Bagaimana perasaan kamu kalau teman SMAmu melamar di akhir perkuliahan?
Itulah yang dialami Arimbi, selama ini menganggap Sabda hanya teman SMA, teman seperjuangan saat merantau untuk kuliah tiba-tiba Sabda melamarnya.
Dianggap bercanda, namun suatu sore Sabda benar-benar menemui Ibu Arimbi untuk mengutarakan niat baiknya?
Akankah Arimbi menerima Sabda?
Ikuti kisah cinta remaja ini semoga ada pembelajaran untuk kalian dalam menghadapi percintaan yang labil.
Happy Reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OBROLAN
Baru kali ini Nafisah dianggap sangat bijak oleh Arimbi ketika bercerita tentang lamaran Sabda. Gadis itu menganalogikan, Sabda sedang membuktikan pribahasa berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Selama SMA sampai kuliah semester akhir, Sabda berjuang melayakkan diri bagi Arimbi. Sosok yang sebenarnya ia incar sejak SMA, namun Sabda mengalah dulu, tak menyatakan cinta tapi dia fokus mencari cuan saja. Mungkin ia memegang prinsip cinta dan karier tak mungkin berjalan beriringan, pasti ada salah satu yang gagal. Maka Sabda memilih membangun karir, jungkir balik ia lakukan sendiri, fokus pada cuan, dan saat sudah dikatakan mapan menurut dirinya, Sabda baru mengejar cintanya. Sungguh, sebuah keputusan sangat bijak.
"Dengarkan gue ya, Mbi! Mengaca pada kehidupan rumah tangga emak dan bapak gue, bahwa pondasi keuangan itu sangat penting dalam menjalani rumah tangga. Istilahnya Sabda memulai 0 tanpa melibatkan kamu, tapi saat 0 nya berjejer dia baru melamar kamu, melibatkan kamu dalam kehidupan Sabda selanjutnya dengan kemapanan. So sweet banget loh, Sabda mungkin berfikir tak akan kubiarkan perempuan yang kusayang menemaniku saat susah, cukup dia menikmati bahkan kuras cuanku, uasyeeekk!" Nafisah berucap sok puitis, agak geli juga bilang seperti itu, tapi ia tertawa juga, menerka pemikiran Sabda sebagai cowok bijak dan tertata. Usianya baru 22 tahun, tapi sangat matang dalam membaca masa depannya.
"Sekarang apa yang membuat lo ragu? Foto dengan teman cewek itu?" Arimbi mengangguk. "Dan lo gak suka kan melihat foto itu?" Arimbi kembali mengangguk.
"Arimbi sayang, dengerin Mak Nafisah baik-baik. Lo sebenarnya sudah tertarik dengan Sabda sebagai laki-laki calon suami lo, bukan sebagai teman SMA lo. Buktinya lo gak suka sama foto itu, padahal kalau lo gak suka lo cuek aja. Percayalah, mulut cewek bilang enggak, tapi tidak dengan hatinya!" ujar Nafisah sembari menoel lengan teman sekamarnya itu.
"Gue belum bisa memastikan gue cemburu atau gimana ya, Pis. Secara gue juga gak pernah suka sama cowok. Gue gak suka sikap Sabda yang main foto sama cewek berdua saja, padahal dia sudah melamar cewek lain. Ya gue pikir harusnya kalau lo melamar cewek ya lo gak boleh foto berdua sama cewek lain."
"Masalahnya lamaran itu sudah diterima belum? Lo belum terima Arimbi," jelas sekali Nafisah berada di pihak Sabda.
"Kalau kalian sudah lamaran, ya wajar lo marah. Tapi posisinya sekarang dia masih milik umum, belum resmi lamaran sama lo juga," lanjut Nafisah meyakinkan pemikiran Arimbi salah.
"Benar juga sih!"
"Nah! Gue yakin sih yang mengajak foto itu si cewek, modelan Sabda kayaknya iya iya aja biar gak ribet urusan sama cewek."
Arimbi menghela nafas berat, dirinya bingung. hati kecilnya ingin menerima lamaran Sabda, tapi logikanya masih berisik kalau gue menikah gue gak bisa jalan-jalan, membangun bisnis, cari pengalaman sebagai konten kreator. Apalagi kalau langsung hamil, sungguh Arimbi belum bisa memikirkan itu semua.
"Ya lo buat kesepakatan sama Sabda lah. Kalau nikah muda gue ingin begini, soal anak jelas bicarakan di awal, jangan asal enak bikinnya tiap tahun berojol!"
"Mulut lo, Pis."
"Lah benar dong!"
Arimbi merebahkan dirinya di kasur, menghadap langit-langit kamar. "Asli gue gak pengen terikat sama siapa pun dulu, Pis."
