ibu terima kepergiannya. Jangan terus menerus menyiksa diri sendiri, Bu… kesehatan Ibu makin memburuk gara-gara ini.”
Ratih membalas dengan batuk pelan yang terdengar menyayat, batuk kering yang teredam di dada, seakan tak sanggup mengeluarkan segala rasa sesak yang menghimpitnya. Renaya meringis, menatap penuh iba, namun tetap berusaha menguatkan ibunya dengan tatapan lembut.
“Ibu memang… sangat kehilangan Sandrawi… tapi Ibu sudah menerima kepergiannya, Nak… Ibu nggak terlarut-larut dalam duka… walaupun rasa sedihnya masih sering datang,” suara Ratih terdengar putus-putus, seperti berkejaran dengan napasnya yang terengah.
“Tapi Ibu seharusnya bisa lebih baik kalau udah nggak terus mikirin Sandrawi,” balas Renaya, suaranya mengeras sedikit, logika mulai bekerja keras di kepalanya. “Atau… Ibu jangan-jangan sering nggak minum obat?”
Ratih sempat membuka mulut, tapi hanya hembusan napas lirih yang keluar. Dengan susah payah, ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk merespons putrinya.
“Ibu… rajin minum obat… Bapakmu selalu bantu… nggak pernah lupa ngasih obat buat Ibu…”
Mendengar itu, kening Renaya mengernyit halus. Secara teknis memang tak ada yang salah, tapi entah mengapa, sejak kapan pun… mendengar nama Baskoro disebut selalu menimbulkan rasa tak nyaman di dadanya. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah meski samar, sebuah ketidaksukaan yang mengendap tanpa alasan pasti. Ia tak bisa menunjuk pasti penyebabnya, hanya saja, setiap kalimat yang menyangkut Baskoro membuat perutnya bergejolak tak karuan.
“Ibu juga sering ditemenin Saras… dia bantu Ibu ngurus ini-itu,” sambung Ratih tanpa menyadari wajah Renaya perlahan menegang.
Firasat buruk kembali menyesak. Renaya menggigit bibir bawahnya. Nama Saras adalah nama yang paling malas ia dengar, terlebih dari mulut ibunya sendiri. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman, apalagi melihat kedekatan Ratih dengan Saras akhir-akhir ini.
Renaya mengembuskan napas berat, matanya menatap lurus ke arah ibunya. “Ibu… sepertinya Ibu sekarang… terlalu dekat sama dia…”