"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
"Revano! Apa yang kamu lakukan?!" Tama berteriak, mendekati Revano yang hampir terduduk ingin melihat Risya.
Semua orang yang ada di sana terkejut. Astaga! Kenapa dia harus berteriak? Semua orang terkejut dengan Risya yang tiba-tiba pingsan.
Revano dan Dimas reflek berteriak. Nanda, Nathalie, dan Reyna menahan nafas, membekap mulut masing-masing dengan tangannya. Kenapa Tama harus berteriak kala Revano mendekat? Dia hanya berniat membantu.
"Kenapa sih, Pa?!" Revano mengibaskan tangan Tama yang mencengkeram lengannya.
"Duduk kamu! Dimas, bantu teman Dita ini. Bawa ke kamar Dita!" Bak seorang tuan rumah, Tama memerintah Dimas dengan tegasnya.
Dimas mendekat ke sana. Dia pun terkejut dengan kehadiran Risya yang ada di sini. Niatnya hanya ingin menemani Revano, sebagai sahabat yang baik tentunya.
Dita berdiri kala tubuh Risya sudah berada dalam gendongan Dimas. Sekilas ia menoleh ke arah sofa di ruang keluarganya, tempat di mana ia melihat seseorang yang mampu memporak-porandakan perasaannya semalaman.
Di sana ada tiga lelaki. Papanya, Rifki, dan Reno. Tatapannya belum lepas dari sosok yang berada di antara lelaki dan perempuan imut yang sudah ia duga adalah adiknya, Rifki dan Reyna.
"Bisa tolong tunjukkan kamarnya?" Suara Dimas membuyarkan lamunan Dita. Segera ia beranjak dan berjalan menuju kamarnya, diikuti Dimas di belakangnya.
"Dita, langsung ke sini ya nanti." Sayup-sayup Dita mendengar suara Mamanya.
Setelah sampai di dalam kamar, Dita langsung berjalan ke arah meja riasnya, mengambil minyak kayu putih.
"Baringkan di situ aja," ucap Dita sambil berjalan mendekati Risya. Gadis itu berniat duduk di sebelah Risya, dan memakaikan minyak kayu putihnya.
"Kamu ke bawah aja. Risya biar aku yang jaga di sini," ucap Dimas sambil mengambil minyak kayu putih dari tangan Dita.
Seolah ragu, Dita berdiri dengan pelan.
"Jangan khawatir. Aku nggak bakal macam-macam. Cuma pelipis sama hidung Risya yang aku oleskan," ucap Dimas menjelaskan. Raut wajah Dita yang membuatnya berucap demikian.
Dita memang khawatir. Tapi bukan masalah Risya yang hanya berduaan dengan Dimas di kamarnya. Melainkan seseorang yang kemungkinan besar berada di sana tadi.
Ada setitik rasa bahagia kala melihat sosok Reno di sana. Fikirannya langsung tertuju, apakah Reno yang akan menjadi tunangannya?
"Di bawah tadi ... yang mau ..." Dita menggenggam tangannya, bingung.
"Revano. Dia yang akan bertunangan denganmu," ucap Dimas datar.
Wajah Dita memucat. Revano?
***
"Jadi Risya ini temannya Dita?" Nathalie bertanya.
"Bukan hanya teman, tapi sahabat. Risya ini gadis yang baik, ya ... sebelas dua belas sama Dita," Nanda menimpali, terkekeh kecil.
Wajah Tama datar. Dia tidak suka dengan gadis itu. Bukan tanpa alasan. Karena gadis itu adalah anak Putra.
Dita terlihat di anak tangga terakhir, wajahnya menunduk. Nanda memanggilnya, memintanya duduk di sebelahnya dan Nathalie.
"Cantik sekali gadisnya Nanda ini," ucap Nathalie sambil mengusap kepala Dita.
Gadis itu tetap menunduk. Tanpa menyadari ada sosok mata yang menatapnya sedari tadi. Tama menyikut lengan putra keduanya, menatapnya tajam. Pria arogan itu menangkap tatapan mata dari putranya itu.