"Ya udah tolak aja!"
"Tapi dia baik, dia mapan, dan kelihatan sayang sama gue. Setiap gue butuh, dia selalu ada."
"Ya udah terima!" jawab Nafisah enteng.
Arimbi langsung melempar boneka ke arah Nafisah, plin plan sekali temannya ini. Nafisah tertawa, ternyata dilamar orang di waktu yang tak sesuai harapan bingung juga ternyata.
"Ibu lo gimana?"
"Lampu hijau!"
"Keren banget Sabda, sekali tendang langsung goal ke ibu lo!"
Arimbi melihat ponselnya, tak ada chat lagi yang masuk dari Sabda. Beginilah kalau gengsi digedein, mengharap dichat tapi sok sok an chat tadi gak dibalas.
"Lo harusnya bersyukur sih, Mbi. Soal suami lo gak ada syarat apapun dari emak lo. Lihatlah gue, pulang kemarin sempat berbincang dengan emak, beliau berpesan lo boleh menikah asalkan sudah jadi PNS. Ngeri kan syarat emak gue. Cuma gue iya in aja, siapa tahu itu doa yang tulus."
"Kenapa harus ada syarat PNS?" tanya Arimbi yang ingin pembahasan lain selain Sabda.
"Menurut orang tua zaman dulu, orang dianggap mapan adalah jadi ASN. Selain itu gue sadar kenapa emak gue punya syarat seperti itu, ya apalagi kalau bukan karena ayahku. Emak ikut bekerja, jualan es untuk biaya ASN bapak, eh sudah jadi PNS malah diselingkuhi. Makanya emak gue gak mau anak perempuannya seperti beliau yang tak punya pegangan finansial."
"Gue pengen balik ke kos lebih cepat karena ingin belajar presentasi ujian skripsi, tapi kok kepikiran lamaran Sabda, gesrek nih otak!"
"Mau hang out?" tawar Nafisah. "Sekarang kita refreshing besok baru bertempur, gimana?"
"Kemana?"
"Keliling kota aja!"
"Oke, gue mandi dulu baru cus ya!" Arimbi dan Nafisah siap berkeliling kota. Kadang untuk otak suntuk, kalian tak perlu hal mewah. Hanya berkeliling kota sembari curhat sama teman dekat, rasanya plong sekali.
Keduanya pamit pada ibu kos, bahwa nanti akan pulang sedikit terlambat, mungkin jam 10 malam. Bu kos mengizinkan, tapi kalau lebih dari itu maka Bu Kos tidak bisa membukakan pintu.
Dua gadis ceria sudah bersiap menyusuri malamnya kota dengan motor. "Foto dulu, Pis!" Arimbi sudah mengarahkan kamera ponselnya. Baik Arimbi dan Nafisah tersenyum ceria menghadap kamera. Arimbi mengunggah foto tersebut ke status WA.
Night with Pis 🥰
Nafisah mulai mengendari motor dengan pelan, namanya juga keliling kota. Tak ada yang perlu diburu sehingga laju kendaraan disetting normal saja. Angin malam ditambah keramaian kota berhasil menghilangkan beban pikiran Arimbi.
Di atas motor, Arimbi menyandarkan dagunya di pundak Nafisah agar saat obrolan terdengar, khas remaja akhir yang akan menuju ke dunia dewasa masih mengomentari siapa pun pengendara yang menurut keduanya unik. Seperti halnya tulisan di truck depan mereka. Nafisah sampai tak berhenti tertawa.
Lupa Wajah
Ingat Rasa
"Ya Allah saking seringnya dipakai!" ujar Nafisah masih ngakak.
"LC handal!" sahut Arimbi.
Mereka menepikan motor, berhenti di trotoar yang ramai dengan para penjual kaki lima. Arimbi dan Nafisah memilih lesehan di kedai angsle dekat dengan tahu petis.
Mereka memesan tahu petis dan memakannya bersama angsle, ditemani pemuda pemudi bernyanyi dan bergitar ria di seberang sana.
"Mereka semester berapa ya, Pis. Terlihat tanpa beban," ujar Arimbi penasaran perasaan saat semester awal, Arimbi tak pernah sebebas mereka, punya teman laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Arimbi, teman kuliah hanya teman kelasnya saja, itupun tak banyak.
"Kadang mereka terlihat tanpa beban bukan berarti tak punya masalah, tapi mereka bisa kuat karena tersenyum dan yakin bahwa masalah akan selesai dengan atau tanpa pemikiran berlebih," ungkap Nafisah bijak.
lanjut kak
semangat terusss ya /Heart/
lanjut ya kak
semangat