"Jadi Reno ini kembaran Revano, ya? Tidak mirip, aku kira malah adik Kakak kaya yang lain," Hasan Papanya Dita memulai ucapan.
Tama menimpali.
Reno tersenyum tipis, ekor matanya melirik Dita. Astaga, gadis itu cantik sekali dengan dress biru lautnya.
Revano entah menatap apa, yang jelas tatapannya datar, kosong. Pikirannya berkelana pada Risya dan Dimas yang di kamar berdua. Astaga, kenapa dia sekhawatir ini?
"Apa Risya udah sadar?" Pertanyaan Revano membuat semua orang menatapnya. Tama menatap tajam, ingin menyikut anak sulungnya ini tapi mereka berada bersebrangan.
Dita mendongak. "Dimas masih berusaha membuat Risya sadar. Tadi badannya panas sekali, mungkin demam."
Revano menghela nafas kecewa. Kenapa Dimas tidak turun juga? Wajah Risya memang pucat, dia sempat meliriknya tadi. Apa memang seburuk itu? Sekarang Revano menyesal telah menemui Risya tadi malam.
Ini pasti dampak karena ucapannya semalam. Mata sembab Risya juga sempat menyita pikirannya. Astaga, seharusnya ia menuruti Bagas. Seharusnya dia langsung pergi saja, tidak perlu pamit pada Risya. Buat apa?
Suara derap kaki melangkah terdengar kencang, dari arah tangga. Wajah khawatir Dimas nampak di sana, juga Risya yang berada di gendongannya.
Revano yang pertama lihat, langsung berdiri. "Ada apa, Dimas? Risya kenapa?"
"Panas Risya tinggi. Biar aku bawa ke rumah sakit duku. Maaf mengganggu acara besarnya," ucap Dimas terburu-buru. Dengan cepat ia membawa Risya keluar.
Revano mengikuti Dimas, berlari mendahului langkah sahabatnya itu dan membukakan pintu mobil. Astaga, wajah Risya benar-benar pucat.
"Aku mau ikut!" Dita berteriak, ikut melangkah dengan cepat.
Teriakan Tama terdengar, Revano mengabaikannya. Ia yakin, Mamanya pasti bisa mengatasi kemarahan papanya itu.
***
"Ini salahku. Seharusnya aku tidak memaksa Risya untuk menemaniku. Maaf, Ris. Aku telah gagal jadi sahabat yang baik buat kamu," Dita bergumam pelan, menyeka ujung matanya yang berair.
Revano mencengkeram rambutnya kuat. Astaga, ini salahnya. Seharusnya ia menuruti keinginan Bagas. Langsung pergi, tanpa pamit. Untuk apa pamit? Berharap Risya memohon untuk dia tidak pergi? Nyatanya Risya tidak menyangkal kepergiannya. Risya hanya bertanya, kenapa harus pergi? Itu bukan berati melarang, 'kan? Risya tidak akan begini jika ia tidak pamit semalam.
Dimas sendiri sedang menghubungi Tisa, Mama Risya. Wajahnya masih khawatir. Sesekali ia melirik ke dalam ruangan, tempat Risya diperiksa. Dokter masih terlihat sibuk memeriksa Risya.
"Kalian sebaiknya kembali. Orang tua kalian pasti bingung di rumah ...."
Belum selesai Dimas berucap, Revano menyangkal lebih dulu, "Aku harus memastikan Risya baik-baik saja."
"Buat apa? Dokter sedang memeriksanya, ada aku di sini yang menunggunya. Tante Tisa juga akan segera datang kemari," ucap Dimas dengan nada datar. Astaga, dia cemburu dengan ucapan Revano yang seakan mengkhawatirkan calon tunangannya.
"Aku akan pergi setelah Risya sadar," ucap Revano masih bersikukuh.
"Untuk apa menunggunya sadar? Berharap dia akan bahagia dengan berita pertunangan kalian?" Ucapan Dimas terdengar lebih tajam.
"Kami tidak akan bertunangan!" Dita berucap tajam, setajam tatapannya pada Dimas.
"Kalian akan bertunangan, atau mungkin langsung dinikahkan. Om Tama terlihat tidak menyukai tatapanmu pada Risya, Revano," ucap Dimas datar.
"Kalian berlebihan mengartikan tatapanku pada Risya. Aku hanya khawatir karena ..." Revano menarik nafas pelan. "Karena mungkin Risya kelelahan akibat membujuk Dita yang tidak ingin menemui keluargaku tadi."
Dita menangis, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ya ampun, bukan hanya dia yang berpikir begitu. Ternyata Revano juga. Risya, maafkan sahabatmu ini yang tega membuatmu masuk rumah sakit, Dita membatin pilu.
Tidak jauh dari mereka ada seseorang memperhatikan perdebatan kecil itu. Reno. Dia berada di balik dinding, mengintip dan mendengarkan perdebatan itu.
Dimas tersenyum sinis. "Alasanmu tidak masuk akal, Van. Risya tidak kelelahan karena itu. Kalian terlalu berlebihan khawatir padanya."
Revano menatap datar Dimas, mengusap wajahnya dengan kasar.
Di tempat yang tidak jauh dari mereka juga, lebih tepatnya di dalam ruangan Risya, ada seseorang yang mendengar. Wajahnya terlihat di kaca etalase pintu, mengintip keadaan di luar. Di sebelahnya ada suster yang memegang infusnya.
Revano mengambil tangan Dita yang sedari tadi menutup wajahnya, menggenggamnya. "Aku dan Dita akan bertunangan, Dimas. Jangan jadikan rasa cemburumu untuk menyangkal ucapanku."
Revano menghadapkan dirinya pada Dita, tangannya memegang kedua sisi wajah Dita, menghapus air matanya. "Kita pulang. Barangkali Dimas benar, kita terlalu khawatir pada Risya."
Revano menggenggam tangan Dita, erat. "Kita akan kembali. Aku harap, kamu tidak lupa menghubungi calon tunanganku jika Risya sudah sadar nanti."
Ada rasa nyeri kala Revano berucap demikian. Calon tunangan? Semudah itu lidahnya berucap?
Revano langsung berbalik, meninggalkan Dimas dengan keterkejutannya. Kakinya melangkah, tanpa sempat mengetahui ada satu pasang telinga yang mendengar ucapan yang memilukan itu.
Risya. Tangannya kini yang tengah diinfus terkepal erat. Kepalan itu memukul dadanya yang terasa sesak. Ia yakin, telinganya tidak mungkin salah dengar. Ia yakin, matanya tidak mungkin salah lihat. Sosok yang mengatakan itu jelas ia dengar dan lihat adalah Revano.
Revano. Sosok yang diam-diam mencuri hatinya. Sosok yang satu bulan ini menjadi bodyguardnya. Sosok yang diam-diam membuatnya nyaman. Sosok itu, berhasil membuat Risya merasakan sakit teramat dalam. Astaga! Hanya dalam waktu satu bulan, kenapa Risya bisa mencintai Revano dengan begitu dalam?
"Risya menungguku, Revano. Tunggulah sebentar sampai Risya sadar. Aku yakin dia akan mencariku," ucap Dita disela tangisnya. Tangannya masih digenggam Revano. Entah digenggam atau dicengkeram, tapi dia merasakan sakit dari tangan yang dipegang Revano itu
Revano berhenti. Kejutan lainnya menanti mereka. Suara Dita berhenti. Kerongkongannya terasa tercekat. Di depan sana, Reno berdiri dengan senyum mengembang. Senyum yang Revano yakini sebagai senyum kecut yang memilukan.
"Reno," Dita bergetar kala mengucapkan nama itu. Tangannya dengan paksa melepaskan genggaman Revano. Terasa sakit, namun tidak menghalanginya untuk berlari dan memeluk sosok tercinta di depannya.
"Reno, bawa aku pergi, kumohon." Mengabaikan pelukan yang tidak dibalas, Dita terus berucap dengan terus memeluk Reno.
Lelaki itu masih mematung, menatap sosok kembarannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
••••
Bersambung